MPR Diminta Batalkan Jabatan Wapres Gibran di Sidang Tahunan atas Alasan "Berhalangan Tetap"

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 12 Agustus 2025 13:13 WIB
Gibran Rakabuming Raka mengambil sumpah jabatan Wakil Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2024 (Foto: Dok MI/Istimewa)
Gibran Rakabuming Raka mengambil sumpah jabatan Wakil Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2024 (Foto: Dok MI/Istimewa)

Jakarta, MI - Para Advokat yang tergabung dalam Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) meminta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI agar membatalkan jabatan Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming Raka dalam Sidang Tahunan tanggal 15 Agustus 2025 mendatang.

"Jabatan Wapres Gibran merupakan buah dari konspirasi jahat yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman dan Gibran Rakabuming Raka," tulis keterangan Perekat Nusantara dan TPDI, Selasa (12/8/2025).
 
Adapun langka ini merupakan tindak lanjut dari sejumlah langkah yang dilakukan pada berapa waktu sebelumnya, di mana pada tanggal 10 Oktober 2024 lalu, mereka menyampaikan surat surat kepada MPR agar dalam sidang MPR tanggal 20 Oktober 2024 yang lalu, tidak melantik Gibran sebagai Wapres RI dengan alasan proses pencalonannya cacat konstitusi sehingga menempatkan posisi Gibran sebagai "berhalangan tetap".

Namun demikian MPR tetap melantik Gibran sebagai Wapres dengan mengabaikan aspirasi masyarakat dan tuntutan tersebut.

Oleh karena itu pada tanggal 2 Juli 2025 mereka kambali mendatangi Kantor Wapres dengan menyampaikan somasi pertama dan terakhir kepada Gibran untuk mundur dari jabatannya dalam tempo 7 hari setelah somasi diterima.

"Namun kenyataannya Gibran tidak mundur, sehingga permasalahan jabatan Wapres Gibran harus dibawa ke MPR agar dalam sidang Paripurna MPR tanggal 15 Agustus 2025, digagendakan untuk dididskualifikasi atau dibatalkan," lanjutnya.

Tuntutan yang dimaksud bukan dalam ranah pemakzulan Wapres, akan tetapi pada ranah pembatalan atau diskualifikasi atas alasan "berhalangan tetap" yang sepenuhnya menjadi wewenang MPR, berdasarkan ketentuan pasal 427 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, akibat pelanggaran konstitusi dan UU dalam proses pencalonan seorang Wapres yang kemudian berkembang menjadi aspirasi masyarakat yang berisi tuntutan kepada MPR.

Terkait aspirasi masyarakat, hal itu berada di luar kewenangan MK, KPU, Bawaslu, PTUN dan DKPP, di mana seorang cawapres terpilih ketika berada dalam posisi "berhalangan tetap" maka menjadi kewenangan MPR untuk tidak melantik atau membatalkan jabatan Wapres dalam sidang MPR. 

Di sinilah letak peran kunci kedaulatan rakyat berada di tangan MPR, selaku lembaga negara dengan kewenangan tertinggi, di luar MK, di luar KPU, Bawaslu, Peradilan TUN dan DKPP terlebih-lebih ketika MK, KPU, Bawaslu, Peradilan TUN dan DKPP berada dalam cengkraman dinasti politik dan nepotisme, maka peradilan rakyat di MPR berwenang untuk tidak melantik Cawapres terpilih atau membatalkan jabatan Wapres atas alasan "berhalangan tetap" sesuai aspirasi masyarakat.

"Ini jelas penggunaan kewenangan MPR yang tertunda terkait pelaksanaan UUD 45, menyangkut tugas dan wewenang MPR menyerap "aspirasi masyarakat", sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan UUD 45, UU No. 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan ketentuan pasal 427 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Tata Tertib MPR No. 1 Tahun 2024," jelasnya.

Adapun alasan konstitusional yang menempatkan posisi Gibran sebagai "berhalangan tetap" yang seharusnya didiskualifikasi/tidak dilantik oleh MPR pada tanggal 20 Oktober 2024 adalah:

Terdapat berbagai Peristiwa Hukum dan Fakta Hukum yang sangat penting dan menentukan yang berimplikasi hukum pada posisi Gibran sebagai "berhalangan tetap" saat dilantik sebagai berikut:

1. Terdapat peristiwa hukum dan terdapat fakta hukum yang notoire feiten bahwa dalam proses pencalonan Gibran menjadi cawapres, terjadi konspirasi atau persekongkolan jahat antara Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman dan Gibran (ketika itu sebagai bakal cawapres), melalui apa yang disebut dinasti politik dan nepotisme yang fakta-faktanya terungkap dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 dan Putusan MKMK No. 2, No. 3, No. 4 dan No. 5/ MKMK/L/11/ 2023 tertanggal 7 November 2023.

2. Konspirasi jahat itu berimplikasi hukum pada Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023 menjadi tidak sah; Ketua MK Anwar Usman dijatuhi sanksi administratif berupa pemberhentian dari jabatan Ketua MK, karena terbukti melakukan pelanggaran berat; dan 8 Hakim Konstitusi lainnya diberi sanksi administratif berupa teguran oleh MKMK, karena terbukti melakukan pelanggaran ringan terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. 

3. Selain daripada itu 7 Komisioner KPU dijatuhi sanksi administratif berdasarkan Putusan DKPP Nomor: 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023, tanggal Mei 2024, akibat menerima dan menetapkan Gibran sebagai cawapres sebelum Peraturan KPU yang mengatur batas usia minimum capres dan cawapres 40 tahun diubah oleh KPU.

4. Terdapat fakta hukum yang tak terbantahkan yaitu dinasti politik dan nepotisme sebagai perbuatan yang dilarang oleh UU, diciptakan oleh Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman dan Gibran, telah menimbulkan suatu kondisi di mana MK berada dalam cengkraman dan belenggu dinasti politik dan nepotisme dengan segala akibat hukumnya, sehingga  9 Hakim MK terbelenggu nalar dan memiliki konflik kepentingan dalam proses perkara No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023.

5. Kasus Fufufafa yang dituduhkan kepada Gibran dan menjadi viral di tengah masyarakat, perlu mendapat perhatian MPR karena menyangkut perilaku, tabiat, kejujuran dan integritas seorang pejabat publik dengan jabatan Wapres, namun hingga saat ini dibiarkan oleh semua lembaga penegak hukum untuk dilakukan proses hukum.

Dalam kondisi di mana MK dan lembaga penegak hukum lainnya tidak lagi merdeka karena berada dalam cengkraman dinasti politik dan nepotisme Presiden Jokowi dan Ketua MK Anwar Usman demi Gibran, maka MPR sebagai satu-satunya lembaga negara dengan kewenangan tertinggi, memiliki wewenang untuk mendiskualifikasi jabatan Wapres Gibran.

Padahal konstitusi dan peraturan perundang-undangan turunannya, secara tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan; Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan; 

Segala campur tangan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang dan jika dilanggar maka dipidana; seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki konflik kepentingan karena terikat hubungan keluarga atau karena memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang ia periksa baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. 

"Namun semua prinsip konstitusi dan prinsip peradilan kita telah dilanggar oleh Hakim MK, oleh Ketua MK Anwar Usman, oleh Presiden Jokowi, oleh DPR RI dan oleh Gibran dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023, maka putusan Hakim MK dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023, dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ungkapnya. 

Implikasinya adalah posisi pencawapresan Gibran menjadi tidak sah dan menjadikanya "berhalangan tetap", karena daya rusak yang ditimbulkannya itu telah merusak bagian hulu dari Konstitusi di mana putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dinyatakan tidak sah oleh kekuatan pasal 17 ayat (6) UU No. 48 Tahun 2009, diabaikan oleh MK dan oleh MPR sendiri, semata-mata karena jaminan dari UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala campur tangan kekuasaan manapun, telah dilanggar dan yang melanggar adalah Presiden Jokowi, DPR RI, Ketua MK Anwar Usman dan oleh Gibran.

Bukti-bukti tentang pelanggaran hukum itu, dapat dibaca dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/2023, jo. Putusan MKMK No : 2. No. 3, No. 4 dan No. 5/MKMK/L/11/2023 tanggal 7/11/2023 dan Putusan DKPP No. : 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023, tanggal 5/2/2024, sehingga harus dipandang sebagai telah menempatkan Gibran Rakabuming Raka pada  posisi "berhalangan tetap", sejak pecalonannya berlangsung hingga dilantik sebagai Wapres. 

Dengan demikian, maka secara konstitusi dan hukum pencawapresan Gibran hingga dilantik pada 20 Oktober 2024, merupakan buah dari konspirasi jahat yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman dan Gibran.

"Oleh karena itu kami para advokat Perekat Nusantara dan TPDI, pada kesempatan ini menyampaikan aspirasi masyarakat yang berisi tuntutan kepada MPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan tertinggi dari lembaga negara lainnya, agar dalam sidang Paripurna MPR RI tanggal 15 Agustus 2025, antara lain mengagendakan pembahasan terhadap aspirasi masyarakat yang berisi tuntutan agar Gibran didiskualifikasi atau dibatalkan dari jabatannya sebagai Wapres," demikian Perekata Nusantara dan TPDI.

Berikut Para Advokat Perekat Nusantara dan TPDI:
Petrus Selestinus
Erick S. Paat
Robert B. Keytimu,
Carrel Ticualu
Achmad Dilapanga
Hasoloan Hutabarat
Jemmy Mokolensang
Ricky D. Moningka
Firman Tendry Masengi
Jahmada Girsang
Posma GP. Siahaan

Topik:

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka Sidang Tahunan MPR Perekat Nusantara TPDI