Proyek Kereta Cepat: "Jebakan" Utang Warisan Jokowi hingga Dugaan Korupsi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 Oktober 2025 2 jam yang lalu
Presiden Joko Widodo berfoto di depan Kereta Cepat saat melakukan peninjauan pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Depo Kereta Cepat di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/9/2023)
Presiden Joko Widodo berfoto di depan Kereta Cepat saat melakukan peninjauan pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Depo Kereta Cepat di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/9/2023)

Jakarta, MI - Pemerintah diingatkan agar berhati-hati dalam penyelesaian utang proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) warisan mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS)  Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Handi Risza, menilai bahwa skema pembiayaan proyek tersebut sangat berisiko terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Proyek ini sejak awal dijanjikan akan berjalan sepenuhnya dengan skema business to business (B2B) tanpa melibatkan APBN. Namun, seiring pembengkakan biaya, pemerintah justru menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 89 Tahun 2023 yang mengizinkan penggunaan APBN sebagai jaminan pinjaman utang proyek,” kata Handi, Jumat (17/10/2025).

Proyek KCIC yang dimulai sejak 2016 telah menelan biaya sebesar US$7,27 miliar atau sekitar Rp110,16 triliun, dengan pembengkakan biaya mencapai US$1,2 miliar atau Rp18,36 triliun. 

Untuk menutup cost overrun tersebut, China Development Bank (CDB) memberikan pinjaman sebesar US$560 juta (sekitar Rp8,3 triliun) dengan tingkat bunga 3,4 persen.

“Kekhawatiran kami, China meminta APBN sebagai jaminan dari pinjaman utang proyek tersebut, termasuk usulan perpanjangan masa konsesi dari 50 tahun menjadi 80 tahun. Ini berpotensi membebani keuangan negara di masa depan,” lanjut Handi.

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung memang telah beroperasi sejak 2 Oktober 2023. Namun, menurut Handi, pekerjaan besar justru terletak pada penyelesaian utang yang sangat besar. 

Ia berharap pemerintah telah melakukan proses negosiasi atau restrukturisasi utang dengan pihak China agar tidak membebani APBN.

Saat ini ada dua opsi yang berkembang, yaitu melunasi utang tanpa melibatkan APBN misalnya dengan pengambilalihan infrastruktur atau suntikan dana tambahan untuk KAI. 

"PKS menilai opsi restrukturisasi utang tanpa menggunakan dana APBN adalah pilihan terbaik, karena pemerintah sedang fokus pada sektor prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.

Handi juga menilai, secara keseluruhan proyek kereta cepat belum menunjukkan multiplier effect ekonomi yang sebanding dengan besarnya biaya dan beban utang yang ditanggung. 

“Dampak ekonomi jangka panjang masih belum terlihat signifikan. Butuh waktu lama agar proyek ini benar-benar memberikan manfaat nyata, terutama jika tidak diikuti dengan pengembangan wilayah dan optimalisasi pendapatan,” katanya.

Ke depan, Handi mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak pada proyek-proyek ambisius dan berbiaya besar yang berisiko tinggi bagi keuangan negara. 

Pun, dia menekankan pentingnya membuat skala prioritas pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan rakyat banyak dan penguatan fundamental ekonomi nasional.

“Kita tidak boleh terjebak pada perpanjangan konsesi yang terlalu panjang dan merugikan Indonesia. Bunga utang yang tinggi bisa menjadi beban APBN setiap tahun dan akhirnya menjadi jebakan utang bagi masa depan bangsa,” tandasnya.

KPK siap usut dugaan korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merespons pernyataan yang disampaikan oleh mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, terkait dugaan pembengkakan anggaran dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh. 

Bahwa dalam sebuah podcast, Mahfud mengungkap adanya perbedaan besar antara kalkulasi biaya versi pemerintah Indonesia dan hitungan dari pihak Cina. Menurutnya, estimasi dari Indonesia menyebut pembangunan jalur kereta cepat memakan biaya sekitar US$52 juta per kilometer. 

Namun, versi Cina hanya mematok biaya sekitar US$17 hingga US$18 juta per kilometer, yang menunjukkan adanya lonjakan anggaran hingga tiga kali lipat. 

Menanggapi hal itu, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa pihaknya membuka kesempatan kepada publik yang memiliki informasi atau data awal terkait dugaan korupsi untuk menyampaikan laporan melalui kanal resmi pengaduan masyarakat KPK. 

“Kami mendorong masyarakat yang mengetahui adanya indikasi awal atau memiliki dokumen pendukung terkait dugaan tindak pidana korupsi agar segera melaporkannya melalui saluran pengaduan resmi KPK,” ujar Budi, Kamis (16/10/2025).

Budi menekankan bahwa setiap aduan harus disertai data pendukung agar proses penyaringan dan verifikasi dapat dilakukan dengan akurat. 

Semua laporan yang diterima akan dianalisis terlebih dahulu untuk menentukan apakah memenuhi unsur dugaan korupsi dan termasuk dalam kewenangan KPK. 

“Tindak lanjut laporan bisa masuk ke jalur penindakan, pencegahan, edukasi, atau koordinasi dan supervisi. Bahkan bisa juga diteruskan ke pengawas internal terkait untuk perbaikan sistem jika diperlukan,” jelasnya. 

Soal apakah KPK dapat langsung melakukan penyelidikan tanpa menunggu laporan dari masyarakat, Budi tidak memberikan jawaban tegas. Ia menilai informasi yang berkembang saat ini masih berupa dugaan awal yang perlu dipastikan kebenarannya dengan bukti yang jelas. 

“Informasi ini masih bersifat umum dan beredar di ruang publik. Kami tetap harus memastikan detail dan validitas datanya untuk melihat apakah benar ada unsur korupsi dalam proses pengadaan proyek ini,” kata Budi. 

Dia juga menegaskan bahwa penghitungan potensi kerugian negara sepenuhnya berada di tangan lembaga auditor resmi seperti BPK atau BPKP. 

“Penetapan kerugian negara bukan kewenangan kami secara langsung, itu harus dihitung oleh auditor negara, baik BPK maupun BPKP,” jelasnya. 

Dalam pernyataannya di podcast, Mahfud juga menyoroti soal bunga utang proyek Whoosh yang mencapai Rp2 triliun per tahun, sementara pemasukan dari tiket hanya diperkirakan maksimal Rp1,5 triliun. 

Mahfud menyebut adanya perubahan skema pembiayaan yang semula dari Jepang dengan pinjaman US$6,2 miliar berbunga 0,1 persen, kemudian beralih ke Cina dengan nilai US$5,5 miliar berbunga 2 persen yang akhirnya melonjak menjadi 3,4 persen akibat pembengkakan biaya (cost overrun).

Topik:

Jokowi Korupsi Kereta Cepat Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh