97,6% Lahan PTPN II Hilang, APH Diminta Usut
Jakarta, MI - Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus menyoroti lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di Sumatera Utara yang mengalami penyusutan drastis.
Dari total warisan kolonial seluas 250 ribu hektare atau sekitar 3,5 kali luas DKI Jakarta, kini hanya tersisa 5.873 hektare. Artinya, sekitar 97,6 persen lahan negara tersebut hilang.
Penyusutan lahan ini bukan sekadar kelalaian, melainkan pola sistematis yang perlu diusut tuntas. “Ini bukan kelalaian biasa, tetapi pola yang sistematis dan harus diselidiki secara menyeluruh,” kata Iskandar Minggu (2/11/2025).
Menurut catatan IAW, sejarah penguasaan lahan tersebut bermula pada 1870, saat Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria Belanda 1870) memberi jalan bagi perusahaan Belanda, Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij, untuk menguasai tanah-tanah subur di Sumatera Timur. Kedua perusahaan itu mengelola sekitar 250 ribu hektare lahan di kawasan antara Sungai Ular (Deli Serdang) hingga Sungai Wampu (Langkat).
Pada masa itu, tembakau Deli dikenal sebagai komoditas unggulan dunia, dijuluki “emas coklat” karena kualitasnya yang tinggi. Namun setelah Perang Dunia dan masa kemerdekaan, lahan tersebut banyak digarap rakyat untuk kebutuhan pangan. Berdasarkan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958, aset-aset Belanda kemudian dinasionalisasi menjadi milik negara.
IAW mencatat, penetapan HGU untuk PPN Tembakau Deli seluas sekitar 59 ribu hektare telah sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Agraria No. 24/HGU/1965 tertanggal 10 Juni 1965.
Namun, dalam praktiknya, PPN Tembakau Deli yang kemudian menjadi PTPN II tetap menguasai lahan melebihi ketentuan dengan alasan efisiensi dan keamanan produksi.
“Surat keputusan itu jelas menyebutkan, PPN Tembakau Deli hanya berhak atas sekitar 59 ribu hektare untuk tanaman tembakau, sementara sisa 191 ribu hektare wajib menjadi objek landreform. Namun ketentuan tersebut dilanggar,” ungkap Iskandar.
Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 327 K/Sip/1976, yang melibatkan PT Perkebunan IX dan Pemerintah Daerah Sumatera Utara, menegaskan adanya pembatasan perluasan HGU. Namun, menurut IAW, putusan tersebut diabaikan selama puluhan tahun.
“Sejak 1981 hingga 1997, HGU PTPN II justru melebar dan banyak tanah rakyat hilang. Berdasarkan surat resmi Direktur Utama PTPN II tahun 1997, tercatat telah terjadi pengalihan tanah seluas 5.569 hektare kepada pihak ketiga,” kata Iskandar.
Temuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara juga menunjukkan adanya kelebihan lahan sekitar 61.382 hektare yang diduga berasal dari tanah redistribusi rakyat. Dengan demikian, PTPN II disebut menguasai lebih dari dua kali lipat luas yang seharusnya.
Temuan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI tahun 2004 yang tertuang dalam Keputusan Pansus No. 016/RKM/PANSUS TANAH/DPR-RI/2004 memperkuat dugaan tersebut. Pansus menemukan ketidaksesuaian penguasaan tanah dan merekomendasikan penertiban administrasi pertanahan.
“Kejaksaan Agung melalui Kejati Sumut sudah menindaklanjuti temuan Pansus DPR RI. Namun, yang belum dilakukan adalah memberikan rasa keadilan kepada masyarakat penggarap,” jelas Iskandar.
Menurut IAW, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menunjukkan adanya pola pelanggaran berulang dalam pengelolaan tanah negara. Pengalihan hak atas tanah tanpa mekanisme tender resmi berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga Rp3,4 triliun per tahun.
Kajian IAW menilai, pelanggaran sistemik ini bermula dari penguasaan sepihak PTPN II atas lahan rakyat, yang kemudian dilegitimasi secara administratif melalui penerbitan sertifikat HGU, dan berujung pada komersialisasi tanah melalui alih fungsi atau pengalihan ke pihak lain.
Iskandar juga menyoroti lemahnya pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 dan kinerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dinilai belum optimal.
“Penegakan hukum harus dijalankan secara serius, dengan koordinasi antar lembaga penegak hukum yang transparan dan mekanisme GTRA yang dijalankan sesuai aturan,” pungkasnya.
Topik:
PTPN II PTPN