Sulit Dipercaya Citra KPK Melejit, Prof Mudzakkir: Yang Diusut Perkara Kecil, Tak Berani yang Besar!


Jakarta, MI - Di tengah kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tersorot dalam pemberantasan korupsi, lembaga survei Litbang Kompas justru merilis citra baik lembaga anti rasuah itu naik signifikan dari 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6 persen di Januari 2025.
Tren kenaikan persepsi baik publik terhadap KPK ini, bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan sembilan lembaga lainnya, yaitu TNI, Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Terkait hal itu, membuat bingung dan sulit bagi Prof Mudzakir, seorang ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) untuk mempercayainya.
"Agak sulit, misalnya sekarang ditemukan hasilnya bahwa KPK dan Kejaksaan Agung termasuk kategori yang tinggi. KPK yang super tinggi ya. Seperti KPK itu apa citranya yang naik, jadi agak bingung dan sulit kita baca. Jadi maksud saya adalah dinilai apanya KPK bahwa citranya itu tinggi," sentil Prof Muzakir saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Jumat (24/1/2025) malam.
Bukan tanpa alasan Prof Mudzakkir berpandangan demikian, sebab dia paham betul sebagai orang yang mengerti dan pernah berhadapan dengan hukum. "Jadi kalau KPK yang dinilai tinggi, itu yang ditangani KPK saja kecil-kecil perkaranya. Maksud saya kecil itu kan misalnya Kepala Daerah, DPRD, bidang ini, bidang ini. Tidak pernah dia atau jarang dia Menteri," lanjutnya.
Kemudian, tambah dia, lembaga-lembaga yang lain, misalnya sekelas mantan presiden, kementerian dan sebagainya, kalau misalnya ada bukti-bukti yang kuat kenapa tidak diproses oleh KPK?
"Jadi tanda tanya juga gitu. Saya sedikit kurang percaya dengan hasil survei itu. Kalau melihat dari substansi pokok perkara dibidang hukum gitu ya, Jaksa misalnya, itu yang di publik selalu dikatakan bahwa Jaksa itu luar biasa karena apa, karena bisa menangani korupsi timah Rp 300 triliun," lanjutnya.
Padahal, kata dia, kalau orang yang mengerti tentang hukum sebenarnya kesungguhan Jaksa itu luar biasa. Kekeliruan yang sistematis membuat opini publik sampai pada tingkat Presiden, menurutnya, hal yang bagus.
"Jadi kalau dinilai tinggi, tapi praktik penegakkan hukum gak pas, gak tepat berdasarkan aturan hukum. Nah ini yang saya kira perlu dievaluasi juga seperti KPK itu," ungkapnya.
Menurut Prof Mudzakkir, KPK lembaga yang dulu dicitrakan sebagai trigger mechanism dalam penanganan korupsi, akan tetapi kasus yang ditangani kelas ikan teri.
"Tapi kok sampai sekarang kasus yang ditangani kasus yang kecil-kecil dan tidak berani memeriksa perkara-perkara yang besar. Bahkan KPK tidak berani menyentuh pejabat tinggi terkait dengan orang yang bersangkutan beserta keluarganya," jelasnya.
"Tidak menyentuh sedikit pun, jangan kan itu, diperiksa saja tidak dilaporkan juga tidak digubris tidak pernah dilakukan. Ini maksud saya masuk bagian penilaian yang mana dalam survei itu," sambungnya.
Kalau hanya membangun opini publik, tegas dia, lembaga survei itu tidak perlu melakukan itu. Sebab, kata dia, malah citranya yang kurang bagus.
"Karena saya khawatir dengan hasil survei mereka bangga dengan apa yang terjadi sekarang. Padahal yang terjadi sekarang tidak sepenuhnya itu menurut hukum adalah benar," tuturnya.
Sejak dulu, Prof Mudzakkir mengaku tidak begitu srek ketika ada lembaga penegak hukum dinilai tinggi dan sebagainya. "Saya bilang cobalah bertanya orang pernah ditangani oleh KPK itu, perlakuan KPK itu menyimpang nggak, nanti kalau ditanya itu suruhlah orang-orang yang pernah berurusan dengan KPK," tegasnya.
Demikian juga berhadapan dengan Polisi, surulah mereka bertanya seperti apa perlakuannya dalam pemeriksaan, begitu pun juga dengan Kejaksaan.
"Jadi kalau ditanya semuanya barulah kemudian hasil itu bisa memberi citra. Baik atau buruk itu memang kualitasnya bukan pada punya opini gitu. Kalau banyak opini ya dari awal dikasi tahu bahwa survei ini adalah kepada orang yang tidak pernah berhadapan dengan KPK, Polisi dan Jaksa sehingga dia memberi survei murni dari asumsi pribadi mereka tidak berdasarkan fakta yang sebenarnya," bebernya.
Tapi, menurut Prof Mudzakkir, survei yang bagus adalah survei yang mendasarkan pada pengalaman mereka, yang pernah berhadapan langsung KPK, Polisi dan Jaksa dalam rangka menangani perkara.
"Nah di situ nanti penilaian mereka itu kalau disejajarkan dengan lembaga lain yang menangani di bidang penegakkan hukum barulah akan muncul di situ adalah pendapat untuk membangun opini publik, bisa original atau bisa lebih akuratlah," tuturnya.
Kalau sekarang tiba-tiba KPK dinilai tinggi, kata dia, lembaga internasional saja menempatkan presiden itu yang paling rendah.
Pun, dia menilai bahwa membandingkan antara institusi lain hanya karena opini kurang tepat, karena hukum itu tidak bisa hanya dengan opini. "Saya ingin agar supaya hukum itu menjadi baik. Kalau saya mendengar langsung mereka berhadapan dengan APH, perlakuan seperti apa, itu bisa dinilai," katanya.
Terhadap survei lain terutama penegak hukum dia mengusulkan ada survei dari lembaga yang sejenis atau bidangnya yang sejenis. Misalnya Polisi, Jaksa ,KPK atau yang lainnya.
"Tapi semua itu dibidang penegakkan hukum, Jaksa, Hakim, dan seterusnya. Jadi jelas, tapi kalau ada dibandingkan dengan misalnya survei lembaga-lembaga lain gitu ya, KPU, DPR dan sebagainya itu agak sulit saya bisa membandingkan itu," lanjutnya.
Karena, menurut dia, dia jasa layanan itu letak perbedaannya dan kadang-kadang kalau survei-survei itu tidak didasari oleh pengalaman mereka yang berhadapan langsung dengan lembaga yang bersangkutan.
"Itu juga membangun citra yang kurang pas juga gitu, karena lebih pada pilihan subjektif yang pribadi untuk memberi penilaian gitu. Kalau agak sedikit ilmiah, kalau usul saya sejenis itu dan diusahakan pihak yang diwawancarai dalam survei itu. Jadi usahakan mereka yang berpengalaman berhadapan dengan lembaga-lembaga hukum tersebut."
"Misalnya berhadapan dengan KPK, berhadapan dengan Jaksa, berhadapan dengan polisi, berhadapan dengan pengadilan dan sebagainya. Sehingga sifat objektivitasnya semakin tinggi," imbuhnya.
Berikut daftar 10 citra positif lembaga negara menurut survei terbaru Litbang Kompas.
1. Tentara Nasional Indonesia (TNI) 94,2 persen
2. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI 81,6 persen.
3. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 80,3 persen.
4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan 73,6 persen.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 72,6 persen.
6. Kejaksaan Agung 70 persen.
7. Mahkamah Konstitusi (MK) 69,1 persen.
8. Mahkamah Agung (MA) 69 persen.
9. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 67 persen.
10. Polri 65,7 persen.
Survei ini dilaksanakan dengan metode wawancara tatap muka oleh Litbang Kompas dari 4 hingga 10 Januari 2025, melibatkan 1.000 responden yang dipilih secara acak melalui metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi di Indonesia. Survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error +/- 3,10 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. (an)
Topik:
KPK Kejagung Polri Litbang Kompas