Rp 300 Triliun Hilang di Udara, Rakyat Beli Pulsa Negara Dapat Sisa?

Iskandar Sitorus - Sekretaris pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Iskandar Sitorus - Sekretaris pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Diperbarui 7 Mei 2025 11:46 WIB
Sekretaris pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus [Foto: Doc. MI]
Sekretaris pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus [Foto: Doc. MI]

“Setiap detik rakyat Indonesia beli pulsa, tapi ke mana uangnya mengalir serampangan? ke kas negara atau ke Singapura dan pemilik korporasi?”

Uang pulsa bukan main! Tapi kenapa negara seolah tak dapat apa-apa?

Selama 15 tahun terakhir, industri telekomunikasi seluler di Indonesia tumbuh luar biasa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sejak 2010 jumlah pelanggan aktif telepon seluler selalu berada di atas 250 juta nomor, bahkan mencapai 435 juta nomor pada tahun 2017.

Dengan rata-rata pengeluaran Rp77.500 per bulan untuk pulsa dan paket data, maka uang yang berputar dari pulsa saja mencapai Rp316 triliun per tahun. 

IAW menghitung, jika kita tarik data dari 2020 hingga 2024 saja, estimasi nilai uang yang berputar dalam pembelian pulsa dan paket internet berkisar:
2020: Rp265 triliun
2021: Rp285 triliun
2022: Rp300 triliun
2023: Rp312 triliun
2024 (estimasi konservatif): Rp325 triliun Total 5 tahun: Lebih dari Rp1.480 triliun!

Namun, penting disampaikan bahwa nilai-nilai tersebut adalah perkiraan omzet kotor dari sisi pengguna, bukan laba bersih, dan tentu bukan seluruhnya menjadi bagian dari penerimaan negara. Karena itu, kajian ini tidak serta-merta menuduh bahwa “Rp300 triliun hilang” secara literal, melainkan menyoroti ketimpangan akut antara uang yang berputar dan kontribusi yang masuk ke kas negara.

Perhitungan "uang hilang" didasarkan pada simulasi jumlah pelanggan aktif tahunan dikalikan estimasi pengeluaran bulanan per pelanggan. Dengan asumsi konservatif:
- Rata-rata pelanggan aktif per tahun (2010–2024) 340 juta nomor.
- Rata-rata pengeluaran per bulan: Rp77.500.
- Pengeluaran tahunan per pelanggan: Rp930.000

Total siklus uang per tahun: 340 juta × Rp930.000 = Rp316,2 triliun

Namun, tidak semua omzet ini harus masuk ke negara. Uang hilang dalam konteks kajian ini merujuk pada:
- Selisih potensi PNBP jika tarif BHP dinaikkan dari 0,576% ke minimal 2%.
- Selisih pajak jika penghindaran melalui transfer pricing ditutup.
- Dana-dana yang seharusnya disetor ke kas negara tapi tidak tertagih karena lemahnya regulasi dan pengawasan.

Contoh perhitungan korektif, jika tarif BHP Frekuensi 0,576% dari Rp316 triliun = Rp1,82 triliun. Namun jika dinaikkan ke 2% = Rp6,32 triliun. Potensi tambahan: ±Rp4,5 triliun/tahun × 5 tahun = ±Rp22,5 triliun uang negara yang hilang hanya dari 1 aspek!.

Dengan memperhitungkan aspek lain seperti PPN, PPh, royalti, dan dana USO yang tidak terkontrol, maka total potensi kebocoran selama 10–15 tahun dapat dikatakan mencapai ratusan triliun.

Dengan demikian, istilah "uang hilang" lebih tepat disebut sebagai “potensi penerimaan negara yang tidak dioptimalkan secara sistematis”, dan bukan tuduhan penggelapan seluruh omzet industri.

Negara cuma dapat recehan?

Kami bandingkan dengan data realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Kominfo, dimana PNBP BHP Frekuensi dan Telekomunikasi yang dibayar oleh operator hanya mengandalkan tarif 0,576%, jauh tertinggal dari Malaysia (3%) atau Vietnam (5%). PPN dan PPh pun tidak mencerminkan proporsi dari aliran pendapatan industri ini.

APBN 2020 mencatat sektor telekomunikasi tumbuh positif 10,42%, namun realisasi penerimaan pajak justru turun 4,4%! Ini adalah anomali akut dan mengindikasikan sistem yang bocor atau sengaja dibocorkan.

Siapa sebenarnya menikmati pulsa Rakyat?

Mayoritas pasar dikuasai oleh:
- PT Telkomsel (anak usaha BUMN PT Telkom dan SingTel – Singapura)
- Indosat Ooredoo Hutchison (dikuasai Qatar dan Hong Kong)
- XL Axiata (dikuasai Axiata Group – Malaysia)
- Smartfren (Sinarmas Group)

Telkomsel saja memiliki lebih dari 163 juta pengguna aktif. Artinya, setiap hari uang miliaran rupiah mengalir ke rekening mereka. Namun yang disetor ke negara hanya sebagian kecil, bahkan 80% laba Telkomsel dibagi ke SingTel, hanya 20% yang dipakai untuk pengembangan di Indonesia.

Celah legal dan skandal yang terstruktur

Indonesian Audit Watch menilai bahwa dugaan skema transfer pricing digunakan untuk menyamarkan margin keuntungan. Lalu penghindaran pajak dilakukan lewat pembayaran royalti, jasa manajemen, dan penggelembungan biaya. Kemudian laba disedot ke luar negeri melalui dividen tahunan ke SingTel. Serta underreporting transaksi dan manipulasi volume paket pulsa menutupi nilai sebenarnya.

Di saat bersamaan, BLU BAKTI Kominfo yang mengelola Rp5 triliun per tahun dari dana USO tidak pernah diaudit secara forensik, padahal mengelola salah satu kas terbesar setelah BPDP Kelapa Sawit.

Rekomendasi IAW: bongkar sekarang atau jangan pernah bicara kedaulatan digital!

1. Audit forensik dana pulsa dan data selama 10–15 tahun terakhir, dari Telkomsel, Indosat, XL, hingga Smartfren. 
2. Revisi tarif BHP Frekuensi, minimal menyamai negara ASEAN lain: 2–5%.
3. Usut dan audit total PNBP Kominfo, khususnya dana USO sebesar Rp25 triliun selama 5 tahun.
4. Tarik ulang skema pembagian laba Telkomsel, agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tapi juga pemilik manfaat.

Negara ini dijual dari pulsa ke pulsa

Rakyat beli pulsa Rp10.000, negara hanya dapat pajak Rp1.000. Sisanya? Entah ke mana. Kalau negara terus tutup mata, jangan salahkan rakyat kalau suatu saat berteriak: “Pulsa kami bukan untuk kalian rampok!”.

Topik:

Iskandar Sitorus IAW