Rekening Dormant yang Bangun, Kisah Gelap dari Balik Kaca Bank

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 September 2025 16:21 WIB
Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI)
Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Sebuah awal dari meja lobi bank.

Bayangkan seorang lelaki masuk ke cabang bank di kota besar. Tampilannya rapi, berbicara dengan sopan, dan menyelipkan sebuah kartu nama yang terkesan meyakinkan. Di balik senyum dan tata krama itu, ada misi gelap: mencari rekening dormant yang bisa dibangunkan.

Rekening dormant atau rekening tidur, sudah lama tidak dipakai pemiliknya sering dianggap sepele. Tapi justru di situlah letak bahayanya. Saldo mengendap, tidak ada transaksi, dan kadang pemiliknya pun sudah lama lupa. Bagi sindikat keuangan, itu ladang emas.

Bagaimana pintu itu bisa terbuka?

Di sistem perbankan, ada jalur prosedur resmi untuk mencairkan rekening dormant. Nasabah atau ahli waris harus datang dengan dokumen lengkap, lalu diverifikasi, disetujui berlapis, dan terakhir baru bisa cair dengan otorisasi Kepala Cabang (Kacab).

Nah, sindikat tahu persis siapa yang jadi kunci, Kacab. Dia bukan operator mesin, tapi otorisasi final sering berada di tangannya. Jika tanda tangannya muncul, dana bisa mengalir.

Modusnya bisa macam-macam:

1. Dokumen palsu tapi tampak asli.

2. Kolusi pegawai internal yang “membuka jalan”.

3. Atau Kacab yang pura-pura tak tahu alias fraud by omission.

Sekali pintu ini terbuka, rekening dormant yang tidur pun bisa jadi sumber kejahatan.

Audit BPK: pagar yang bolong dari dalam

Masalahnya bukan sekadar satu cabang. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari tahun ke tahun menunjukkan pola yang sama:

Pertama, tahun 2015–2017 ditemukan ribuan rekening pemerintah daerah dormant dengan saldo miliaran, tanpa rekonsiliasi.

Tahun 2018–2020: KYC lemah, banyak rekening ganda dan aktivasi tanpa verifikasi.

Pada 2021–2022 terjadi ledakan bank digital tanpa biometrik seragam.

Di tahun 2023 terdapat 2.115 rekening pemerintah tetap dormant lebih dari tiga tahun dengan saldo Rp500 miliar.

Tahun 2024, temuan 15 kasus terbukti, oknum bank mengaktifkan dormant untuk transaksi ilegal.

Itu artinya, sistem kita memang berlubang dari dalam. Sindikat tidak perlu meretas sistem canggih; cukup memanfaatkan celah kelemahan dan oknum di dalam bank.

Ketika regulasi jadi macan kertas

Aturan sebenarnya sudah keras, jelas yakni:

1. UU Perbankan mewajibkan kehati-hatian.

2. POJK APU-PPT mewajibkan verifikasi biometrik.

3. UU TPPU menegaskan bahwa pencairan ilegal bisa jadi tindak pidana pencucian uang.

4. KUHP memberi ancaman penggelapan, penipuan, hingga penyertaan pidana.

Tapi di lapangan, aturan ini sering hanya jadi macan kertas. Lemahnya pengawasan dan budaya “percaya saja pada bawahan” membuat Kacab jadi titik rawan.

Di balik meja teller, cerita gelap yang jarang terungkap

Seorang mantan teller pernah berbisik: “Kalau sudah ada tanda tangan Kacab, kami hanya eksekutor. Mau dokumennya palsu atau tidak, itu di atas yang menentukan.”

Pernyataan ini menggambarkan betapa rapuhnya sistem “four eyes principle” (prinsip dua atau lebih orang mengawasi). Kalau semua mata sudah “buta” karena kolusi atau kelalaian, maka sistem tidak berarti apa-apa.

Mengapa publik harus peduli?

Karena ini bukan sekadar cerita rekening mati yang dihidupkan. Ini soal uang publik, soal kepercayaan masyarakat pada perbankan. Jika rekening dormant bisa dicairkan seenaknya, bagaimana nasib tabungan rakyat kecil? Bagaimana negara bisa menjaga kredibilitas keuangan?

Kasus Ilham hanyalah puncak gunung es. Audit BPK menunjukkan pola yang sistemik, bukan insidental.

Penutup: saatnya membuka mata

Rekening dormant bukan sekadar akun tidur. Ia adalah “pintu rahasia” yang bisa dibuka jika penjaga pintunya lalai. Dan ketika pintu itu dibuka, dana bisa mengalir ke sindikat, ke bandar judi, bahkan ke jaringan pencucian uang.

Pesan utamanya jelas, yaitu jangan biarkan rekening dormant jadi celah kejahatan. Aparat harus berani menyeret bukan hanya pelaku lapangan, tapi juga bank yang lalai, ke meja hukum. Karena pagar yang bolong dari dalam tidak bisa diperbaiki dengan cat, tapi dengan perombakan sistemik.

[Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)]

Topik:

IAW