Di PLN, BPK Temukan Ketidakhematan atas Kontrak FSRU sebesar Rp777 M

Adrian Calvin
Adrian Calvin
Diperbarui 26 Juli 2025 19:29 WIB
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Foto: Dok MI/Aswan/Istimewa)
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Foto: Dok MI/Aswan/Istimewa)

Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan bahwa sistem kelistrikan Bali belum mempunyai infrastruktur gas yang mencukupi dan PLN belum memutuskan kelanjutan fasilitas midstream gas sehingga terdapat potensi ketidakhematan atas kontrak Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) sebesar Rp777,6 miliar, serta ketidakhematan pembayaran regasifikasi minimal sebesar Rp226,5 miliar.

Temuan itu berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya dan Investasi dalam Penyediaan Tenaga Listrik Tahun 2022 pada PT PLN, Anak Perusahaan dan Instrasi Terkait Lainnya Nomor 08/AUDITAMA VII/PDTT/04/2024 Tangal 30 April 2024.

BPK menjelaskan bahwa sistem kelistrikan Bali dipasok dari Saluran Kabel Bawah Laut Tegangan Tinggi (SKLT) dengan daya mampu neto (DMN) sebesar 370 MW dan pembangkit pada Subsistem Bali dengan DMN sebesar 944,85 MW.

PLN

Untuk meningkatkan keandalan sistem Bali serta mempersiapkan ketersediaan pasokan listrik atas proyeksi pertumbuhan beban di sistem kelistrikan Bali maka diputuskan PLN akan menambah kapasitas bersih Subsistem Bali sebesar 2x100 MW dengan merelokasi 2 unit PLTDG Grati ke Pesanggaran. 

Keputusan rencana tersebut berdasarkan beban puncak di tahun 2022 sebesar 916 MW dan jika transfer daya melalui SKLT dihentikan karena ada gangeguan atau dibutuhkan di Pulau Jawa dan Madura sehingga cadangan kapasitas bersih hanya tersisa sebanyak 28,85 MW (944,85 MW - 916 MW). 

Namun dari hasil pemeriksaan atas sistem kelistrikan Bali, BPK menemukan masalah bahwa PLTG Existing di Bali masih menggunakan bahan bakar High Speed Diesel (HSD) sehingga menimbulkan ketidakhematan dan potensi ketidakhematan biaya bahan bakar pada tahun 2022 — 2024 sebesar Rp418.777.000.000,00.

Tak hanya itu, BPK juga menemukan masalah bahwa PLN belum memutuskan kelanjutan pemenuhan kebutuhan gas pembangkit Pesanggaran setelah berakhirnya Perjanjian Jasa Fasilitas Midstream LNG Benoa Bali dan terdapat potensi ketidakhematan atas kontrak FSRU sebesar Rp777.600.000.000,00 dan Pengelolaan fasilitas regasifikasi LNG Bali belum optimal minimal sebesar Rp226.536.427.542,70

Permasalahan tersebut mengakibatkan Ketidakhematan BPP TL minimal sebesar Rp553.271.427.542,70 terdiri dari pembayaran biaya bahan bakar pada seluruh PLTG di Bali tahun 2022 — 2023 sebesar Rp326.735.000.000,00 dan potensi kelebihan bayar atas pengoperasian fasilitas regasifikasi FSRU minimal sebesar Rp226.536.427.542,70 s.d. 30 September 2023," petik laporan BPK sebagaimana diperoleh Monitorindonesia.com, Sabtu (26/7/2025).

Kemudian mengakibatkan jugapotensi ketidakhematan BPP TL sebesar Rp869.642.000.000,00 terdiri dari potensi ketidakhematan tahun 2024 sebesar Rp92.042.000.000,00 dan potensi pembayaran sewa FSRU minimal sebesar Rp777.600.000.000,00 di masa akan datang dan subsistem Bali berpotensi terjadi pemadaman jika tidak terdapat fasilitas midstream gas dan pasokan BBM tidak terpenuhi. 

Menurut BPK, hal tersebut disebabkan oleh Direksi PLN belum menetapkan kebijakan strategis dalam menyelesaikan pembangunan infrastruktur gas untuk memenuhi kebutuhan pasokan gas pada PLTG/DG dan pengoperasian pembangkit yang paling menguntungkan bagi perusahaan di sistem kelistrikan Bali.

Lalu, Direksi PLN IP kurang cermat dalam mereviu kontrak fasilitas FRU dan FSRU LNG sesuai dengan kebijakan strategis yang diambil oleh Direksi PLN; Direksi PLN IP kurang cermat dalam pengadaan FSRU tidak didasarkan atas ketentuan yang berlaku dan perhitungan atas kapasitas yang dibutuhkan serta kajian atas tarif FSRU.

Dan Direktur Utama PLN IP periode 2017 sampai dengan 2019 tidak cermat dalam mengevaluasi biaya dan menyetujui perjanjian fasilitas regasifikasi LNG yang paling menguntungkan perusahaan. 

Atas permasalahan di atas, Direksi PLN menjelaskan bahwa keberadaan FSRU di Terminal LNG Benoa meningkatkan kehandalan pasokan gas PLN IP untuk pembangkit Pesanggaran sehingga dapat menghindari risiko beban biaya yang lebih besar akibat penggunaan BBM. 

Dengan keberadaan FSRU PLN IP dapat menghindari biaya penggunaan bahan bakar HSD sebesar Rp2.590.789.519.318,00 dengan asumsi kesetaraan volume gas yang dihasilkan dari regasifikasi FSRU sama dengan HSD selama periode Januari 2019 sampai dengan Juni 2023, sedangkan dengan penggunaan gas hasil regasifikasi FSRU dapat terhindar dari biaya bahan bakar sebesar Rp1.418.322.326.230,00 (sudah termasuk biaya FSRU) sehingga terdapat penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp1.172.467.193.088.00: 

Selanjutnya apabila pembangkit Pesanggaran beroperasi mengggunakan BBM akibat ketidaktersediaan/menurunnya pasokan gas maka PLN IP akan kehilangan kesempatan produksi listrik karena merit turun sehingga pembangkit Pesanggaran diminta beroperasi beban rendah hingga 50 MW oleh dispatcher (PLN UI1P2B).

Kajian Gasifikasi PLTG Gilimanuk dan penambahan kapasitas pembangkit non BBM di Bali telah disusun oleh Direktorat Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Madura dan Bali pada 20 September 2020. 

Namun, dikarenakan adanya pandemi Covid-19, maka pekerjaan gasifikasi di PLTG Gilimanuk dibatalkan, sehingga rencana gasifikasi Gilimanuk tidak tercantum dalam RUPTL 2021 - 2030. 

Atas tanggapan Direksi PLN, BPK menjelaskan bahwa tindak lanjut atas arahan Wamen ESDM untuk menurunkan tarif midstream LNG ditunjukkan dengan kenaikan tarif midstream LNG dari USD3.800/MMBTU sebelum adanya FSRU menjadi sebesar USD4.2531/MMBTU setelah adanya FSRU. 

Sebagaimana dijelaskan diatas dan diperkuat oleh tanggapan manajemen PLN bahwa ketersediaan pasokan gas menghemat biaya bahan bakar selama tahun 2022 2023 sebesar Rp326.735.000.000,00. 

PLN belum menetapkan rencana pembangunan infrastruktur gas di daerah utara Provinsi Bali dalam RUPTL 2021-2030 sehingga belum diketahui kapan bahan bakar gas dapat tersalur ke PLTG Gilimanuk. 

Atas hal demikian, BPK RI merekomendasikan kepada Direksi PLN segera menetapkan kebijakan strategis dalam menyelesaikan pembangunan infrastruktur gas untuk memenuhi kebutuhan pasokan gas pada PLTG/DG dan pengoperasian pembangkit yang paling menguntungkan bagi perusahaan; 

Direktur Utama PLN IP periode 2017 sampai dengan 2019 untuk mempertanggungjawabkan apabila dalam keputusannya merugikan perusahaan; dan Direksi PLN IP untuk mereviu kontrak fasilitas FRU dan FSRU LNG sesuai dengan kebijakan strategis yang diambil oleh Direksi PLN.

Hingga tenggat waktu berita ini diterbitkan, Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo belum menjawab konfirmasi Monitorindonesia.com soal apakah semua temuan dan rekomendasi BPK itu telah ditindaklanjuti.

(an)

Topik:

BPK PLN PLN Bali