Hak Jawab soal Peraturan BPOM Tentang Pemasukan Obat dan Bahan Obat Melalui SAS

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Februari 2025 17:14 WIB
Obat yang diduga belum bersertifikat analisis dari otoritas negara asal. Di Indonesia beredar di RSUD (Foto: Dok MI)
Obat yang diduga belum bersertifikat analisis dari otoritas negara asal. Di Indonesia beredar di RSUD (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Redaksi Monitorindonesia.com, menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi kepada Aji Muhawarman selaku Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan RI yang telah secara jernih melihat ketentuan yang diatur dalam UU RI No.40 tahun 1999 tentang Pers mengenai hak jawab, sehingga mengadukan persoalan pemberitaan yang diunggah di media siber Monitorindonesia.com dengan judul berita "Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan: Kemenkes Tidak Menerima Suap atau Gratifikasi dalam Bentuk Apapun".

Demikian halnya terhadap Dewan Pers yang telah dengan gigih mempelajari dan menganalisis berita yang diadukan pengadu sehingga dapat menghasilkan keputusan sebagaimana tertuang dalam surat Dewan Pers Nomor:78/DP/K/II/2025 tertanggal 7 Februari 2025 perihal penyelesaian Pengaduan yang dikirimkan kepada Monitorindonesia.com juga dihargai dan diapresiasi.
  
Bahwa berdasarkan hasil analisa terhadap berita teradu berjudul "Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan: Kemenkes Tidak Menerima Suap atau Gratifikasi dalam Bentuk Apapun edisi 4 Desember 2024, 16.42 yang diadukan pengadu, Dewan Pers berkesimpulan berita teradu tidak memuat hasil laboratorium atau keterangan ahli terkait efek samping yang dikeluhkan pasien, berita teradu yang diadukan memuat beberapa opini.

Atas kesimpulan Dewan Pers tersebut, perlu Redaksi Monitorindonesia.com sampaikan bahwa terkait efek samping yang dikeluhkan pasien seharusnya tidak perlu dibuktikan dengan hasil laboratorium.

Karena faktanya, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan secara tegas mengakui dalam suratnya Nomor:PS.04.01/C/223/2025 tertanggal 4 Februari 2025 kalau efek samping obat-obat tersebut menimbulkan mual/muntah, nafsu makan berkurang, rasa kebas atau kesemutan pada tangan atau kaki, alergi kulit ringan.

Kemudian kalimat pada butir 5 huruf (a) dan (b) yang menurut kesimpulan Dewan Pers memuat beberapa opini, sesungguhnya pernyataan itu adalah pernyataan pasien yang kami terima. Namun harus kami akui ada keteledoran karena di belakang tanda petik kalimat tidak menyebut sumbernya.

Selanjutnya, kalimat pada butir 5 huruf (c), (d) dan (e), sesungguhnya bukan opini tetapi fakta, karena penjelasan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan pada suratnya Nomor:FP.01.01/E/245/2024 tertanggal 02 Desember 2024 menjawab surat konfirmasi monitorindonesia.com Nomor:002/RED-MI/Konf/XI/2024 tertanggal 22 November 2024 tidak mencerminkan kebenaran.

Pasalnya, jawaban Dirjen Farmalkes pada butir 1 tidak sinkron dengan jawaban butir berikutnya. Di mana menurut Dirjen Farmalkes pada jawaban butir 1 "Obat yang beredar di Indonesia harus memiliki izin edar dari BPOM. 

Pada kondisi tertentu di mana terdapat obat yang belum memiliki izin edar namun sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan atau obat yang mengalami kekosongan stok yang berdampak mengganggu kesinambungan pelayanan kesehatan serta obat untuk mendukung program pemerintah dan donasi yang bersumber dari luar negeri dapat dimasukkan melalui mekanisme jalur khusus dan dapat diberikan kepada pasien dengan informed consent"

Sementara pada butir 3 jawaban surat konfirmasi, Dirjen Farmalkes mengatakan, Obat dapat diimpor setelah diterbitkan izin SAS. Setelah masuk ke Indonesia, obat disimpan di instalasi Farmasi Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit untuk proses pengecekan dan label ling, seperti mencantumkan kode SAS dan Label SAS di tempat yang mudah terbaca dengan stempel atau stiker berkualitas baik  
"obat untuk program pemerintah"  selanjutnya didistribusikan sesuai dengan permintaan daerah.

Artinya: pada butir 1 dikatakan boleh diedarkan tanpa ijin edar, tetapi pada butir 3  obat akan disimpan terlebih dahulu diinstalasi Farmasi Dirjen Pencegahan Pengendalian Penyakit untuk proses pengecekan dan label ling.

Kemudian jawaban butir 5 Dirjen Farmalkes mengatakan, Pemasukan obat dan bahan obat melalui SAS wajib mendapat persetujuan dari Kepala BPOM atau Menteri Kesehatan sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Pada butir  6 jawaban Dirjen Farmalkes tersebut kembali ditegaskan, pemasukan obat dan bahan obat melalui SAS wajib mendapat persetujuan dari Kepala BPOM. 

Dengan demikian, dapat diartikan, seharusnya obat-obat tersebut sudah teregistrasi di BPOM, namun faktanya, berdasarkan penelusuran aplikasi  BPOM Mobile yang dikuatkan keterangan petugas BPOM RI, obat-obat tersebut belum teregistrasi.

Kemudian jawaban pada butir 10, Dirjen Farmalkes mengatakan, Dirjen P3K selaku pemohon pemasukan obat melalui jalur SAS bersama BPOM setiap tahun telah melakukan uji samplig dan mutu obat di tingkat Provinsi/Kab/Kota/Fasyankes untuk memonitor mutu obat yang beredar di Indonesia. 

Jika demikian, lalu mengapa obat-obat tersebut belum teregistrasi di BPOM.

Mengenai judul berita sengaja kami pilih karena Dirjen Farmalkes tidak menjawab pertanyaan kami butir 14 yang berbunyi "Apakah Revisi Peraturan BPOM Nomor:30/2022 menjadi Peraturan BPOM No.12 tahun 2024 tentang pemasukan obat melalui jalur khusus tersebut ada tekanan dari pihak lain atau karena bermuatan gratifikasi?

Oleh Dirjen Farmalkes hanya menjawab "Proses revisi tersebut bertujuan untuk mengakomodir ketentuan yang belum tercantum dalam Peraturan BPOM No.30/2022 yaitu pengaturan SAS di KEK". Karena pilihan kalimat apakah bermuatan gratifikasi tidak dijawab, maka kami memilih kalimat yang tertera pada bagian bawah surat Farmalkes.  

Sehingga, pemberitaan yang dikutip dari jawaban surat konfirmasi Dirjen Farmalkes tersebut adalah fakta bukan opini seperti yang tertuang dalam keputusan Dewan Pers Nomor:78/DP/K/II/2025 tertandatangan Dr. Ninik Rahayu selaku Ketua.

Namun demikian, pelaksanaan fungsi Dewan Pers untuk memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan pengadu patutlah kami hormati sebagai wujud ketaatan kami terhadap UU Nomor:40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Pers jika pertimbangan itu masih diambang batas kewajaran.

Maka dengan dimuatnya hak jawab ini, kewajiban kami sebagaimana diatur dalam UU pokok Pers No.40 tersebut telah terpenuhi. (red)

Topik:

Kemenkes BPOM