Film Dirty Vote Dinilai Sebagai Kritikan Keras untuk Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 12 Februari 2024 14:35 WIB
Flayer Film Dirty Vote (Foto: MI-Aswan/Repro)
Flayer Film Dirty Vote (Foto: MI-Aswan/Repro)

Jakarta, MI - Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, menilai film dokumenter “Dirty Vote” tak bisa dikatakan sebuah kebenaran. Namun, itu adalah kritikan sangat keras yang ditujukan kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan penyelenggara Pemilu yakni, KPU, Bawaslu dan DKPP.

"Ya kita tidak bisa mengatakan film “Dirty Vote” itu sebuah kebenaran, kan gak bisa juga. Itu adalah kritik dari pemeran, pembuat Dirty Vote untuk memberikan masukan kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu," kata Ujang saat dihubungi Monitorindonesia.com, Senin (12/12).

Kata Ujang, jika dalam film tersebut disajikan berbagai macam materi tentang kecurangan, maka kecurangan tersebut tidak bisa hanya ditujukan kepada salah satu kubu pasangan calon (Paslon) tertentu saja.

"Jadi kalau soal kecurangannya, kalau kata saya kecurangannya tidak bisa ditujukan kepada kubu tertentu," ujarnya.

Sebabnya kata Ujang, semua kubu paslon, partai politik hingga calon legislatif (caleg) pun akan melakukan kecurangan pada Pemilu jika terdapat celah dan peluang untuk melakukannya.

"Semua kubu, semua partai politik, semua caleg juga akan berusaha melakukan kecurangan kalau ada celah, kalau ada peluang, kan begitu," jelas Ujang.

Seperti diketahui, film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube. 

Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu.

Dalam beberapa bagian, ketiga pakar juga mengkritik Bawaslu yang dinilai tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran pemilu. Alhasil menurut mereka, tidak ada efek jera sehingga pelanggaran pemilu cenderung terjadi berulang.

Sutradara “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono menyebut filmnya itu sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,“ kata Dandhy.

Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis. 

Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. (DI)