Korupsi Besar Era Nadiem Dikeroyok Kejagung dan KPK, Polri Kapan?


Jakarta, MI - Kasus dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) era Menteri Nadiem Anwar Makarim (NAM) tengah menjadi perhatian lembaga penegak hukum, Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di Kejagung, dugaan rasuah itu terkait dengan pengadaan laptop berbasis Chromebook yang merugikan negara Rp 1,9 triliun. Sudah 4 tersangka di kasus tersebut yakni:
1. Ibrahim Arief (IA), Konsultan perorangan pada Kemendikbudristek di era Menteri Nadiem Makarim.
2. Sri Wahyuningsih (SW), Direktur Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah pada 2020–2021 sekaligus sebagai Kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan Direktorat Sekolah Dasar tahun 2020–2021.
3. Mulyatsyah (MUL), Direktur SMP Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah.
4. Jurist Tan (JT), Staf Khusus mantan Menteri Mendikbudristek Nadiem Makarim (masih diburu Kejagung).
Sementara KPK menyelidiki kasus dugaan korupsi pada program bantuan kuota internet yang digulirkan Kemendikbudristek selama masa pandemi COVID-19. Belum ada tersangka tersebut meski sudah lama dilaporkan ke KPK.
Penyelidikan itu bukan hanya mengenai kuota internet semata, tetapi juga terkait ekosistem digitalisasi yang lebih luas, termasuk penyediaan perangkat Chromebook dan layanan Google Cloud. “Betul,” kata Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Sabtu (26/72025).
Pernyataan singkat namun tegas ini menandai bahwa lembaga antirasuah telah turun tangan menelusuri lebih dalam proyek-proyek digital Kemendikbudristek. Asep menambahkan bahwa pihaknya tengah mengkaji keseluruhan rantai pengadaan, dari perangkat keras hingga penyedia layanan penyimpanan data digital.
“Ada perangkat kerasnya (laptop Chromebook), ada tempat penyimpanan datanya (Google Cloud), ada paket datanya (kuota internet gratis) untuk menghidupkan itu (laptop Chromebook). Iya betul,” jelasnya.
Program kuota gratis sendiri dimulai pada September 2020, dan menyasar seluruh jenjang pendidikan. Siswa PAUD mendapat 20 GB per bulan, siswa SD hingga SMA memperoleh 35 GB, guru mendapatkan 42 GB, dan mahasiswa serta dosen memperoleh hingga 50 GB kuota per bulan.
Program ini disebut-sebut sebagai bentuk dukungan negara terhadap pembelajaran daring di masa sulit. Namun dalam pelaksanaannya, muncul dugaan bahwa proses pengadaan dan distribusi program tidak sepenuhnya berjalan sesuai aturan.
Perlu kolaborasi lembaga
Menurut Asep Guntur Rahayu, kolaborasi antar lembaga adalah kunci untuk membongkar skandal besar ini. Dalam hal ini, selain Kejagung, Polri juga harus ikutan mengeroyok kasus tersebut.
"Kenapa? Karena tadi sudah saya sampaikan bahwa tindak-tindak korupsi ini spektrumnya ya meluas dan mendalam. Jadi kalau itu ditangani sama siapapun, kita tentu akan support," kata Asep.
Asep menegaskan bahwa tidak ada persaingan antarlembaga. Sebaliknya, sinergi diperlukan karena banyaknya perkara yang harus ditangani. "Jadi kita harus bersama-sama. Kita keroyok," katanya.
KPK melihat adanya keterkaitan antara berbagai proyek digitalisasi sebagai satu ekosistem yang rentan korupsi. Proyek-proyek lain yang berpotensi diusut termasuk Platform Merdeka Mengajar (PMM), platform lainnya, hingga program bantuan kuota internet gratis.
"Betul kan ini ada bagian-bagiannya nih. Ada perangkat kerasnya [Chromebook]. Ada tempat penyimpanan datanya [Google Cloud]. Ada paket datanya untuk menghidupkan itu," kata Asep yang menggambarkan keterkaitan antarproyek tersebut.
Selain kerugian finansial negara, KPK juga mendalami potensi adanya kebocoran data pribadi dari sistem penyimpanan tersebut. Untuk membongkar skandal ini hingga ke akarnya, KPK mengajak masyarakat untuk turut berpartisipasi aktif dengan memberikan informasi dan data yang relevan.
"Karena tanpa masyarakat, tanpa institusi yang lain susah. Misalkan KPK sendiri, tidak bakal mampu," demikian Asep.
Temuan BPK bantuan kuota internet
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan auditnya pada 2021 menemukan adanya ketidakefisienan dan pengendalian yang kurang memadai dalam program penyaluran bantuan kuota internet di Kemendikbudristek di era Menteri Nadiem Anwar Makarim.
Berdasarkan temuan tersebut, program ini dianggap belum sepenuhnya memenuhi tujuan utamanya, dan menyebabkan pemborosan uang negara sebesar lebih dari Rp1,5 triliun.
Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, pemborosan ini diakibatkan oleh perencanaan yang tidak didasari oleh analisis kebutuhan dan kajian yang memadai terhadap kebutuhan pembelajaran selama pandemi Covid-19.
Proses verifikasi dan sinkronisasi data penerima bantuan antara sistem Dapodik dan PDDikti dinilai kurang cermat, sementara evaluasi manfaat program ini untuk pembelajaran juga belum dilaksanakan secara komprehensif.
Pelaksanaan bantuan kuota data internet ini diatur dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2021 dan Nomor 23 Tahun 2021, di mana bantuan kuota internet diberikan selama tujuh bulan, yaitu dari Maret hingga Mei, serta September hingga Desember 2021, dalam beberapa tahap penyaluran.
Program ini melibatkan lima operator seluler, yakni PT Telkomsel Tbk., PT XL Axiata Tbk., PT Indosat Tbk., PT Hutchison 3 Indonesia, dan PT Smartfren Telecom Tbk.
BPK mencatat bahwa sebanyak 31.100.463 nomor ponsel milik peserta didik dan pendidik tidak lolos verifikasi untuk menerima bantuan, sedangkan 1.430.731 nomor ponsel gagal diinjeksi bantuan kuota data internet.
Selain itu, skema pemberian kuota internet belum sepenuhnya mendukung kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Dalam auditnya, BPK juga menemukan adanya ketidaktepatan dalam verifikasi jumlah penerima dan mekanisme pembayaran bantuan. Sebanyak 101.724 peserta didik atau pendidik teridentifikasi sebagai penerima ganda, dengan total bantuan sebesar lebih dari Rp7,7 miliar.
Ada pula 83.714 nomor ponsel yang tercatat menggunakan kuota lebih dari tiga kali, dengan nilai mencapai sekitar Rp996 juta. Tak hanya itu, terdapat kuota data sebesar 675.590.548 GB senilai Rp1,5 triliun yang tidak terpakai dan hangus karena masa berlaku habis.
BPK menyatakan bahwa permasalahan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 yang telah diubah menjadi PP Nomor 66 Tahun 2010 mengenai pengelolaan anggaran pendidikan. Pasal 6 ayat (4) menyebutkan bahwa anggaran pendidikan seharusnya dialokasikan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
Program ini juga bertentangan dengan peraturan teknis penyaluran bantuan yang diatur dalam Peraturan Sesjen Kemendikbud Nomor 23 Tahun 2021.
Atas temuan tersebut Komunitas Pemberantas Korupsi (KPK) pada Jumat (8/11/2024) lalu melaporkan dugaan kerugian keuangan negara atas bantuan kouta internet Kemendikbudristek tahun anggaran 2021 sebesar Rp1,5 triliun itu kepada KPK.
Data LHP BPK yang didapat Komunitas Pemberantas Korupsi, penyaluran bantuan kuota internet oleh Kemendikbudristek belum sepenuhnya memenuhi tujuan utamanya, dan menyebabkan pemborosan uang negara.
Pengurus Komunitas Pemberantas Korupsi Darlinsah, menyampaikan bahwa pemborosan ini diduga diakibatkan perencanaan yang tidak didasari analisis kebutuhan dan kajian yang memadai terhadap kebutuhan pembelajaran selama pandemi Covid-19.
Proses verifikasi dan sinkronisasi data penerima bantuan antara sistem Dapodik dan PDDikti kurang cermat, sementara evaluasi manfaat program ini untuk pembelajaran juga belum dilaksanakan secara komprehensif.
Nadiem sempat diingatkan
Temuan tersebut juga disoroti Anggota DPR RI Fraksi PKS Abdul Fikri Faqih. Dia menuturkan, sebenarnya dirinya pernah mengingatkan Mendikbud saat itu, Nadiem Makarim terkait pemberian bantuan tersebut.
“Sudah diingatkan, saat rapat dengan tahun 2021, saya mengkritisi bahwa wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) belum tercover penuh jaringan internet, sedangkan SDM guru kita juga masih belum siap, harusnya selesaikan PR ini dulu,” katanya, Senin (11/11/2024) lalu.
Saat menjadi Wakil Ketua Komisi X DPR RI, program tersebut masih belum matang dari sisi perencanaan, sehingga terkesan terburu-buru. “Saat itu kami sudah mengingatkan bahwa sarana pendukung digital itu wajib ada akses internet, sedangkan data pemerintah sendiri menunjukkan wilayah 3T masih sulit dijangkau sinyal,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini duduk di komisi VIII DPR RI itu.
Selain itu, dalam pembagian kuota tersebut dinilai tidak efisien antara pembagian Kuota Umum dan Kuota Belajar serta jumlah keseluruhan hingga berpuluh-puluh gigabyte.
Adapun jumlah kuota yang diterima oleh murid PAUD adalah 7GB, murid dasar dan menengah sebesar 10GB, pendidik PAUD hingga menengah 12GB, dan 15GB bagi mahasiswa serta dosen.
Selain itu, Fikri menyinggung soal kesiapan sumber daya manusia terutama guru dan tenaga kependidikan dalam program digitalisasi ini.
“Surveinya kan 60 persen guru masih gagap teknologi informasi, perkembangan sekarang kita belum tahu, apakah masih sama atau ada perkembangan,” jelas dia.
Atas dasar itu, Fikri meminta pemerintah seharusnya memprioritaskan peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama guru dan tenaga kependidikan.
“Atas laporan itu sebaiknya Kemendikbud menindaklanjuti temuan BPK, bila ada dampak hukum, juga sebaiknya siap untuk menghadapi laporan tersebut, terkait adanya dugaan inefisiensi yang bisa jadi terjadi akibat kurangnya analisis kebutuhan dan perencanaan yang matang,” pungkasnya.
Monitorindonesia.com sebelumnya telah berupaya mengonfirmasi sekaligus meminta tanggapan Nadiem Makarim, namun hingga berita ini diterbitkan belum memberikan respons. (wan)
Topik:
KPK Kejagung Polri Kemendikbudristek Nadiem Anwar Makarim