KPK OTT Rp 120 Juta: Sindiran terhadap Kejagung?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 28 Juni 2025 23:45 WIB
KPK menjerat 5 tersangka usai melancarkan 2 operasi tangkap tangan (OTT) di Sumatera Utara (Sumut) (Foto: Dok MI/Aswan)
KPK menjerat 5 tersangka usai melancarkan 2 operasi tangkap tangan (OTT) di Sumatera Utara (Sumut) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menemukan barang bukti berupa uang tunai Rp120 juta dalam dua operasi tangkap tangan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara, pada Kamis (26/6/2025) lalu.

KPK lantas merespons seolah tak ingin meniru aparat penegak hukum lain yang beberapa kali menggelar konferensi pers pengungkapan sebuah kasus sambil memamerkan barang bukti tumpukan uang dengan jumlah miliar hingga triliun. "Operasi tangkap tangan ini sebelum proyek itu dilaksanakan," kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, Sabtu (28/06/2025).

KPK memiliki dua pilihan dalam penindakan sebuah kasus korupsi, ungkapnya, termasuk OTT. Opsi pertama, penyidik bisa menggelar OTT pada saat para pelaku mulai melakukan transaksi suap di awal proyek. Berarti, proyek belum berjalan serta masih bisa dihentikan dan perbaiki.

Opsi kedua, penyidik melakukan OTT saat proyek sudah selesai dan para pelaku tengah menuntaskan pembayaran seluruh komitmen fee yang disepakati sejak awal. Berarti, kata Asep, proyek kemungkinan sudah selesai dengan spesifikasi buruk dan berpotensi menjadi proyek gagal.

"[KPK memilih opsi pertama] kalau di awal seperti ini bisa lebih bagus. Kenapa? Karena kita bisa mengeliminir, membantu Provinsi Sumatera Utara untuk mengeliminir perusahaan-perusahaan yang tidak kredibel ini," bebernya.

Dia mengatakan, OTT di Kabupaten Mandailing Natal berisi enam proyek di Dinas PUPR dan Satker PJN Sumatra Utara senilai Rp231,8 miliar. Pada kasus ini, para pelaku sepakat menyisihkan 10-20% nilai proyek atau setara Rp46 miliar kepada para pejabat.

Akan tetapi, pada awal proyek, para pengusaha swasta baru mengirimkan suap Rp2 miliar kepada para pejabat. Sebanyak Rp120 juta di antaranya ditemukan penyidik saat OTT Kamis lalu. 

Lembaga antirasuah tersebut mengklaim tak berminat baru mengusut di akhir proyek dengan prakiraan bisa menyita uang suap Rp46 miliar yang bisa ditampilkan saat konferensi pers.

"KPK bisa aja dapat Rp46 miliar. Saya bawa ke sini Rp46 miliar, rekan-rekan bisa lihat. Tapi [proyek] jalannya sudah jadi dengan kualitas yang jelek. Dan masyarakat tidak akan mendapatkan manfaatnya," kata Asep.

Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah aparat penegak hukum memang kerap memamerkan barang bukti berupa uang tunai. Mereka menampilkan uang yang disebut berasal dari sejumlah tindak pidana seperti korupsi, narkoba, hingga judi online.

Kejagung pamer uang sitaan Rp 11,8 triliun 

Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang sebesar Rp 11,8 triliun dari terdakwa korporasi PT Wilmar Group terkait perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dan produk turunannya tahun 2022. Hal itu, diungkapkan Kejagung dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (17/6/2025).

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Sutikno, mengatakan uang triliunan tersebut disita dari lima terdakwa korporasi yang tergabung dalam PT Wilmar Group.

Kelima perusahaan itu adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

“Kelima terdakwa korporasi tersebut di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah diputus oleh hakim dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum sehingga penuntut umum melakukan upaya hukum kasasi yang hingga saat ini perkaranya masih ada dalam tahap pemeriksaan kasasi,” katanya.

Sutikno menambahkan, akibat perbuatan para terdakwa korporasi, negara mengalami kerugian dalam tiga bentuk, yaitu kerugian keuangan negara, illegal gain, dan kerugian perekonomian negara yang seluruhnya sebesar Rp11.880.351.802.619,00.

Uang Rp 11,8 T dari Wilmar Group Disita Kejagung

“(Kerugian) berdasarkan penghitungan hasil audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan laporan kajian analisis keuntungan ilegal dan kerugian perekonomian negara dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM),” ucapnya.

Sutikno merincikan, jumlah tersebut terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp3.997.042.917.832,42; PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39.756.429.964,94; PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483.961.045.417,33; PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57.303.038.077,64; dan PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar Rp7.302.288.371.326,78.

Selanjutnya, dalam perkembangannya pada tanggal 23 dan 26 Mei 2025, kelima terdakwa korporasi itu mengembalikan seluruh uang sebagaimana total nilai kerugian yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp11.880.351.802.619,00.

“Uang tersebut sekarang kami simpan di rekening penampungan lain (RPL) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada Bank Mandiri,” kata Sutikno.

Terhadap uang tersebut, Sutikno mengatakan bahwa jaksa penuntut umum (JPU) menyita seluruhnya dalam rangka kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi.

Usai dilakukan penyitaan, lanjut dia, JPU memasukkan uang tersebut dalam tambahan memori kasasi agar keberadaannya dapat dipertimbangkan oleh hakim agung yang memeriksa kasasi.

“Khususnya terkait uang tersebut supaya dikompensasikan untuk membayar seluruh kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para terdakwa korporasi,” katanya.

Dalam laman resmi Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), Majelis Hakim menyatakan perusahaan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan primer maupun subsider JPU.

Adapun para tersangka korporasi didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kendati demikian, Majelis Hakim menyatakan perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging) sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan JPU.

Majelis Hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, serta martabat para terdakwa seperti semula. Atas putusan tersebut, Kejagung pun mengajukan kasasi.

Topik:

KPK Kejagung OTT