Hukuman Mati bagi Koruptor Pertamina

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 Maret 2025 16:48 WIB
Ilustrasi - PT Pertamina - Tersangka korupsi tata kelola minyak mentah (Foto: Dok MI/Aswan)
Ilustrasi - PT Pertamina - Tersangka korupsi tata kelola minyak mentah (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Para koruptor tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023, terancam hukuman mati, sebab dilakukan pada masa pandemi Covid-19.

Jaksa Agung, ST Burhanuddin telah menegaskan hal ini. Hanya saja pihaknya masih melihat perkembangan penyelidikan.

"Kita akan melihat dulu apakah ada hal-hal yang memberatkan. Dalam situasi Covid, dia melakukan perbuatan itu, dan tentunya hukumannya akan lebih berat dalam kondisi yang demikian," kata ST Burhanuddin dalam Konferensi Pers di Kantor Kejaksaan Agung bersama Dirut Pertamina, Simon Aloysius Mantiri , Kamis (6/3/2025).

"Bisa-bisa hukuman mati. Tapi kita akan lihat dulu bagaimana hasil penyelidikan ini,” timpalnya menegaskan.

Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan bahwa korupsi di PT Pertamina Patra Niaga terjadi sedari tahun 2018 hingga 2023. 

Sementara pandemi Covid-19 terjadi di antara tahun 2020 hingga 2022. Artinya kasus korupsi tersebut bisa masuk ke dalam korupsi di tengah bencana alam. 

Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap juga sebelumnya senada dengan Jaksa Agung, bahwa para tersangka terancam hukuman mati.

"Karena perbuatan dan peristiwa korupsi pengelolaan minyak mentah yang sama waktunya atau beririsan dengan pandemi covid dimana mereka masih beroperasi memanipulasi bensin, maka layak semua pelaku dituntut hukuman mati sesuai UU Tipikor, apalagi Rakyat jadi korban langsung," kata Yudi kepada Monitorindonesia.com, Jumat (28/2/2025). 

Dimana diketahui dalam UU Tipikor Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. 

Penjelasan "Keadaan tertentu" dalam pasal ini diartikan sebagai pemberatan.  

Pasal 2 UU Tipikor mengatur tentang sanksi tindak pidana korupsi, yaitu penjara seumur hidup, penjara maksimal 20 tahun, atau pidana mati.

Diketahui, kasus ini melibatkan direksi anak perusahaan Pertamina serta pihak swasta. Bahwa berdasarkan alat bukti yang cukup, Kejagung sebelumnya telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka pada 24 Februari 2025.

Para tersangka termasuk Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, dan beberapa pejabat tinggi lainnya di Pertamina dan subholdingnya. Tak lama kemudian Kejagung menetapkan dua tersangka baru pada 26 Februari 2025.

Berikut adalah daftar sembilan tersangka beserta peran mereka dalam kasus ini:

1. Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga

Dalam kasus ini, Riva bersama Sani Dinar Saifuddin dan Agus Purwono, Riva diduga melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang.

Mereka juga memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. Riva juga diduga "menyulap" BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax.

2. Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional

Dalam kasus ini, ia bersama Riva Siahaan dan Agus Purwono, Sani diduga melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang.

Mereka juga memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

3. Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping

Dalam kasus korupsi ini, Yoki diduga melakukan mark-up kontrak pengiriman minyak mentah dan produk kilang.

Hal itu menyebabkan negara harus membayar biaya pengiriman lebih tinggi dari seharusnya.

4. Agus Purwono, Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional

Peran dia dalam kasus ini adalah bersama Riva Siahaan dan Sani Dinar Saifuddin, Agus diduga terlibat dalam manipulasi rapat optimalisasi.

Ia juga terlibat dalam pengondisian yang memungkinkan broker minyak meraih kemenangan secara ilegal.

5. Muhammad Kerry Adrianto Riza, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa 

Ia, disebut terlihat dalam praktik mark-up kontrak pengiriman yang dilakukan Yoki.

Akibat mark-up yang dilakukannya, negara harus membayar fee tambahan sebesar 13-15 persen yang menguntungkan Kerry.

6. Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim

Dimas bersama Gading Ramadhan Joedo diduga melakukan komunikasi dengan Agus Purwono untuk mendapatkan harga tinggi dalam kontrak, meskipun syarat belum terpenuhi.

7. Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak

Gading bersama Dimas menjalin komunikasi dengan Agus Purwono demi memuluskan kontrak harga tinggi.

Ia juga diduga mendapatkan persetujuan dari Sani Dinar Saifuddin dan Riva Siahaan untuk impor minyak mentah dan produk kilang.

8. Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga

Maya Kusmaya diduga memerintahkan dan memberikan persetujuan untuk melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92.

Selain itu, Maya juga memerintahkan pengoplosan produk kilang jenis RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) di terminal PT Orbit Terminal Merak. Tindakan ini menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi yang tidak sesuai dengan kualitas barang.

9. Edward Corne, VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga

Edward Corne diduga terlibat dalam pembelian BBM RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 atas persetujuan Riva Siahaan.

Edward juga terlibat dalam pengoplosan produk kilang jenis RON 88 dengan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak.

Selain itu, Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung, yang menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga tinggi.

Pun, Kejaksaan Agung menyebut kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun. Namun, Kejagung memperkirakan bahwa kerugian negara bisa mencapai hampir Rp1 kuadriliun jika dihitung secara keseluruhan untuk periode 2018-2023.

Angka ini mencakup berbagai komponen, seperti kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, pembelian minyak impor dengan harga tidak wajar, dan pemberian subsidi serta kompensasi yang seharusnya bisa ditekan jika tata kelola energi berjalan dengan baik.

Kasus ini menjadi salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia dan menambah panjang daftar kasus korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar. Kejagung terus melakukan penyelidikan untuk memastikan semua pihak yang terlibat bertanggung jawab atas perbuatannya. (wan)

Topik:

Kejagung Hukuman Mati Pertamina Korupsi Pertamina