KPK Periksa Direktur PT Panasia Synthetic Abadi Agnes Novella sebagai Saksi Kasus Gratifikasi di DJP

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Maret 2025 14:53 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI/Aswan)
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur PT Panasia Synthetic Abadi, Agnes Novella, sebagai saksi kasus dugaan gratifikasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 28 Februari 2025 lalu.

"Agnes Novella telah memenuhi panggilan KPK sebagai saksi pada tanggal 28 Februari 2025 sesuai dengan hasil penjadwalan ulang yang telah disepakati," kata pihak PT Panasia Synthetic Abadi kepada Monitorindonesia.com, Selasa (11/3/2025).

Adapun ketidakhadiran Agnes Novella pada pemeriksaan tanggal 24 Februari 2025 bukan karena mangkir, melainkan disebabkan oleh alasan yang sah yang telah disampaikan kepada pihak KPK. "KPK juga telah menyetujui permohonan penjadwalan ulang (reschedule) pada 24 Maret 2025," demikian pihak PT Panasia Synthetic Abadi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan HNV selaku Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Provinsi Banten (2011), Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus (2015 – 2018), sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Dalam konstruksi perkaranya, pada Desember 2016 HNV diduga telah menggunakan pengaruh dan koneksinya untuk kepentingan dirinya dan usaha anaknya. HNV meminta YD selaku Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing 3 untuk dicarikan sponsorship usaha anaknya. Pada rentang waktu 2016 s.d. 2017 seluruh penerimaan gratifikasi berupa sponsorship tersebut sebesar Rp804 juta. Penerimaan berasal dari perusahaan dan perorangan, baik yang merupakan Wajib Pajak (WP) di wilayah Kanwil DJP Jakarta Khusus maupun WP wilayah lainnya.

Selain itu, pada periode waktu 2014 s.d 2022, HNV diduga menerima sejumlah uang dalam bentuk valas Dollar Amerika dari beberapa pihak melalui BSA sebagai perantara. Penerimaan tersebut ditempatkan pada deposito dengan menggunakan nama pihak lainnya, yang selanjutnya dilakukan pencairan ke rekening HNV sejumlah Rp 14 miliar. Kemudian pada periode 2013 - 2018, HNV juga diduga melakukan transaksi keuangan pada rekening-rekening miliknya melalui perusahaan valuta asing dan pihak lainnya sejumlah Rp6.6 miliar. Sehingga total penerimaan sekurang-kurangnya Rp21,5 miliar.

Atas perbuatannya, tersangka HNV diduga telah melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini, KPK masih terus mengumpulkan dan melengkapi alat bukti, pemeriksaan para saksi, serta penelusuran aset terkait. (wan)

Topik:

KPK