ICW Ungkap Kejanggalan Pengadaan Laptop Rp9,9 Triliun di Era Nadiem

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 7 Juni 2025 09:24 WIB
ICW Ungkap Kejanggalan Pengadaan Laptop Rp9,9 Triliun di Era Nadiem (Foto: Ist)
ICW Ungkap Kejanggalan Pengadaan Laptop Rp9,9 Triliun di Era Nadiem (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Dugaan kejanggalan mencuat dari pengadaan laptop dan perangkat teknologi lainnya di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada periode 2020–2022. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) menyoroti anggaran jumbo yang mencapai Rp9,9 triliun.

Almas Sjafrina dari ICW mengungkapkan bahwa pengadaan laptop berikut sejumlah perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) lainnya bukan kebutuhan prioritas pelayanan pendidikan di tengah pandemi Covid-19.

Ia menegaskan bahwa penggunaan anggaran yang sebagian berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik, tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 123 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis DAK Fisik.

Almas meyebut, penggunaan DAK seharusnya diusulkan dari bawah (bottom-up), bukan tiba-tiba diusulkan dan menjadi program kementerian.

"Pencairan DAK juga harus melampirkan daftar sekolah penerima bantuan, sedangkan saat itu tak jelas bagaimana dan kepada sekolah mana laptop akan didistribusikan," ujarnya melalui siaran pers, dikutip Jumat (6/6/2025).

Ia menyampaikan bahwa rencana penganggaran tidak tersedia dalam aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). 

Akibatnya, informasi mengenai pengadaan yang akan dilakukan dengan metode pemilihan penyedia e-purchasing menjadi kurang transparan dan tidak banyak diketahui publik.

Dasar penentuan spesifikasi laptop harus memiliki OS chromebook tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, khususnya daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar) yang menjadi salah satu target distribusi laptop.

Pasalnya, lanjut Almas, laptop chromebook akan berfungsi optimal jika tersambung dengan internet. Sedangkan infrastruktur jaringan internet di Indonesia belum merata. Terlebih lagi sudah ada uji coba penggunaan laptop chromebook pada 2019 yang menghasilkan kesimpulan bahwa laptop chromebook tidak efisien.

"Sehingga menjadi pertanyaan, mengapa Menteri Nadiem Makarim memutuskan spesifikasi chromebook dalam lampiran Permendikbud No. 5 Tahun 2021," terang Almas.

Ia menilai bahwa spesifikasi berupa chromebook dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) mempersempit persaingan usaha, karena hanya sedikit perusahaan yang memenuhi syarat sebagai penyedia.

Pada akhirnya, penyedia potensial pun mengerucut hanya pada enam perusahaan, yaitu PT Zyrexindo Mandiri Buana (Zyrex), PT Supertone, PT Evercoss Technology Indonesia, Acer Manufacturing Indonesia (Acer), PT Tera Data Indonesia (Axio), dan PT Bangga Teknologi Indonesia (Advan).

Almas menjelaskan, kondisi penyedia yang terbatas itu bertentangan dengan semangat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

"Kejanggalan demi kejanggalan pada tahap perencanaan dan penentuan spesifikasi memperbesar pertanyaan kami mengenai alasan dibalik Kemendikbudristek yang saat itu dipimpin oleh Nadiem Makarim seolah memaksakan pengadaan chromebook tetap dilakukan, sehingga kami melihat pengadaan ini rentan dikorupsi dan gagal mencapai tujuan kebijakannya," tutur Almas.

Sementara itu, Anwar Razak dari KOPEL Indonesia memaparkan pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan dan terkesan dipaksakan kerap berangkat dari pemufakatan jahat dan berujung pada korupsi berbagai modus, seperti mark up harga, penerimaan kick back dari penyedia, hingga pungutan liar dalam proses distribusi barang.

Pemufakatan jahat terindikasi karena kajian tim teknis Kementerian Pendidikan diabaikan, padahal kajian tersebut menilai OS Chrome tidak sesuai dengan program digitalisasi pendidikan, khususnya di wilayah yang akses internetnya lemah.

Menanggapi berbagai temuan itu, Anwar menyampaikan bahwa KOPEL dan ICW mendukung proses penegakan hukum yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung. 

Namun, kedua LSM tersebut meragukan pihak yang potensial terlibat dalam kasus ini hanya berpusat pada staf khusus menteri.

Pasalnya, staf khusus tidak mempunyai kewenangan langsung dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.

Dalam pengadaan dengan metode e-purchasing dengan nilai di atas Rp200 juta, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) merupakan pihak sentral, termasuk yang berwenang melakukan rencana pengadaan dan melaksanakan pengadaan.

PPK bertanggung jawab melakukan pelaporan kepada pengguna anggaran (menteri) atau kuasa pengguna anggaran yang ditunjuk oleh menteri.

"Sehingga, peran stafsus dalam pengadaan ini perlu diusut telusuri siapa pemberi perintah/ pesan dan bagaimana stafsus melakukan perannya tersebut," jelas Anwar.

"Oleh karena itu, pihak lain dari pelaku pengadaan yang perlu diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Agung di antaranya yaitu PPK, kuasa pengguna anggaran, dan Nadiem Makarim selaku menteri atau pengguna anggaran," tambahnya.

Program pengadaan laptop saat itu layak dipandang sebagai salah satu proyek prioritas pemerintah, terlihat dari besarnya alokasi anggaran dan tetap dilaksanakannya pengadaan tersebut meskipun pandemi Covid-19 masih berlangsung serta mendapat kritik dan sorotan dari publik.

Selanjutnya penentuan spesifikasi laptop tertera dalam lampiran Permendikbud No. 5 Tahun 2021 yang Menteri Nadiem tandatangani. Di dalamnya disebutkan salah satu spesifikasi minimal perangkat komputer berupa laptop yang diadakan berupa operating system Chrome OS.

"Untuk itu, kami mendesak Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan dalam rangka menelusuri dugaan keterlibatan berbagai pihak yang berwenang dalam pengadaan, seperti PPK, kuasa pengguna anggaran, dan pengguna anggaran atau Menteri Nadiem Makarim," pungkas Anwar.

Topik:

data-pengadaan-laptop korupsi icw