Dugaan Korupsi Kebun Sawit, Pembangkit Listrik hingga Tambang Berpotensi Rugikan Negara Rp 437 T

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Maret 2025 11:23 WIB
Ilustrasi - Perkebunan Kelapa Sawit (Foto: Dok MI/Net/Ist)
Ilustrasi - Perkebunan Kelapa Sawit (Foto: Dok MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Dugaan korupsi sumber daya alam (SDA) di sektor perkebunan sawit, pembangkit listrik hingga  pertambangan berpotensi merugikan negara Rp 437 triliun. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kasus ini menyeret 47 perusahaan yang telah dilaporkan  ke Kejaksaan Agung (Kejagung). 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi menyatakan bahwa modus operandi dalam kasus ini adalah mengubah status kawasan hutan melalui revisi tata ruang ataupun Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja, gratifikasi dengan pembiaran aktivitas tanpa izin, pemberian izin meski tidak sesuai dengan tata ruang, dan lainnya.

Namun modus yang lebih besar adalah dengan mengubah atau membentuk beberapa produk hukum yang di dalamnya diatur pasal-pasal yang mengakomodasi kepentingan eksploitasi SDA dan pengampunan pelanggaran, atau yang biasa disebut dengan state capture corruption. 

“Kami tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, tapi juga harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengkonsolidasikan praktik korupsi tersebut," kata Zenzi dikutip pada Senin (10/3/2025).

"Dari tahun 2009 kami melihat proses menjual tanah air itu akan terus berlangsung terhadap 26 juta hektare hutan Indonesia,” timpalnya.

Korupsi di sektor SDA ini telah merugikan negara dan perekonomian negara dengan hilangnya mata pencaharian rakyat, hilangnya sumber-sumber penghidupan, konflik, dan kerusakan lingkungan, serta biaya eksternalitas yang harus ditanggung negara dari aktivitas korporasi tersebut.

“Sangat besar kerugian negara dan perekonomian negara dari korupsi SDA ini dan telah banyak kasus yang selama ini dilaporkan oleh Walhi kepada pihak yang berwenang, namun hanya sedikit kasus saja yang diproses dan diadili," jelasnya.

Dalam kasus ini, Kejagung memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa penegakan hukum atas kejahatan lingkungan dan korupsi sumber daya alam berjalan efektif dan tidak ada impunitas bagi para pelaku.  Sebab itu, Walhi mendatangi, melakukan audiensi dan pelaporan pada Kejaksaan Agung baru-baru ini.

Sementara Direktur Walhi Kalimantan Selatan Raden Rafiq mengatakan bahwa sejumlah perusahaan ini hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak perusahaan yang telah melakukan pelanggaran serius terhadap lingkungan hidup dan hak masyarakat adat serta petani lokal.

"Ini hanya bagian kecil saja," katanya.

Direktur Walhi Maluku Utara Faisal Ratuela juga buka suara. Bahwa sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masifnya pertambangan nikel saat ini telah menghancurkan wilayah tangkap nelayan, pencemaran lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, seperti mangrove, sigres dan koral. 

Dia menjelaskan, penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi harus segera dilakukan oleh Kejaksaan Agung, sebab bukti permulaan yang pihaknya laporkan telah cukup kuat ditambah lagi kasus korupsi perizinan pertambangan sebelumnya juga telah diungkap oleh KPK.

"Dan Maluku Utara menempati posisi nomor satu provinsi terkorup di Indonesia," katanya.

Selain melaporkan korporasi dan pihak pemerintah yang terindikasi terlibat dalam praktik korupsi dan gratifikasi, Walhi juga menyampaikan catatan kritisnya terhadap Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, di mana Jampidsus Kejaksaan Agung menjadi Ketua Pelaksana Satgas tersebut. 

Satgas harus menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan. 

Satgas tidak boleh melakukan penertiban kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, menegaskan, sejak awal, pihaknya mengkritik dominasi militer dalam satgas penertiban kawan hutan ini berikut dengan substansi peran dan kerjanya yang diaturkan di dalam perpres.

Kekhawatiran terbesar Walhi akan banyak rakyat yang menjadi korban penggusuran dan dirampas tanahnya atas nama penertiban kawasan hutan. 

"Oleh karena itu, Walhi se-Indonesia sangat serius mengawasi kerja-kerja Satgas saat ini dan ke depan,” katanya 

Atas hal itu, Walhi berharap Kejaksaan Agung memproses laporan yang telah disampaikan dan Walhi juga terbuka untuk bekerja bersama Kejaksaan Agung baik di nasional maupun di daerah-daerah untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi SDA tersebut.

Topik:

Kejagung Walhi