Desak UU Nomor 1/2025 Tentang BUMN Dicabut, Pakar TPPU: Kewenangan KPK Diberangus!


Jakarta, MI - Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih, menilai ruang gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin sempit dan tidak bisa lagi menindak dugaan korupsi di tubuh BUMN usai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN berlaku 24 Februari 2025.
Bahwa dalam beleid itu, direksi dan komisaris perusahaan pelat merah tidak ditempatkan sebagai penyelenggara negara. Pasal 3X Ayat (1) berbunyi:
"Organ dan pegawai badan bukan merupakan penyelenggara negara".
Pasal 9G berbunyi: "Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara".
Padahal berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) UU KPK, salah satu objek kewenangan lembaga antirasuah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara yang terlibat tindak pidana korupsi.
Pun Yenti menduga ada upaya menjadikan BUMN kebal hukum. "Saya melihat negara ini inkonsisten ya dalam rangka memberantas korupsi. Artinya dalam membuat suatu politik hukum ini tidak memikirkan harmonisasi hukum. Jadi dulu cita-citanya kita ingin memberantas korupsi dengan mendirikan KPK agar KPK itu jangkauannya bisa kepada lembaga-lembaga pengelola keuangan negara," kata Yenti kepada Monitorindonesia.com, Rabu (8/5/2025).
"Nah sekarang ini kondisi korupsi sudah parah, kan aneh tiba-tiba kewenangan KPK diberangus seperti ini, terus gunanya KPK apa? Ini pasti ada conflict of interest," timpal Yenti.
Tak hanya itu, Yenti bahkan menilai pasal dalam UU BUMN itu bertentangan dengan UU KPK. Pun menurut dia penghapusan penempatan BUMN bukan sebagai penyelenggara negara dinilai tidak tepat.
Direksi BUMN, tegas Yenti, seharusnya dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Sebab, direksi mengelola uang negara dari badan usaha yang dipimpinnya.
"Pekerjaan apapun asal dia bekerja di tempat yang ada keuangan negaranya maka itu dikatakan sebagai penyelenggara negara. Ini kok kesannya ada upaya untuk melindungi BUMN dari perkara korupsi."
"Ini harusnya KPK itu ditakuti, bukan dilemahkan. Ini menyangkut uang negara, loh, masa kita mau membiarkan mereka menggarong uang negara," timpal Yenti.
Maka dari itu, Yenti mendesak UU BUMN ini harus dibatalkan. Baginya, hal ini menjadi penting sebagai bukti nyata dari komitmen pemerintah yang ingin memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
"Cabut itu UU-nya. UU ini tidak melibatkan aspirasi masyarakat, terkesan diburu-buru. Sehingga produk yang dihasilkan ini cacat," katanya.
Penting diketahui bahwa berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2016 hingga 2021, terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN dengan 340 tersangka.
Dari ratusan tersangka itu, mayoritas berlatar belakang pimpinan menengah di perusahaan BUMN yakni 83 orang. Lainnya, 51 direktur dan 76 karyawan.
Ratusan kasus korupsi di lingkungan BUMN itu merugikan negara hingga Rp 47,9 triliun.
Beberapa kasus kasus korupsi besar yang terjadi dalam 10 tahun terakhir, antara lain:
Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina subholding periode 2018-2023. Kejaksaan Agung (Kejagung) memperkirakan skandal dugaan korupsi di PT Pertamina Persero selama 5 tahun telah merugikan negara hingga Rp 968,5 triliun.
Korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk periode 2015-2022, dengan 23 tersangka. Berdasarkan audit BPKP, kerugian negara sebesar Rp332,6 triliun.
Kasus dugaan korupsi pengelolaan dan penggunaan dana investasi di PT Asuransi Jiwasraya pada periode 2008-2019 yang didakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun.
Penting dicatat bahwa UU Nomor 1 Tahun 2025 merupakan peraturan perundang-undangan yang baru ditetapkan dan berlaku sejak 24 Februari 2025. UU tersebut mengubah UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal 9G dalam UU BUMN terbaru berbunyi: “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”
Di sisi lain, salah satu objek yang ditindak oleh KPK adalah penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum hingga penyelenggara negara, dan merugikan negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Kejaksaan Agung mengatakan direksi atau komisaris BUMN tetap bisa disidik bila ada dugaan melakukan korupsi meski dalam Undang Undang BUMN disebutkan sudah bukan bagian dari penyelenggara negara. “Selagi ada fraud dan indikasi aliran dana negara, bisa. Itu dasarnya, ” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar, Senin (5/5/2025).
Fraud yang dimaksud Harli adalah persekongkolan atau pemufakatan jahat. Ia mencontohkan dalam penyertaan modal negara atau PMN, kemudian ditemukan ada penyelewenangan maka direksi maupun komisaris BUMN tetap bisa diusut.
Sementara itu Menteri BUMN Erick Thohir menilai pelaku korupsi harus tetap menjalani proses hukum meski bukan penyelenggara negara. "Kalau korupsi, ya korupsi. Nggak ada hubungan dengan penyelenggara negara atau tidak penyelenggara negara. Itu kan jelas," ujar Erick.
Erick menuturkan Kementerian BUMN bersama KPK dan pihak kejaksaan tengah duduk bersama untuk membahas perihal pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN. Kementerian BUMN juga memberikan tugas baru kepada para direksi untuk melakukan pengawasan dan investigasi terhadap korporasi.
"Sekarang Kementerian BUMN salah satu tugasnya, itu pengawasan dan investigasi juga. Karena itu di SOTK (struktur organisasi dan tata kelola) yang terbaru, nanti deputi BUMN kan menambah dari tiga ke lima ya, salah satunya fungsinya tadi menangkap korupsi. Itu yang kita tidak punya ekspertis," katanya. (wan)
Topik:
KPK BUMN UU BUMN