Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan: Kementerian Kesehatan Tidak Menerima Suap atau Gratifikasi dalam Bentuk Apapun


Jakarta, MI - Direktur Jenderal (Dirjen) Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, L Rizka Andalusia, mengaku tanpa tekanan dari pihak lain atau karena bermuatan gratifikasi sehingga merevisi Peraturan BPOM No.30/2022 dengan menerbitkan Peraturat BPOM Nomor:12 tahun 2024 tentang pemasukan obat dan bahan obat melalui mekanisme jalur khusus (Special Access Scheme/SAS) sewaktu menjabat Pelaksana Tugas (PLT) Kepala BPOM tahun 2024.
"Kementerian Kesehatan tidak menerima suap dan/atau gratifikasi dalam bentuk apapun. Jika terdapat potensi suap atau gratifikasi, silahkan laporkan melalui HALLO KEMENKES 1500567," kata Rizka Andalusia dalam suratnya nomor:FP.01.01/E/2465/2024 tertanggal 2 Desember 2024.
Menurut Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Rizka Andalusia lewat suratnya Nomor:FP.01.01/E/2465/2024 tertanggal 2 Desember 2024 menjawab surat konfirmasi monitorindonesia.com Nomor:002/RED-MI/XI/2024, revisi tersebut bertujuan untuk mengakomodir ketentuan yang belum tercantum dalam PerBPOM Nomor:30/2022 tentang pengaturan SAS di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Tahun 2023, Rizka Andalusia selaku Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan membenarkan telah menyetujui pasokan obat dan bahan obat melalui jalur khusus/Special Access Scheme (SAS) kepada Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Kementerian Kesehatan RI untuk menerima donasi dari Global Fund to Fight Aids, Tuberculosis and Malaria (GFTM) berupa: Bedaquline 20 mg (tablet), Clofazimine 50 mg (tablet), Clofazimine 100 mg (kapsul), Cycloserin 125 mg (kapsul), Cicloserin 250 mg (kapsul), Linezolid 150 mg (tablet), Linezolid 600 mg (tablet).
Kemudian, pada tahun 2024, ketika Rizka Andalusia ditunjuk sebagai PLT Kepala BPOM, dia merevisi Peraturan BPOM Nomor:30/2023 dengan menerbitkan PerBPOM Nomor:12 tahun 2024, tetapi Rizka Andalusia nampaknya tidak berniat tau/mengetahui sudah sejauh mana penerapan pasokan obat dan bahan obat dari Global Fund to Fight Aids yang dia sendiri selaku Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan membuat ketentuan/syarat yang harus dipenuhi penerima donasi, yakni:Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam surat keterangan Nomor:FP.01.01/E/1150/2023 yang diterbitkan tanggal 27 Juni 2023 tentang persetujuan pasokan obat dan bahan Obat mencantumkan ketentuan: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit bertanggung-jawab atas penggunaan, Keamanan, Khasiat dan Mutu Produk tersebut. Pada Kemasan terkecil obat tersebut harus dicantumkan kode SAS 23.03.18.105 dan Label SAS obat untuk program pemerintah di tempat yang mudah terbaca dengan stempel atau stiker berkualitas baik.
Namun hingga obat-obat tersebut beredar di sejumlah Rumah Sakit (RS), ketentuan yang diatur pada surat keterangan Nomor:FP.01.01/E/1150/2023 tersebut tidak pernah dilaksanakan/dibuat pada kemasan terkecil.
Tetapi, sewaktu Rizka Andalusia menjabat Plt Kepala BPOM nampaknya tidak memperdulikan surat yang diterbitkannya itu, sehingga obat-obat tersebut beredar tanpa ijin BPOM. Kuat dugaan Revisi Peraturan BPOM Nomor:30/2023 tersebut sebagai upaya memuluskan peredaran obat yang belum memiliki ijin edar dari BPOM dan belum memenuhi ketentuan dan standar yang diatur dalam Peraturan BPOM Nomo:12/2024 tersebut.
Dirjen Kefarmasian juga memberi ketentuan, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit wajib menyampaikan laporan realisasi inpor dan penyaluran obat tersebut ke Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan maupun ke BPOM sesuai ketentuan yang berlaku. Persetujuan Inpor SAS dibatalkan apabila mengubah, menambah dan/atau mengganti isi yang tercantum dalam persetujuan inpor SAS tersebut.
Namun ketentuan-ketentuan tersebut nampaknya hanya sekedar kamuflase karena faktanya obat-obat tersebut beredar tanpa ijin edar dari BPOM dan tanpa dilekati Kode SAS dan Label SAS pada kemasan terkecil obat.
Pasal 24 ayat (1) huruf (e) Peraturan BPOM Nomor:12/2024 dikatakan, pemohon, dalam hal ini Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit wajib melaporkan hasil monitoring efek samping obat, kejadian tidak diinginkan (KTD), serius atau kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI)sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lalu seperti apa laporan hasil monitoring yang diterima Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan terhadap pasokan obat SAS tersebut, dapat disimak penjelasan Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, L. Rizka Andalusia yang terkesan lempar batu sembunyi tangan.
"Monitoring efek samping obat dan KTD serius sudah terintegrasi dengan sistem monitoring efek samping obat yang dimiliki BPOM. Program TB nasional sudah mengeluarkan buku petunjuk teknis monitoring dan manajemen efek samping obat secara aktif dan telah melakukan sosialisasi buku petunjuk teknis tersebut kepada fasilitas pelayanan kesehatan seluruh Indonesia. Setiap tahun Dirjen P2P dan BPOM melakukan evaluasi bersama atas hasil monitoring efek samping obat," kata Rizka Andalusia seolah tidak sadar jika pasokan obat jalur SAS yang menjadi masalah ini belum teregistrasi atau belum terdaftar di BPOM.
Dengan enteng pula, Rizka Andalusia menjawab ketika ditanya nasib pasien yang jumlahnya diperkirakan jutaan orang divonis menderita TB MDR yang ditengarai jadi kelinci percobaan atau dijadikan uji klinis obat-obat jalur SAS tersebut.
"Jumlah kasus tuberkulosis resisten obat (TB-RO) yang ditemukan tahun 2023 sebanyak 12.482 kasus, dan data per 11 November 2024 telah ditemukan kasus TB RO sebanyak 11.788 kasus. Semua obat TB RO yang dilakukan inportasi pengadaannya telah mendapatkan izin SAS, sehingga obat tersebut legal digunakan di Indonesia untuk mendukung program pemberantasan penyakit Tuberculosis," kata Rizka seolah-olah berusaha menghindar dari ketentuan yang dia buat sendiri.
Menurut Rizka, Pengobatan Tuberculosis sensitif obat (TB-SO) dan TB RO di Indonesia diberikan secara gratis diseluruh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta yang sudah bekerja-sama dengan program TB Nasional.
Untuk diketahui, pasokan obat atau bahan obat melalui jalur khusus (SAS) tahun 2023 yang disetujui Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Rizka Andalusia, berdasarkan keterangan dari petugas BPON belum teregistrasi di BPOM dan belum ada ijin edar, tetapi sudah dicekoki kepada pasien yang oleh dr Klinik TB MDR RSUD memvonis positif menderita TB MDR.
Pasien yang divonis TB MDR oleh dr Poli Linik RSUD Kabupaten Bekasi berinisial MA mengaku, setelah mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter (dr), penyakitnya bukan malah sembuh, justeru menimbulkan penyakit lain yang diduga akibat efek samping obat, seperti: Otot keram/kaku, napsu makan hilang, kulit gatal, telapak kaki panas sakit di injakan ketanah/lantai, penglihatan kabur, jantung terganggu hingga tubuh kurus kering.
Padahal kata MA (62), awalnya dia hanya menderita flu dan pilek. Dia pun kaget sekaget-kagetnya ketika dr Poli Linik memvonisnya menderita TB MDR karena sepanjang hidupnya, dikeluarga belum pernah ada penderita Tuberculosis.
Terhadap kejadian ini, MA pun mengaku telah resmi melapor ke Aparat Penegak Hukum (APH). Selain ingin meminta pertanggung-jawaban dari dr Poli Linik dan oknum-oknum pejabat yang terlibat hingga obat yang belum memiliki ijin edar tersebut diberikan kepadanya, MA juga ingin obat-obat tersebut ditarik dari peredaran untuk menghindari semakin banyak korban.
"Ini masalah kemanusiaan, bukan binatang. Saya sudah banyak bertanya kepada para medis, kalau obat-obat tersebut masih uji klinis, wajib hukumnya ditanya kepada pasien, bersedia atau tidak mengkonsumsi, dan masing-nasing pasien yang bersedia pun wajib diasuransikan," kata MA.
Topik:
Gratifikasi Kasus Suap Dirjen KefarmasianBerita Sebelumnya
Polisi Kantongi Identitas Penyiram Air Keras ke Polisi di Cilincing
Berita Selanjutnya
Tukang Telur Gulung Tewas Diamuk Massa, Diduga Curi Motor Bosnya
Berita Terkait

KPK Terima Laporan Dugaan Gratifikasi dari Kemenag Berupa Keping Logam Mulia
17 September 2025 00:25 WIB

KPK Panggil 2 Orang Wiraswasta Terkait Kasus Dugaan Gratifikasi di MPR RI
1 Juli 2025 11:59 WIB