Putusan MK: Jaksa Nakal Bisa Langsung Diproses KPK-Polisi Tanpa Izin Atasan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 Oktober 2025 21 jam yang lalu
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan).
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan).

Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan).

Bahwa dalam putusan ini, aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Polri dapat melakukan upaya paksa tanpa perlu izin Jaksa Agung ketika seorang jaksa tertangkap tangan atau lebih dikenal melalui operasi tangkap tangan (OTT). 

Ketentuan ini juga berlaku jika ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan jaksa sebagai tersangka tindak pidana berat, termasuk tindak pidana khusus seperti korupsi.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh Agus Setiawan (aktivis/mahasiswa), Sulaiman (advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani. Putusan dengan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 dibacakan dalam sidang pleno di Gedung I MK, Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Dalam amar putusannya, MK yang dipimpin Suhartoyo mengabulkan sebagian permohonan Pemohon I dan II. MK menilai Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai memuat pengecualian bagi jaksa yang tertangkap tangan atau diduga kuat melakukan tindak pidana berat. Dengan koreksi tersebut, Pasal 8 ayat (5) kini berbunyi:

“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.”

MK juga menyatakan Pasal 35 ayat (1) huruf e beserta penjelasannya dalam UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sementara permohonan Pemohon III serta sebagian permohonan Pemohon I dan II yang berkaitan dengan Pasal 11A ayat (1) huruf a dan e serta ayat (3) dinyatakan tidak dapat diterima.

Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum memang diperlukan, namun tidak boleh meniadakan prinsip persamaan di hadapan hukum atau equality before the law.

“Norma tersebut tidak sejalan dengan semangat equality before the law dan berpotensi melemahkan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat norma ini harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” ujar Arsul dalam persidangan.

Menurut Arsul, perlindungan terhadap jaksa hanya dapat diberikan dalam batas yang wajar untuk menjaga independensi mereka dalam menjalankan tugas. Namun, ketentuan yang mewajibkan izin Jaksa Agung dalam pemanggilan, pemeriksaan, atau penahanan berpotensi menimbulkan perlakuan istimewa yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Karena itu, Mahkamah menilai pasal tersebut tidak sejalan dengan semangat perlindungan hukum yang adil bagi seluruh penegak hukum.

Mahkamah juga menegaskan telah mengubah pandangan dari Putusan Nomor 55/PUU-XI/2013 yang sebelumnya menyatakan ketentuan izin Jaksa Agung bersifat konstitusional. MK menyatakan perubahan sikap ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan semangat penegakan hukum yang setara antara jaksa dan aparat penegak hukum lainnya.

Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah. Keduanya menilai seharusnya MK menolak permohonan para pemohon. 

Mereka berpendapat Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan tidak dimaksudkan sebagai bentuk imunitas, melainkan mekanisme perlindungan bagi jaksa dalam menjalankan tugasnya. Menurut mereka, keterlibatan Jaksa Agung sebagai advokat general justru memperkuat prinsip check and balances jika dijalankan secara profesional, transparan, dan akuntabel.

Topik:

MK Jaksa Polri KPK