Kejagung Punya Peluang Terapkan Pasal TPPU di Kasus Sogok Trio Hakim Korupsi CPO Wilmar


Jakarta, MI - Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengungkap kasus dugaan suap trio hakim penanganan perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus ini sebelumnya menyeret tiga korporasi besar yang sedang berperkara: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Ketiganya sebelumnya dituntut atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO.
Wilmar dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun, Musim Mas Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Rp 937,5 miliar. Selain itu, jaksa juga menuntut denda masing-masing Rp 1 miliar.
Belakangan, ketiga korporasi tersebut justru divonis ontslag van alle recht vervolging, atau terbukti melakukan perbuatan, tapi dinyatakan bukan tindak pidana. Putusan itu, menurut Kejaksaan, merupakan hasil pesanan. Maka dengan bukti yang cukup, Kejagung menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta; Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG); serta kuasa hukum korporasi, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri sebagai tersangka.
Lalu menetapkan tersangka kepada tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ekspor CPO yakni Djuyamto (DJU) selaku ketua majelis serta Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) selaku anggota. Terbaru Kejagung menetapkan Muhammad Syafei (MS) yang merupakan Social Security Legal Wilmar Group sebagai tersangka.
Begitu disapa Monitorindonesia.com, Rabu (16/4/2025), pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan kasus ini mestinya menjadi pintu masuk untuk menyelisik kembali kasus-kasus serupa.
"Ternyata putusan lepas itu muncul karena adanya penyuapan Rp60 miliar. Ini memang dibelokkan [putusannya]. Itu modus mafia-mafia yang melibatkan hakim," kata Yenti.
Menurut Yenti, penegak hukum harus benar-benar memahami konsep "kejahatan perusahaan" yang sudah diatur dalam UU Tipikor.
"Aparat hukum hukum harus bisa mencermati dan mendalami kejahatan yang terjadi terkait suatu perusahaan. Kalau sudah terbukti, maka bisa dilakukan pemidanaan sampai yang terberat pencabutan izin dan disertai dengan denda," jelasnya.
"Dan yang lebih penting lagi: pengembalian semua keuntungan perusahaan yang dihitung sejak terbukti terlibat kejahatan," timpalnya.
Berkaca dari penanganan kasus suap perkara ekspor CPO dimana Kejaksaan Agung memamerkan barang sitaan berupa mobil mewah, maka Yenti menilai adanya peluang penggunaan pasal TPPU.
"Ketika barang bukti yang disita adalah mobil mewah, urusannya bukan semata korupsi, melainkan sudah nyata, ada indikasi tindak pidana pencucian uang untuk mempercepat penyitaan dan perampasan [aset]," kata Yenti.
"Di Indonesia, pidana berat untuk korupsi diperlukan. Enggak jera-jera soalnya. Memang akan lebih jera kalau disita dan dimiskinkan," imbuh Yenti.
Diketahui bahwa tim Penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung melakukan tindakan penggeledahan sejak Sabtu, 12 April 2025 pada pukul 12.00 WIB.
“Tim penyidik Jampidsus pada Kejagung melakukan tindakan penggeledahan di tiga provinsi, yaitu di Jepara di Jawa Tengah, Sukabumi di Jawa Barat, dan di Jakarta,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Kantor Kejagung RI, Jakarta, pada Senin (14/4/2025) dini hari.
Dari penggeledahan tersebut diperoleh barang bukti sebagai berikut:
1. 40 lembar mata uang dolar Singapura pecahan SGD 100 dan 125 (seratus dua puluh lima) lembar mata uang dolar Amerika pecahan US$ 100 yang disita di rumah tersangka Muhammad Arif Nuryanta (MAN) di Jl. Perintis Kemerdekaan 26 No. 25, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Tegal, Jawa Tengah.
2. Sepuluh lembar dolar Singapura uang pecahan SGD 100 dan 74 lembar dolar Singapura pecahan SGD 50 disita di rumah tersangka Ariyanto Bakrie (AR) di Jl, Kikir No. 26, RT 1/RW 4, Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur.
3. Tiga unit mobil yaitu 1 (satu) Toyota Land Cruiser dan 2 (dua) Land Rover, 21 unit speda motor, dan 7 unit sepeda yang juga disita di rumah tersangka AR Jl, Kikir No. 26, RT 1/RW 4, Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur.
4. Uang senilai US$ 36.000 disita di rumah tersangka Ali Muhtarom (AM) di Jepara.
5. 1 (satu) unit mobil Fortuner disita di rumah tersangka AM di Jepara.
6. Uang senilai SGD 4.700 disita dari kantor tersangka Marcella Santoso (MS).
7. Uang tunai Rp 616.230.000 disita dari rumah tersangka Agam Syarief Baharudin (ASB).
Bersamaan dengan pemaparan daftar barang bukti, Kejagung menetapkan tiga orang hakim sebagai tersangka baru pada Minggu, 13 April 2025 yang menjadikan daftar tersangka pada kasus tersebut saat ini berjumlah tujuh orang.
Tiga hakim tersebut adalah DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharudin), dan AM (Ali Muhtarom). Sementara empat tersangka lain yang telah lebih dulu ditetapkan adalah Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), pengacara Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR), serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG).
Atas perbuatan mereka, para tersangka disangkakan melanggar pasal berlapis. Qohar menyebutkan, yakni Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 B juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Peran tersangka
Majelis hakim yang memutus lepas terdakwa kasus ini adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat dan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
Tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng ini mulai dari Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus ini lalu memberikan vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025.
Tiga hakim yang urus perkara itu diduga bersekongkol dengan Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Marcella Santoso dan Ariyanto selaku pengacara tiga terdakwa korporasi, serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
Vonis lepas itu berbeda jauh dengan tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut uang pengganti sebesar Rp 937 miliar kepada Permata Hijau Group, uang pengganti kepada Wilmar Group sebesar Rp 11,8 triliun, dan uang pengganti sebesar Rp 4,8 triliun kepada Musim Mas Group.
Saat menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta menggunakan jabatannya untuk mengatur vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng. Kasus kemudian terendus penyidik Kejagung.
Penyidik mendapati ada 2 amplop di tas milik Arif saat melakukan penggeledahan. Pertama, amplop coklat berisi 65 lembar uang pecahan SGD 1.000 dan amplop berwarna putih berisi 72 lembar uang pecahan USD 100.
Kemudian, penyidik juga menyita dompet milik Arif yang di dalamnya terdapat ratusan uang pecahan dolar Amerika Serikat (USD), Dolar Singapura (SGD), Ringgit Malaysia (RM) hingga rupiah. Arif Nuryanta menerima suap sebanyak Rp 60 miliar.
Masing-masing hakim kecipratan duit suap. Mulanya, hakim Agam Syarif menerima uang senilai Rp 4,5 miliar dari Muhammad Arif Nuryanta.
"Setelah menerima uang Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB (Agam Syarif) dimasukan ke dalam goody bag, dan setelah keluar ruangan dibagi kepada 3 orang yaitu ASB sendiri, AL, dan DJU," kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejagung, Senin (14/4/2025) dini hari
Arif lalu menyerahkan lagi sejumlah uang untuk ketiga hakim itu pada September 2024. Uang yang diberikan dalam bentuk dolar Amerika atau senilai Rp 18 miliar. Uang tersebut diserahkan kepada hakim Djuyamto.
"ASB menerima uang dolar bila dirupiahkan Rp 4,5 miliar, DJU (Djuyamto) menerima uang dolar jika dirupiahkan Rp 6 miliar, dan AL (Ali) menerima uang berupa dolar amerika bila disetarakan rupiah Rp 5 miliar," beber Abdul Qohar.
Ketiga hakim itu, jelas Qohar, mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut agar perkara diputus ontslag alias divonis lepas.
Dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa Arif sangat berperan aktif agar majelis hakim memberikan vonis lepas terhadap para terdakwa. Dalam proses tersebut, Wahyu Gunawan yang saat itu menjadi panitera di PN Jakarta Pusat merupakan orang kepercayaan dari Arif Nuryanta.
“WG sebagai panitera merupakan orang kepercayaan MN. Kemudian melalui dia (WG) lah terjadi kesepakatan,” kata Abdul Qohar.
Sementara Ariyanto dan Marcella Santoso yang merupakan pengacara terdakwa menjadi pihak yang diduga memberikan suap senilai Rp 60 miliar itu. Uang tersebut diberikan melalui Wahyu Gunawan
Setelah menetapkan 7 tersangka itu, Kejagung kembali menetapkan tersangka baru yakni Kepala Tim Hukum PT Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY)
Syafei diduga terlibat penyuapan trio hakim yang menangani perkara korupsi itu. “Malam ini menetapkan satu orang tersangka, MSY. Yang bersangkutan sebagai Head of Social Security Legal Wilmar Group,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers, Selasa (15/4/2025) malam.
Uang Rp 60 miliar tersebut diduga diberikan agar trio hakim memberikan putusan lepas. Sebelumnya, ketiga perusahaan itu didakwa atas tindak pidana korupsi CPO. Wilmar lalu dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun, Musim Mas Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Rp 937,5 miliar. Selain itu, jaksa juga menuntut denda masing-masing Rp 1 miliar.
Namun, ketiga korporasi tersebut justru divonis ontslag van alle recht vervolging, atau terbukti melakukan perbuatan, tapi dinyatakan bukan tindak pidana oleh majelis hakim. Putusan itu, menurut Kejaksaan, merupakan hasil pesanan dari praktik suap yang sedang diselidiki.
Abdul Qohar menjelaskan, dalam kasus suap hakim tersebut, Syafei berperan sebagai orang yang menyediakan uang suap. Hal ini berawal ketika tersangka WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bertemu dengan tersangka AR (Ariyanto) selaku advokat atau penasihat korporasi dalam kasus korupsi CPO.
“Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng mentah (CPO) harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal. Bahkan, melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar Selasa malam.
Wahyu Gunawan, meski bertugas di PN Jakarta Utara, bisa menjadi makelar kasus ini karena ia orang kepercayaan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Hasil pertemuan dengan Wahyu Gunawan tersebut lantas disampaikan oleh Ariyanto kepada tersangka MS (Marcella Santoso) selaku advokat tersangka korporasi. MS lalu menemui Syafei selaku Head Social Security Legal PT Wilmar Group di sebuah rumah makan di Jakarta Selatan.
“Dalam pertemuan tersebut, MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh AR dari WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” kata Qohar.
Menurut Qohar, sekitar dua pekan kemudian, Ariyanto kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan yang menyampaikan agar perkara ini segera diurus. Ariyanto pun menyampaikan kepada Marcella yang kembali menemui Syafei di rumah makan yang sama.
Dalam pertemuan itu, Syafei menyampaikan bahwa biaya yang disediakan oleh pihak korporasi sebesar Rp 20 miliar.
Menindaklanjuti hal tersebut, tersangka Arianto, Wahyu Gunawan, dan Muhammad Arif Nuryanta bertemu di sebuah rumah makan di Jakarta Timur. Arif lalu mengatakan bahwa perkara korupsi CPO tersebut tidak dapat diputus bebas, tetapi bisa diputus lepas (ontslag). Arif pun meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga menjadi Rp 60 miliar.
Setelah pertemuan itu, Wahyu Gunawan meminta Ariyanto agar segera menyiapkan uang Rp 60 miliar. Permintaan tersebut diteruskan kepada Marcella yang menyampaikannya kepada Syafei.
“MS menghubungi MSY dan dalam percakapan itu, MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS ataupun dolar Singapura,” kata Qohar.
Sekitar tiga hari kemudian, Syafei mengatakan bahwa uang yang diminta sudah siap. Ariyanto pun menemui Syafei di sebuah area parkir di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, untuk menerima uang tersebut. Lantas uang diantarkan ke rumah Wahyu Gunawan untuk diserahkan kepada Arif.
Setelah itu, Arif selaku Wakil Ketua PN Jakpus menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom untuk menangani kasus tersebut.
Pada 19 Maret 2025, majelis hakim Pengadilan Tipikor di PN Jakpus memutus ketiga korporasi secara ontslag, membebaskan mereka dari semua tuntutan jaksa. (wan)
Topik:
Kejagung Korupsi CPO Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Wilmar TPPU Korupsi Minyak GorengBerita Terkait

Penerima Dana Korupsi BTS Rp243 M hampir Semua Dipenjara, Dito Ariotedjo Melenggang Bebas Saja Tuh!
3 jam yang lalu

Kejagung Periksa Dirut PT Tera Data Indonesia terkait Kasus Chromebook
30 September 2025 12:29 WIB

Korupsi Blok Migas Saka Energi Naik Penyidikan, 20 Saksi Lebih Diperiksa!
29 September 2025 20:05 WIB