Vonis Silfester Mangkrak 6 Tahun, Pakar Desak Audit Kinerja Hakim, Jamwas dan Komjak!


Jakarta, MI - Kasus penundaan eksekusi Silfester Matutina hingga enam tahun merupakan cermin kabut atas penegakan hukum di Indonesia. Adapun Silfester baru mengajukan Peninjauan Kembali (PK) setelah 6 tahun ia tidak dieksekusi oleh jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan (Jaksel).
Kasasi Silfester telah dibacakan pada 16 September 2019. Di tingkat kasasi ia tetap dinyatakan bersalah telah melakukan fitnah dan hukumannya diperberat menjadi pidana penjara 1 tahun 6 bulan.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti (Usakti) Azmi Syahputra, putusan yang telah inkracht sejak 2019 itu semestinya terdakwa harus bersikap kestaria untuk langsung datang ke Kejari Jaksel dan menjalani hukum dan kejaksaan harus segera mengeksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dimaksud.
“Kejaksaan tidak boleh membiarkan eksekusi kasus inkracht tertahan 6 tahun tanpa alasan transparan. Penundaan ini justru dapat saja menimbulkan dugaan publik apakah ada perlindungan khusus atau keberpihakan politik terhadap pelaku?," kata Azmi kepada Monitorindonesia.com, Rabu (13/8/2025).
Padahal, ungkapnya, sampai saat ini tidak ada alasan secara hukum maupun alasan kemanusiaan untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas putusan Kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.
“Hukum yang tidak dijalankan tepat waktu merupakan hukum yang mati suri dan membiarkan keadaan ini terjadi sama artinya dengan menutup mata pada prinsip keadilan," lanjut Azmi.
Jika pola penundaan ini terjadi karena adanya dugaan kedekatan dengan jejaring pihak- pihak tertentu atau figur tertentu dalam kekuasaan, tutur Azmi, maka ini artinya bangsa ini sedang diperlihatkan sebuah proteksi politik sekaligus bencana politik, yang menyalahgunakan kekuasaan tentu kasus penundaan eksekusi ini bukan masalah yuridis semata namun lebih bermuatan politisnya yang dominan.
"Terlihat di sini, di tengah riak kegaduhan politik, hukum menjadi abu-abu. Sebab seolah negara hukum tunduk pada kepentingan yang berkelompok," tegas Azmi.
Adapun ciri -ciri kehidupan kesamaan berkelompok politik itu, menurut Azmi, cenderung adanya meeting of mind dalam kesepakatan atau pengendalian tertentu, bisa saja dalam bentuk persekongkolan, saling menjaga, saling melindungi dan cendrung defensif.
"Karenanya dalam kasus ini untuk segera audit kinerja hakim, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak) untuk mengawasi pertanggungjawaban atas kenapa eksekusi atas Silfester belum dilaksanakan sampai saat ini, guna mewujudkan kepastian, keadilan hukum," jelas Azmi.
Penegakan hukum, tambah Azmi, harus berkualitas karena tidak boleh menjadi alat dinasti kekuasaan, karena itu akan dapat meruntuhkan kepercayaan rakyat dan menghancurkan sendi demokrasi.
"Pilar negara hukum itu harus berdiri di atas prinsip di mana semua warga negara setara di mata hukum. Bila prinsip ini dikorbankan, maka yang di hadapi bukan sekadar pelanggaran hukum, namun bisa jadi catatan buruk dalam penegakan hukum," demikian Azmi Syahputra.
Adapun buntut dari tak kunjung dieksekusinya putusan itu oleh jaksa di Kejari Jaksel, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) akan melaporkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ke Kejaksaan Agung. "Karena Kajari belum melakukan eksekusi terhadap Silfester Matutina," kata pengacara TPUA, Abdul Gafur Sangaji, Senin (11/8/2025) lalu.
Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan (Arruki) juga menggugat proses penegakan hukum tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka mengajukan praperadilan kepada Kajari Jaksel perihal belum dilaksanakannya eksekusi hukuman ketua umum Solidaritas Merah Putih itu.
Sejak putusan terhadap Silfester Matutina berkekuatan hukum tetap, Kejaksaan Negeri Jaksel selaku jaksa eksekutor telah banyak berganti kepemimpinan.
Pada 2019 Kejari Jaksel dipimpin oleh Anang Supriatna, yang saat ini menjabat sebagai Kapala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung. Kajari Jaksel berikutnya adalah Syarief Sulaeman, yang kini menjabat sebagai Asisten Khusus Jaksa Agung di Kejagung.
Dia digantikan oleh Haryoko Ari Prabowo, kini menjabat sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus atau Asipidsus Kejaksaan Tinggi DK Jakarta. Sejak Juli 2025, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dijabat oleh Iwan Catur Karyawan.
Haryoko hingga saat ini belum menjawab konfirmasi Monitorindonesia.com. Sementara Anang Supriatnya menyatakan bahwa mengatakan Kejari Jaksel telah mendapat pemberitahuan persidangan PK. Dia menyebut sidang PK akan digelar pekan depan.
"Benar info dari Kejari Jaksel sudah mendapatkan pemberitahuan tanggal 11 Agustus 2025 dari Pengadilan Negeri Jaksel dan terjadwal sidang PK-nya tanggal 20 Agustus 2025," kata Anang saat dikonfirmasi.
Anang menyebut Kejari Jaksel selaku jaksa eksekutor bakal melakukan langkah hukum sesuai prosedur yang ada. PK, kata dia, tak akan mengganggu proses eksekusi. "Yang jelas Kejari Jaksel akan melakukan langkah-langkah hukum seusai ketentuan. PK tidak menunda eksekusi," ujarnya.
Sebagai informasi, Silfester terjerat kasus dugaan fitnah saat berorasi. Dia dilaporkan oleh anak Jusuf Kalla, Solihin Kalla, pada 2017.
Silfester kemudian divonis 1 tahun penjara atas pernyataan yang menyebut JK menggunakan isu SARA dalam memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Vonis itu kemudian diperberat Mahkamah Agung menjadi 1,5 tahun penjara. Namun, Silfester belum dieksekusi atas putusan tersebut.
Topik:
Silfester Matutina Jamwas Komjak Jaksa Hakim Kejari JakselBerita Terkait

Akan Periksa Bobby Nasution, Hakim: Semua Orang Sama di Depan Hukum!
24 September 2025 23:24 WIB

Hakim akan Cecar Bobby Nasution soal Pergeseran Anggaran di Sidang Korupsi Jalan Dinas PUPR Sumut
24 September 2025 23:00 WIB