Seperti Digitalisasi SPBU Pertamina, KPK Perlu Usut Dugaan Korupsi Proyek Pangkalan LPG


Jakarta, MI - Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait dengan dugaan penyalahgunaan distribusi liquefied petroleum gas (LPG) bersubsidi dalam tabung 3 kilogram oleh oknum pengecer sejak tahun 2023 menjadi celah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut dugaan rasuahnya.
Namun demikian harus ada kejelasan dari pihak BPK seperti apa temuan mereka itu sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia baru-baru ini.
Terkiat hal itu, pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno (UBK) RI, Hudi Yusuf, menyinggung kasus dugaan korupsi proyek digitalisasi SPBU Pertamina yang sudah menyeret 3 tersangka oleh KPK belum lama ini. Kasus ini bagian daripada perkembangan korupsi pengadaan LNG yang menyeret mantan Dirut PT Pertamina, Karen Agustiawan.
"Kalau KPK menemukan dugaan rasuah pada pengadaan itu, mau tidak mau harus diusut seperti pada proyek digitalisasi SPBU yang tengah disidik kalau modusnya hampir sama dengan itu. Perlu juga itu didalaminya," kata Hudi saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Rabu (5/2/2025).
"Sekarang itu kan ada 'wayang bayangan', itu harus didalami. Apa sih tujuan Bahlil dari itu semua. Kepada KPK jangan sampai wayangnya saja yang didalami," timpalnya.
Yang membuat bingung publik sekarang adalah, ada apa dengan Bahlil yang tiba-tiba buat kebijakan pelarangan pengecer dalam menjual LPG 3 kilogram atau gas melon itu. Kata Hudi, ini harus ditelusuri dari sisi kebijakan dan sisi hukumnya.

"Gak ada angin, gak ada hujan tiba-tiba muncul seperti itu. Kebijakan kok seperti dibuat mainan. Tentunya ini menjadi citra buruk pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto," jelasnya.
Sebelumnya Bahlil mengakui bahwa dampak dari kebijakan larangan penjualan LPG 3 kilogram di tingkat pengecer memang tanggung jawab pemerintah.
Kebijakan larangan pengecer untuk menjual LPG 3 kilogram awalnya bertujuan mengendalikan harga jual di masyarakat agar tidak ada yang dijual di atas harga eceran tertinggi (HET).
Selain itu, penataan jalur distribusi terhadap komoditas yang masih disubsidi pemerintah itu dapat tepat sasaran kepada rakyat dan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Kesalahan itu tidak usah disampaikan ke siapa-siapa. Kami Kementerian ESDM yang harus mengambil alih tanggung jawab dan memang tanggung jawabnya itu untuk melakukan perbaikan penataan. Perintah Bapak Presiden wajib untuk tidak boleh ada masyarakat mendapatkan yang tidak tepat," katanya.
Bahlil menyatakan bahwa pengecer LPG 3 kilogram dapat kembali beroperasi pada Selasa ini, namun berganti nama menjadi subpangkalan.
Tujuan dari pengoperasian kembali pengecer LPG 3 kilogram ini untuk menormalkan kembali jalur distribusi gas subsidi tersebut. Pengecer yang kini berubah nama menjadi subpangkalan, kata Bahlil, dibekali aplikasi Pertamina yang bernama MerchantApps Pangkalan Pertamina.
Melalui aplikasi tersebut, pengecer bisa mencatat siapa yang membeli, berapa jumlah tabung gas yang dibeli, hingga harga jual dari tabung gas tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat yang membeli LPG 3 kilogram di subpangkalan juga diwajibkan membawa kartu tanda penduduk (KTP).
Aplikasi MerchantApps Pangkalan Pertamina ini nantinya memungkinkan pengecer mencatat data pembeli, jumlah tabung gas yang dibeli serta harga jualnya.
Kemudian untuk memastikan distribusi gas elpiji 3 kg tepat sasaran, masyarakat diwajibkan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) saat membeli.
Disebutkan, sebanyak 370 ribu pengecer sudah terdaftar sebagai sub-pangkalan gas elpiji 3 kg.
Aplikasi MerchantApps Pangkalan Pertamina ini termaktub dalam aplikasi MyPertamina. Selain MerchantApps Pangkalan Pertamina, MyPertamina juga menyoal Digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau SPBU untuk memitigasi tindak curang dalam membeli Bahan Bakar Minyak atau BBM subsidi di stasiun pengisian.
Salah satunya dengan mempersiapkan platform MyPertamina untuk pembelian Pertalite dan Solar. Hanya saja, proyek yang dikerjakan bersama PT Telkom (TLKM) tersebut sebelumnya menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga pada akhirnya disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak September 2024 lalu.
Tersangka pun sudah ditetapkan, namun belum dibeberkan pihak KPK. Saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, Selasa (21/1/2025) soal dari pihak mana saja yang tersangka. Tessa enggan berkomentar lebih jauh. "Belum bisa disampaikan saat ini," singkat Tessa.
Jauh sebelum kasus ini diusut KPK, BPK sempat melaporkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2022 yang menyebutkan bahwa penyusunan owner estimate pada pengadaan digitalisasi SPBU Pertamina tidak sepenuhnya sesuai dengan term of reference (TOR).
Bahkan, BPK juga mencatat hasil pekerjaan yang dilaksanakan oleh PT Telkom Indonesia belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh Pertamina.
"Hal ini mengakibatkan pemborosan keuangan pada PT Pertamina c.q. PT PPN (Pertamina Patra Niaga) sebesar Rp 196,43 miliar dan potensi pemborosan keuangan perusahaan sebesar Rp 692,98 miliar," tulis BPK.
BPK lantas merekomendasikan direksi Pertamina agar menginstruksikan PT Pertamina Patra Niaga untuk melakukan evaluasi dan penyesuaian kontrak dengan PT Telkom Indonesia, sesuai dengan kondisi aktual yang terjadi di SPBU. "Dan memastikan bahwa pengadaan digitalisasi SPBU telah dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan," tulis BPK.
Terkait temuan BPK itu, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting sempat mengatakan, pihaknya telah menyiapkan sistem IT untuk membantu pencatatan, siapa saja konsumen yang berhak membeli BBM bersubsidi.
"QR Code ini pencegahan kecurangan-kecurangan subsidi BBM di lapangan. Sudah bisa dilihat sendiri, betapa banyak penyelewengan yang terjadi," kata Irto beberapa waktu lalu.
Sementara itu, dalam telekonferensi di Rapat Paripurna DPR RI, Selasa 24 Mei 2022 lalu, Ketua BPK RI, Isma Yatun menyatakan bahwa permasalahan yang perlu mendapat perhatian adalah perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan digitalisasi SPBU belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan berpotensi merugikan PT Telkom.
"Sehingga mengakibatkan PT Telkom kehilangan kesempatan menerima pendapatan sewa digitalisasi SPBU selama tahun 2019 kepada PT Pertamina sebesar Rp193,25 miliar," kata Isma.
Selain itu, terdapat duplikasi penggunaan perangkat network SPBU yang mengakibatkan pemborosan keuangan PT Telkom sebesar Rp50,49 miliar.
Topik:
KPK Pangakalan LPG SPBU Digitalisasi SPBU