Skandal Chromebook: IAW Desak Audit Forensik Aliran Dana sebelum Nadiem jadi Menteri


Jakarta, MI - Indonesian Audit Watch (IAW) mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transksi Keuangan (PPATK) agar melakukan audit forensik terhadap aliran dana sebelum Nadiem Anwar Makarim menjadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek).
Pasalnya, Nadiem Makarim disebut sebagai pihak yang merencanakan program pengadaan TIK Chromebook. Bahkan, sebelum menjabat sebagai menteri. Pengadaan ini pun menjadi objek pengusutuan kasus dugaan korupsi oleh penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung).
Nilai proyek pengadaan laptop chromebook ini mencapai Rp9.307.645.245.000 atau Rp9,3 triliun untuk 1.200.000 unit Chromebook. Namun, nilai kerugian negara dari pengadaan tersebut mencapai Rp1,980 triliun.
"Kami mendorong beberapa langkah konkret yakni audit forensik oleh BPK dan PPATK terhadap aliran dana tahun 2019–2020, bahkan sebelum pelantikan Nadiem," kata Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri IAW kepada Monitorindonesia.com, Selasa (28/7/2025).
Selain daripada kasus dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook. Terdapat dua dugaan rasuah yang terjadi era Nadiem yang kini diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adalah dugaan korupsi kuota gratis dan dugaan korupsi Google Cloud.
Terhadap Kejagung dan KPK, Iskandar menegaskan kedua lembaga penegak hukum ini dalam pengusutan kasus tersebut juga harus fokus pada perencanaan pra-jabatan, bukan sekadar lelang akhir.
"Ketika rencana dibuat sebelum jabatan dimulai, saat itulah negara kehilangan kendali atas kedaulatannya sendiri. Kami yakin negara melalui aparat penegak hukum Kejaksaan Agung dan KPK bisa lebih tegas lagi menyidik perilaku jahat tersebut," jelas Iskandar.
Menurut Iskandar, hal sangat ironis dalam sebuah negara saat seseorang yang belum menjabat atau mempunyai keuasaan tetapi sudah sibuk mengatur proyek negara bernilai triliunan. "Ini fakta yang mencengangkan di balik kasus pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek," tegasnya.
Di lain sisi, Iskandar menyoroti grup WhatsApp "Mas Menteri Core Team". Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kejagung, grup tersebut sudah aktif sejak Agustus 2019. Tepat dua bulan sebelum Nadiem Makarim resmi dilantik Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2019.
Koordinasi di grup itu bukan sekadar obrolan biasa. Mereka yang dominan terafiliasi korporasi besar merancang kebijakan strategis, termasuk pengalihan dari sistem Windows ke Chrome OS dalam program digitalisasi sekolah.
"Terlihat jahat individu dan korporasi berkomplot, masa kita diam saja? Masa itu ditoleransi? Padahal, kebijakan seperti itu semestinya lahir lewat dari kajian teknis yang sah, dan hanya boleh ditetapkan oleh pejabat publik yang sah pula. Tapi inilah wajah shadow governance, yakni pemerintahan bayangan yang bekerja di luar konstitusi, di balik layar, tanpa mandat publik," bebernya.
IAW lantas menelusuri dokumen Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kemendikbudristek. Salah satu tender bernomor P.3462023 mensyaratkan spesifikasi yang sangat tertutup yakni Chrome OS; Google Education License; dan Enrollment Management System berbasis Google.
Menurut IAW Spesifikasi itu diduga sudah dikunci untuk vendor tertentu bahkan sebelum tender diumumkan. "Siapa yang menguasai pasar perangkat dan lisensi Google di Indonesia? Ada tuh, inisialnya D yang saat dilidik tahum 2023 oleh para penyelidik Kejagung, salah satunya mereka mendapat dokumen-dokumen terkait impor perusahaan tersebut," ungkap Iskandar.
Menurut Iskandar, perusahaan itu saat ini sedang resah, mencoba hendak 'cuci tangan' padahal bukti sudah ada, yakni sebagai salah satu pihak yang terafiliasi kasus korupsi Chromebook.
"Nanti alurnya tentu sama-sama bisa kita lihat pada fakta persidangan. Perusahaan itu disebut-sebut menguasai 89% pasar Chromebook pemerintah. Vendor lain sepertinya tidak mungkin mampu untuk menyaingi," jelas Iskandar.
Lebih gawat lagi, tambah dia, 78% pengadaan tahun 2020–2022 di Kemendikbudristek menggunakan skema penunjukan langsung, bukan lelang terbuka.
"Praktik ini bukan cuma melanggar prinsip persaingan, tapi juga menutup peluang efisiensi dan transparansi," tutur Iskandar.
Pun, IAW menilai, pola ini memenuhi sejumlah unsur tindak pidana dalam berbagai undang-undang, sekaligus ini adalah modus yang harus jadi cermatan pembuat undang-undang, yaitu: Pasal 13 UU Tipikor: sebab ada indikasi janji atau tekanan dari aktor di luar pemerintahan untuk memengaruhi kebijakan negara dan Pasal 21 UU Tipikor: berupaya menyembunyikan atau membelokkan proses hukum dengan koordinasi informal.
Lalu, Pasal 12 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan: karena ada konflik kepentingan antara calon pejabat dan vendor. Kemudian Pasal 22 UU No. 5/1999: spesifikasi dikunci sebagai teknik halus pelanggaran persaingan usaha sehat dan Pasal 1365 KUHPerdata: timbul kerugian negara hingga Rp1,2 triliun, sehingga bisa digugat 3x lipat secara perdata.
Preseden hukumnya sudah ada, kata Iskandar. Mahkamah Agung (MA) pernah menegaskan dalam putusan No. 45 PK/PID.SUS/2023 bahwa perencanaan pengadaan sebelum jabatan resmi bisa dikategorikan sebagai konspirasi korupsi.
Lebih lanjut, menurut IAW, bukan cuma Indonesia, dunia juga pernah terjebak vendor dan poyek gimmick. "Kasus Chromebook yang terjadi di Indonesia bukanlah satu-satunya di dunia. Sejumlah negara besar pernah mengalami hal serupa, yakni proyek teknologi pendidikan yang pada akhirnya lebih menguntungkan vendor daripada murid, dan lebih menguntungkan korporasi ketimbang negara," jelasnya.
Di Amerika Serikat, ungkapnya, gugatan dilayangkan terhadap Google karena mengumpulkan data pribadi siswa lewat perangkat Chromebook dan akun Google for Education, tanpa izin sah dari orang tua maupun lembaga pendidikan.
Komisi Perdagangan Federal Amerika (FTC) akhirnya menjatuhkan denda USD 170 juta pada tahun 2019. Kasus ini mencoreng citra perusahaan teknologi yang mengklaim peduli pada dunia pendidikan.
Berpindah ke Spanyol, proyek bertajuk EDU 365 yang digulirkan pada 2009–2012 disorot otoritas antimonopoli karena spesifikasi tender yang dikunci hanya untuk satu vendor. Kolusi terjadi secara sistematis dan akhirnya berujung pada denda €15 juta setelah penyelidikan oleh Komisi Pasar dan Persaingan Nasional (CNMC). Proyek edukasi yang awalnya digembar-gemborkan sebagai digitalisasi sekolah berubah jadi skandal pengadaan.
Sementara di Nigeria, semangat besar dari proyek ambisius One Laptop per Child (2005–2015) justru berakhir pahit. Ribuan laptop menganggur dan tidak terpakai karena tidak sesuai dengan kebutuhan lokal, baik dari sisi konten, infrastruktur listrik, maupun kapasitas guru. Akibatnya, proyek tersebut dihentikan sepenuhnya, menyisakan tumpukan perangkat di gudang-gudang pemerintah dan sekolah-sekolah.
Lalu di Korea Selatan, program Smart Classroom (2013–2017) yang awalnya dimaksudkan untuk mempercepat digitalisasi ternyata digunakan sebagai ajang markup harga dan permainan vendor yang terafiliasi dengan pejabat. Hasil investigasi oleh Badan Audit dan Inspeksi Korea (BAI) menyimpulkan adanya kelemahan serius dalam pengawasan proyek. Pemerintah hanya menjatuhkan teguran keras, tetapi publik menilai hukuman itu terlalu lunak untuk kerugian yang ditimbulkan.
"Pelajaran buat Indonesia? Peramcang, pelaku dan penikmat dari kejahatan serapi itu harus sesegera diberangus semaksimal mungkin!," ungkap Iskandar.
Jika negara-negara dengan sistem hukum dan pengadaan yang jauh lebih mapan saja bisa terjebak dalam pusaran vendor dan janji palsu digitalisasi, maka Indonesia harus lebih waspada. "Kasus Chromebook bukan sekadar proyek gagal, tetapi gejala sistemik shadow governance dan konspirasi teknologi yang membajak kebijakan publik," katanya panjang lebar.
Yang paling tegas, ungkapnya, kasus in jauhi beda dari Tom Lembong sebab niatan jahat sudah ada pada kommplotan tersebut sejak jauh hari sebelum Nadiem dilantik.
"Tidak sulit Kejaksaan Agung dan KPK untuk membuktikan mens rea-nya bukan? Kita bukan korban pertama, tapi jangan sampai jadi korban abadi. Indonesia kini harus belajar. Bukan hanya dari keberhasilan, tapi juga dari kegagalan negara lain," katanya.
Kasus posisi
Kejagung mengungkap hasil analisa dampak kerugian negara sementara dari kasus dugaan korupsi proyek Digitalisasi Pendidikan 2019–2022, terkait proyek laptop Chromebook.
“Akibat perbuatan tersebut, negara mengalami kerugian Rp1,9 triliun,” kata Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar di Kejagung, dikutip Rabu (16/7/2025).
Di mana, hasil analisa itu berdasarkan proyek dengan rincian bantuan TIK Rp3.582.607.852.000 dan DAK sebesar Rp6.399.877.689.000, dengan keseluruhan dana Rp9.982.485.541.000 untuk proyek Laptop Chromebook.
Adapun nilai itu bermula saat Kemendikbud pada 2020-2022 tengah merencanakan kegiatan pengadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk PAUD, SD, SMP, dan SMA dengan total anggaran keseluruhan Rp9,3 triliun.
Dana tersebut bersumber dari APBN pada satuan pendidikan Kemendikbud yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Dengan tujuan untuk pengadaan 1,2 juta unit laptop untuk para siswa termasuk di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal)
Rencana ini diawali dari tersangka Eks Mantan Stafsus Jurist Tan pada Agustus 2019 bersama-sama dengan Menteri Nadiem Makarim dan Stafsusnya, Fiona Handayani membentuk grup WhatsApp bernama ‘Mas Menteri Core Team’.
Di dalam grup itu, sudah membahas mengenai rencana pengadaan program digitalisasi pendidikan di Kemendikbud sebelum Nadiem diangkat sebagai Mendikbud. Bahkan, pembahasan telah sampai menetapkan bagaimana proyek ini memakai operating system Chrome.
Dengan pihak Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Jurist Tan membuat kontrak kerja bersama Ibrahim Arief sebagai pekerja PSPK yang bertugas menjadi konsultan teknologi di Warung Teknologi pada Kementerian Kemendikbud.
“JS bersama Fiona memimpin rapat-rapat meminta kepada SW selaku Direktur SD, kemudian MUL selaku Direktur SMP kemudian IBAM yang hadir pada saat rapat meeting agar mengadakan TIK di Kementerian Kemendikbud Ristek dengan menggunakan Chrome OS,” ujar Qohar.
“Sedangkan staf Khusus Menteri seharusnya tidak mempunyai kewenangan dalam tahap perencanaan dan pengadaan barang dan jasa terkait dengan Chrome OS pada bulan Februari dan April 2020,” katanya.
Setelah itu, Nadiem yang pada saat itu menjabat Menteri turut bertemu dengan pihak Google yang diwakili William dan Putri Datu Alam untuk membicarakan pengadaan TIK pada Kemendikbud.
Semua proses pengadaan dilakukan melalui Jurist Tan atas perintah Nadiem bertemu dengan pihak Google membicarakan teknis pengadaan TIK di dengan menggunakan operating system Chrome buatan Google.
Dari situlah, turut dibahas co-investment sebanyak 30 persen dari Google untuk Kemendikbud. Jurist Tan kemudian menyampaikan co-investment 30 persen itu dalam rapat-rapat yang dihadiri Sekretaris Jenderal Kementerian Kemendikbud, SW Direktur SD dan MUL Direktur SMP di Kementerian Kemendikbud.
Pada 6 Mei 2020, Nadiem memimpin rapat bersama Jurist Tan, Ibrahim Arief, Mulyatsyah dan Sri Wahyuningsih. Dalam rapat itu, Nadiem memerintahkan pengadaan TIK dengan menggunakan Chrome OS dari Google.
“Sedangkan saat itu pengadaan belum dilaksanakan, kemudian Ibrahim yang saat itu sebagai konsultan teknologi sudah merencanakan bersama-sama dengan NAM sebelum menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan produk operating system tertentu,” kata dia.
Padahal, terkait penggunaan operating system Chrome telah ditemukan berbagai kendala, diantaranya Laptop Chromebook hanya dapat efektif digunakan apabila terdapat jaringan internet.
Sesuai hasil analisa, Tim Teknis Perencanaan Pembuatan Kajian Pengadaan Peralatan TIK dalam Kajian Pertama (Buku Putih) merekomendasikan untuk menggunakan spesifikasi dengan Operating System (OS) Windows.
Namun atas rapat dan pertemuan yang dipimpin Jurist Tan, akhirnya Kemendikbud Ristek mengganti kajian pertama dengan kajian baru menggunakan spesifikasi Operating System Chrome/Chromebook.
“Sebagai satu-satunya operating system di pengadaan TIK pada tanggal tahun 2020 sampai dengan tahun 2022 dan mengarahkan tim teknis mengeluarkan hasil kajian teknis berupa Chrome OS,” jelas Qohar.
Adapun dalam kasus ini Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan empat orang tersangka yakni Sri Wahyuningsih (SW) selaku Direktur SD Kemendikbud Ristek, Mulatsyah (MUL) sebagai Direktur SMP Kemendikbud Ristek, Juris Tan (JT) selaku eks staf khusus Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, dan Ibrahim Arif (IBAM) selaku Konsultan Teknologi Kemendikbud Ristek.
Sesuai Pasal 1 Ayat 14 juncto Pasal 42 Ayat 1 juncto Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 131 Undang -Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. (wan)
Topik:
IAW KPK Kejagung Nadiem Makarim Laptop Chromebook Google Cloud Kemendikbudristek