Korupsi di Masa Pandemi Covid-19, Bos Pertamina Patra Niaga Terancam Hukuman Mati

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 28 Februari 2025 21:41 WIB
Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga mengenakan rompi tahanan Kejagung (Foto: Dok MI/Aswan)
Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga mengenakan rompi tahanan Kejagung (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Pelaku korupsi di PT Pertamina Patra Niaga bisa terkena hukuman mati, sebab diduga melakukan mark up dan mengoplos RON 92 dengan RON 90 terjadi saat pandemi Covid-19. Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan bahwa korupsi di PT Pertamina Patra Niaga terjadi sedari tahun 2018 hingga 2023. 

Sementara pandemi Covid-19 terjadi di antara tahun 2020 hingga 2022. Artinya kasus korupsi tersebut bisa masuk ke dalam korupsi di tengah bencana alam. Maka para pelaku bisa dihukum mati. 

"Karena perbuatan dan peristiwa korupsi pengelolaan minyak mentah yang sama waktunya atau beririsan dengan pandemi covid dimana mereka masih beroperasi memanipulasi bensin, maka layak semua pelaku dituntut hukuman mati sesuai UU Tipikor, apalagi Rakyat jadi korban langsung," kata mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, Jumat (28/2/2025). 

Dimana diketahui dalam UU Tipikor Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Penjelasan "Keadaan tertentu" dalam pasal ini diartikan sebagai pemberatan.  

Pasal 2 UU Tipikor mengatur tentang sanksi tindak pidana korupsi, yaitu penjara seumur hidup, penjara maksimal 20 tahun, atau pidana mati. 

Sebelumnya Kejaksaan Agung menangkap bos PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan. Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengungkapkan peran dari Riva Siahaan yang membuat Dirut PT Pertamina Patra Niaga itu menjadi tersangka.

Abdul Qohar mengatakan, Riva Siahaan bersama dengan Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, SDS, dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, AP, bersama-sama memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan dengan cara melawan hukum.

"Riva Siahaan bersama SDS, dan AP memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum," kata Abdul Qohar dalam keterangan persnya, Senin (24/2/2025) malam.

Tak hanya itu, Riva Siahaan juga berperan melakukan pembelian produk Pertamax, tapi sebenarnya ia hanya membeli produk Pertalite yang harganya lebih rendah.

Kemudian produk Pertalite ini di-blending atau dioplos untuk dijadikan produk Pertamax. Abdul Qohar pun menegaskan bahwa perbuatan Riva Siahaan ini tidak diperbolehkan dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada.

"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (Ron 92). Padahal sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau lebih rendah."

"Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. Dan hal tersebut tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan ketentuan yang ada," beber Abdul Qohar.

Namun demikian usai penangkapan tersebut Pertamina membantah telah mengoplos BBM. Bantahan itu disampaikan dalam rapat dengan komisi XII DPR.

Di hadapan DPR, PT Pertamina Patra Niaga mengakui adanya proses penambahan zat aditif pada BBM jenis Pertamax sebelum didistribusikan ke SPBU, Rabu (26/2/2025) namun hal itu berbeda dengan mengoplos. 

“Di Patra Niaga, kita terima di terminal itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak ada proses perubahan RON. Tetapi yang ada untuk Pertamax, kita tambahan aditif. Jadi di situ ada proses penambahan aditif dan proses penambahan warna,” ujar Pelaksana Tugas Harian (Pth) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra. 

Ega menekankan bahwa proses injeksi tersebut adalah proses umum dalam industri minyak. Tujuannya utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas produk. “Meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih best fuel, artinya belum ada aditif,” kata Ega. 

Namun, Ega memastikan bahwa penambahan zat aditif yang dilakukan, bukan berarti terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite. “Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuannya adalah untuk meningkatkan value daripada produk tersebut. Jadi best fuel RON 92 ditambahkan aditif agar ada benefitnya, penambahan benefit untuk performance dari produk-produk ini,” ungkapnya. 

Selain itu, lanjut Ega, setiap produk yang diterima Pertamina telah melalui uji laboratorium guna memastikan kualitas BBM tetap terjaga hingga ke SPBU.  “Setelah kita terima di terminal, kami juga melakukan rutin pengujian kualitas produk. Nah, itu pun kita terus jaga sampai ke SPBU,” jelas Ega.

Topik:

Kejagung Pertamina Patra Niaga