Wilmar Group: Usai Kasus CPO, Terbitlah Beras Oplosan!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 24 Juli 2025 18:41 WIB
Tumpukan uang triliun pecahan Rp 100 ribu yang ditampilkan dalam jumpa pers Kejagung tentang pengembalian uang korupsi sebesar Rp 11,8 triliun dari perusahaan sawit Wilmar Grup (Foto: Dok MI/Aswan/Istimewa)
Tumpukan uang triliun pecahan Rp 100 ribu yang ditampilkan dalam jumpa pers Kejagung tentang pengembalian uang korupsi sebesar Rp 11,8 triliun dari perusahaan sawit Wilmar Grup (Foto: Dok MI/Aswan/Istimewa)

Jakarta, MI - Lagi-lagi, Wilmar Group terseret dugaan tindak pidana. Sebelumnya, Wilmar Group terseret dalam kasus tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya di industri kelapa sawit pada 2022. Kini terseret dalam pusaran kasus dugaan beras oplosan yang merugikan negara Rp 100 triliun.

Dalam perkara korupsi CPO, Wilmar Group terseret bersama dua perusahaan lain, yaitu PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group. Ketiga korporasi ini didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Adapun perusahaan Wilmar Group yang terseret dalam kasus korupsi ekspor CPO (crude palm oil) adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. 

Catatan Monitorindonesia.com, bahwa pada tahun 2022 perusahaan-perusahaan tersebut diduga bermufakat jahat melakukan proses penerbitan persetujuan ekspor, di mana Kemendag bertindak sebagai lembaga yang berwenang memberikan izin tersebut. 

Pemberian izin ekspor CPO bertentangan dengan ketentuan Kemendag, yakni perusahaan harus memenuhi kebijakan domestic market obligation (DMO) serta domestic price obligation (DPO) atas minyak goreng.

Setelah Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan putusan berkekuatan hukum tetap terhadap lima terdakwa dalam kasus minyak goreng, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka pada Juni 2023. 

Namun, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat justru memutuskan untuk melepas ketiga korporasi tersebut dari segala tuntutan. Putusan ini tidak sejalan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yang kemudian memunculkan dugaan adanya praktik suap senilai Rp60 miliar.

Kejagung mencium indikasi suap di balik vonis tersebut, lalu menahan empat orang tersangka: mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat yang kemudian menjabat sebagai Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta; dua pengacara yakni Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri; serta Panitera Muda PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan. 

Selain itu, terdapat tiga hakim yang juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat dalam pemberian putusan lepas, yaitu Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, saat itu memaparkan bahwa kasus ini bermula dari adanya pemufakatan jahat antara Ariyanto Bakri, pengacara yang mewakili ketiga korporasi, dengan Wahyu Gunawan selaku Panitera Muda PN Jakarta Pusat saat itu. Mereka pertama kali menawarkan uang sebesar Rp 20 miliar.

Wahyu kemudian menyampaikan tawaran tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Arif menyetujui rencana pemberian vonis lepas, tetapi meminta nilai suap dinaikkan menjadi tiga kali lipat, yakni Rp60 miliar.

Uang suap tersebut diberikan Ariyanto kepada Wahyu dalam bentuk dolar Amerika Serikat, lalu diteruskan kepada Arif. Sebagai imbalan atas jasanya menjadi perantara, Wahyu menerima kompensasi sebesar US$50 ribu, atau sekitar Rp818 juta (dengan asumsi kurs Rp 16.374 per dolar AS), dari Arif.

Selanjutnya, Arif mulai membagi uang suap itu kepada tiga hakim yang menangani perkara, termasuk memberikan Rp 4,5 miliar kepada Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan sejumlah dana kepada dua hakim lainnya.

Vonis lepas yang diberikan PN Jakarta Pusat ini bertolak belakang dengan tuntutan JPU, yang menuntut agar ketiga korporasi membayar uang pengganti. Rinciannya adalah: Permata Hijau Group sebesar Rp 937,5 miliar; Wilmar Group sebesar Rp 11,8 triliun; dan Musim Mas Group sebesar Rp 4,8 triliun.

Apa kata Wilmar?
Wilmar menanggapi uang Rp 11,8 triliun. Uang itu merupakan uang jaminan pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh anak perusahaan Wilmar dalam kasus korupsi crude palm oil (CPO) dan produk turunannya yang terjadi periode Juli 2021 hingga Desember 2021.

“Uang jaminan tersebut merupakan sebagian dari kerugian negara yang diduga terjadi dan sebagian dari keuntungan yang diperoleh Wilmar dari perbuatan yang diduga dilakukannya,” kata siaran pers resmi perusahaan induk Wilmar Group yang diterima Tempo, Rabu, 18 Juni 2025.

Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan bahwa uang senilai Rp11,8 triliun yang disita dari PT Wilmar Group terkait dengan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) bukanlah uang jaminan. Jawaban tersebut merupakan respons atas pernyataan Wilmar Internasional yang dirilis pada hari Rabu, 18 Juni 2025. Wilmar Group mengatakan bahwa menempatkan uang Rp 11,8 triliun tersebut ke dalam dana jaminan.

"Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terkait dengan kerugian keuangan negara, tidak ada istilah dana jaminan. Yang ada uang yang disita sebagai barang bukti atau uang pengembalian kerugian keuangan negara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar di Jakarta, Kamis (19/6/2025).

Terseret kasus beras oplosan
Selain kasus dugaan korupsi CPO, Wilmar Group kini terseret di kasus beras oplosan yang sedang diusut Polri dan Kejagung. Adapun kasus ini bermula dari temuan Mentan Andi Amran yang melaporkan 212 produsen beras diduga melakukan praktik pengoplosan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin. 

Laporan ini merupakan hasil investigasi terhadap 268 merek beras bersama sejumlah pemangku kepentingan.

Dari hasil pemeriksaan 13 laboratorium di 10 provinsi, ditemukan bahwa 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen tidak sesuai berat kemasan. “Ini sangat merugikan masyarakat,” kata Amran, Jumat (27/6/2025).

Sebanyak empat produsen sudah diperiksa terkait dugaan pelanggaran mutu dan takaran dalam distribusi beras. “Betul, masih dalam proses pemeriksaan,” kata Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helfi Assegaf, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/7/2025).

Brigjen Helfi menyebut empat produsen yang diperiksa adalah Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya (BPR), dan PT Sentosa Utama Lestari (SUL)/Japfa Group.

Adapun produk Wilmar Group yang diperiksa meliputi Sania, Sovia, dan Fortune. Sampel beras dikumpulkan dari berbagai wilayah, seperti Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jabodetabek.

Sementara itu, PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) diperiksa atas produk beras merek Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos, yang sampelnya diambil dari Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat.

Direktur Utama (Dirut) PT Food Station Tjipinang Jaya, Karyawan Gunarso saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Kamis (24/7/2025) belum memberikan respons.

Kemudian PT Belitang Panen Raya (BPR) diperiksa terkait produk Raja Platinum dan Raja Ultima, dengan sampel diambil dari Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Aceh, dan Jabodetabek. 

Sementara PT Sentosa Utama Lestari (SUL)/Japfa Group diperiksa terkait produk Ayana setelah pengambilan tiga sampel dari Yogyakarta dan Jabodetabek.

Naik penyidikan
Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Helfi Assegaf menungkapkan kelanjutan dari penindakan dugaan praktik beras oplosan yang sedang ramai diperbincangkan hingga bikin Presiden RI Prabowo Subianto mendidih.

Dari penyelidikan terhadap 212 merek yang diungkap Kementerian Pertanian, ditemukan ada 67 perusahaan yang diduga terlibat. Rinciannya, sekitar 52 PT produsen beras premium dan 15 PT produsen beras medium

"Kemudian, menindaklanjuti hal tersebut, Satgas Pangan Polri segera melaksanakan proses penyidikan dan penyelidikan dengan membuat laporan informasi dulu," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Setelah itu, Bareskrim juga melakukan pengecekan sampel ke laboratorium pengujian standar instrumen pascapanen pertanian. Saat ini baru 5 merek yang sudah keluar hasilnya. "Dari hasil penyidikan sementara ditemukan 3 produsen atas 5 merek tersebut, yaitu merek beras premium," tegas Helfi.

Saat ini, penyidik Bareskrim sudah menaikkan status penyelidikan ke tingkat penyidikan. Dari hasil investigasi, penyidik menemukan modus yang dilakukan produsen mengoplos beras dengan menggunakan alat modern ataupun manual.

"Penyidik mendapatkan fakta bahwa modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yaitu melakukan produksi beras premium dengan merek yang tidak sesuai standar mutu yang tertera pada label kemasan yang terpampang di kemasan tersebut, menggunakan mesin produksi baik modern maupun tradisional, artinya dengan teknologi yang modern maupun manual ini yang kita temukan," tandas Helfi.

Kejahatan luar biasa! Prabowo Geram
Anggota Komisi IV DPR Johan Rosihan menyatakan, kasus beras oplosan bukan sekadar pelanggaran pidana umum, tetapi telah menjadi kejahatan terstruktur yang berdampak sistemik pada ketahanan pangan, kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan juga stabilitas harga pangan nasional. Layak masuk ranah tindak pidana korupsi.

"Sudah saatnya negara menjadikan kejahatan pangan sebagai extraordinary crime sama dengan korupsi, terorisme, dan narkotika. Mafia pangan adalah bentuk kolonialisme gaya baru yang memiskinkan petani, menipu rakyat, dan melemahkan negara dari dalam. Kita tidak boleh ragu untuk menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hukum, termasuk di ranah Tipikor jika ada keterlibatan pejabat dan kerugian negara," katanya, Kamis (24/7/2025).

Pun, dia mendorong ada penelusuran lebih lanjut soal aliran dana dari praktik curang ini ke pengambil kebijakan atau penyelenggara negara. Maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus terlibat aktif melakukan penyidikan.

Sementara Presiden Prabowo Subianto sudah menunujukan kegeramannya terhadap praktik beras oplosan yang sedang jadi buah bibir publik belakangan ini. 

Probowo menegaskan, keseriusannya dalam memberantas praktik curang pada tata niaga beras. Ia mengungkap permainan harga dan pengemasan ulang beras subsidi telah merugikan negara hingga Rp100 triliun setiap tahun.

“Sama dengan beras, bayangkan ya beras kita subsidi benih, kita subsidi pupuk, pabrik pupuk milik rakyat, milik negara, pestisida di subsidi, waduk-waduk dibangun oleh uang rakyat, irigasi-irigasi dibangun oleh uang rakyat, beras alat-alatnya pakai bahan bakar disubsidi oleh rakyat, begitu sudah digiling jadi beras... Yahh. Itu paket diganti beras yang disubsidi ini ditempel katanya beras premium harganya tambah 5.000–6.000, ini menurut saudara benar atau tidak?” kata Prabowo di Jakarta baru-baru ini.

Permainan curang ini dilakukan oleh ratusan perusahaan. Maka Prabowo menuntut agar para pelaku kecurangan ini bisa segera mengembalikan uang negara.

“Sudah 212 perusahaan penggiling padi yang kita buktikan melanggar. Ini mereka sendiri sudah mengakui karena dibawa ke laboratorium diperiksa. Ya, ini mereka harus kembalikan uang yang mereka nikmati dengan tidak benar,” katanya.

Praktik semacam disebutnya sebagai kejahatan ekonomi yang merampas hak rakyat dan bertentangan dengan konstitusi. Pelakunya harus dipidanakan karena sudah berbuat kurang ajar.

“Ini adalah pidana. Ini nggak bener, ini pidana yang saya katakan kurang ajar itu, serakah. Dorongannya adalah saya dapat laporan, satu tahun dengan permainan ini ya beras biasa diganti bungkusnya, dibilang premium, dijual, ini hilang kekayaan kita, hilang Rp100 triliun tiap tahun. Rp100 triliun!” jelasnya.

Prabowo menegaskan kerugian sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki layanan dasar bagi masyarakat. “Gimana enggak mendidih kita dengar itu saudara-saudara, 100 triliun. Berarti kalau saya biarkan ini terus dalam 5 tahun, kita akan hilang 1.000 triliun. Dengan 1.000 triliun kita bisa perbaiki semua sekolah di Indonesia, kita bisa bantu semua rumah sakit, semua pesantren di seluruh Indonesia. 1.000 triliun,” demikian Prabowo Subianto.

Topik:

Kejagung Beras Oplosan Wilmar Group Korupsi CPO