Desak Kejagung Jerat Korporasi di Korupsi Chromebook, IAW Singgung PT D
Jakarta, MI - Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai proyek Chromebook bukan sekadar soal perangkat yang menumpuk di sekolah.
Menurutnya, Kasus korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan (Kemendikbudristek) membuka indikasi adanya skema terstruktur yang membuat dana publik mengalir ke kantong pihak tertentu.
"Bayangkan ini, ada kebijakan bagus (digitalisasi sekolah) dibajak oleh sistem yang dirancang sempurna. Spesifikasi teknis dibuat “khusus” sehingga hanya vendor tertentu yang bisa masuk. Lalu, ada biaya “aktivasi” bernama CDM/CEU yang menjadi pintu bagi aliran dana," kata Iskandar, Jumat (14/11/2025).
Iskandar lantas mengungkap adanya struktur pelaku dari pejabat hingga perusahaan besar yang bergerak bersama dalam skema tersebut. Beberapa mantan pejabat dan staf khusus telah menjadi tersangka karena diduga memberi akses bagi mekanisme tersebut.
Di level korporasi, Iskandar mengungung, PT D sebagai “Google Education Partner” eksklusif yang memegang kendali terhadap aktivasi CDM/CEU. Setiap Chromebook yang masuk sekolah harus lewat sistem mereka sehingga tercipta praktik vendor lock-in yang menutup persaingan.
Selain itu, lanjutnya, sejumlah marketplace seperti Bl dan Bh juga menjadi jalur aliran dana BOS dan DAK. Walau beberapa direkturnya sudah diperiksa, peran konkret mereka dalam arus dana tersebut masih menyisakan pertanyaan.
Vendor dan principal pengadaan turut dimintai keterangan untuk memastikan pengiriman barang serta nomor seri perangkat. Pemeriksaan dilakukan untuk menegaskan rantai distribusi yang terjadi selama proyek berjalan.
"Keseluruhan nama lengkap dan penerima manfaatnya tentu akan terbuka dengan detail saat persidangan nanti," jelas Iskandar.
Menurutnya, klaim Kejaksaan Agung (Kejagung) mengenai pihak-pihak yang melakukan pengembalian dana tidak otomatis menghapus dugaan tindak pidana.
"Pengembalian parsial tidak boleh menghentikan penyidikan hingga akar masalahnya, yaitu kejahatan korporasi yang terstruktur, itu harus dibongkar," katanya.
Ia menilai penolakan gugatan praperadilan Nadiem sebagai kemenangan besar bagi Kejagung. Putusan tersebut dianggap mempertegas, proses penetapan tersangka telah memenuhi syarat formil sehingga penyidikan dapat berjalan lebih kokoh.
Menurutnya, strategi praperadilan Nadiem gagal total karena jalur tersebut biasanya dipakai menggugurkan status tersangka. Meski begitu, ia menekankan agar keberhasilan tersebut tidak membuat penyidik kehilangan fokus.
"Justru ini adalah momentum untuk mendobrak lebih dalam. Fokus harus tetap pada pertanyaan inti, yakni bagaimana kebijakan di era kepemimpinannya, dengan segala kompleksitasnya, dapat berujung pada kerugian negara miliaran rupiah melalui skema korporasi yang canggih?" ujar Iskandar.
Iskandar memperingatkan agar Kejaksaan tidak larut dalam euforia kemenangan praperadilan. Ia menyebut penolakan sebagai peluang untuk menggali lebih dalam hubungan antara kebijakan politik dan keuntungan korporasi dalam vendor lock-in.
"Sekarang saatnya Kejagung membuktikan keseriusannya dengan tidak hanya mengusut peran individu Nadiem, tetapi terutama membongkar hingga ke akar-akarnya, aliran uang dan skema kejahatan korporasi yang terjadi," beber Iskandar.
Ia menekankan tiga kekeliruan besar yang harus dihindari, yakni hanya menyasar pelaku kecil, berhenti setelah uang dikembalikan, dan mengabaikan penelusuran arus uang ke korporasi penerima manfaat. Menurutnya, tiga hal ini berpotensi membuat komandan sesungguhnya justru lolos.
Iskandar mendorong audit forensik dilakukan BPK dan BPKP guna membandingkan HPS dengan harga pasar. Ia juga meminta PPATK menelusuri aliran dana dari marketplace dan vendor ke rekening mencurigakan atau perusahaan cangkang.
Langkah berikutnya adalah membuka dokumen kerja sama Google–PT D melalui jalur MLA agar kontrak eksklusifnya terbuka, serta menelusuri log aktivasi Google yang mencatat setiap perangkat yang diaktifkan PT D. Menurutnya, langkah ini penting untuk membongkar struktur keuangan yang selama ini tersembunyi.
Iskandar menegaskan, perkara Chromebook adalah ujian besar negara dalam menghadapi kecerdikan korporasi besar. Jika penyidik hanya mengejar pelaku kecil dan berhenti pada pengembalian uang, ia menilai negara hanya menangkap tikus sementara komandannya tetap di menara gading.
"Tuntaskan! Jerat korporasinya, bongkar skema bisnisnya, dan pastikan ini menjadi pelajaran berharga, jangan main-main dengan uang rakyat!" tandas Iskandar.
Topik:
Kejagung IAW Korupsi ChromebookBerita Terkait
Dugaan Korupsi Coretax Rp 1,2 T Era Srimul Melempem di KPK, Apa Perlu Diambil Alih Kejagung?
1 jam yang lalu
Kejagung Cekal Eks Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi ke Luar Negeri, Purbaya: Kasus Tax Amnesty Kan?
10 jam yang lalu