PT Datascrip Bantah sebagai Vendor Pengadaan Chromebook Kemendikbudristek


Jakarta, MI - PT Datascrip melalui kuasa hukumnya, Tomson Situmeang dan William Andrew Sectionardo membantah sebagai vendor dalam pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) era Nadiem Anwar Makarim yang saat ini diusut penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) ihwal dugaan korupsinya.
Bantahan tersebut juga merupakan hak jawab atas pemberitaan Monitorindonesia.com dengan judul berita: Kejaksaan Agung Lakukan “Lompatan Kuantum” dalam Penanganan Kasus Chromebook"
"Intinya memberitakan hal yang tidak benar, terkait tulisan pada pemberitaan tersebut yang kami kutip sebagai berikut: “BPK menemukan bahwa spesifikasi teknis Chromebook dipatok sangat spesifik, sedemikian rupa hingga hanya satu vendor besar seperti PT Datascrip yang bisa memenuhi. Dalam regulasi pengadaan, hal ini melanggar prinsip persaingan sehat dan bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Tindak Pidana Kourpsi tentang persekongkolan dalam felang”; tulisa hak jawab tersebut.
"Bahwa senyatanya klien kami bukanlah vendor, apalagi menjadi vendor tunggal seperti pemberitaan tersebut di atas, hal ini dikarenakan klien kami sama sekali tidak mengikuti pengadaan barang dan jasa yang dimaksud, apalagi sebagai pihak yang ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan oleh Kemendikbud," lanjutnya.
Bahwa sehubungan dengan Chromebook, ungkapnya, perlu dipertegas bahwa PT Datascrip hanya salah satu distributor Chromebook dari beberapa distributor atas chromebook yang menjual kepada siapapun termasuk vendor-vendor atau perusahaan-perusahaan supplier yang mengikuti pelaksanaan pekerjaan pengadaan oleh Kemendikbud, sehingga dalam hal ini PT Datascrip bukannlah distributor tunggal seperti yang diberitakan;
"Bahwa sehubungan dengan lisensi Chrome Education Upgrade (CEU), Klien kami juga hanya salah satu Google Partner (Distributor / Reseller) dari beberapa Google Partner (Distributor / Reseller) atas lisensi Chrome Education Upgrade (CEU) yang menjual kepada siapapun termasuk vendor-vendor atau perusahaanperusahaan supplier yang mengikuti pelaksanaan pekerjaan pengadaan oleh Kemendikbud, sehingga dalam hal ini klien kami bukannlah distributor/reseller tunggal seperti yang diberitakan," jelasnya.
Selain itu, PT Datascrip yang bergerak di bidang distributor jelas tidak dapat menjual langsung barang/jasa miliknya kepada pengguna akhir atau konsumen akhir dalam hal ini Kemendikbud, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) Permendag Nomor 66 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-Dag/Per/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang, yang mengatur “Distributor hanya dapat mendistribusikan Barang kepada Produsen, Sub Distributor, Grosir, Perkulakan dan/atau Pengecer.
"Sehingga Klien kami hanya melakukan penjualan kepada vendor atau perusahaan-perusahaan supplier, bukan kepada pengguna akhir atau konsumen akhir dalam hal ini Kemendikbud, yang artinya Klien kami tidak memiliki hubungan apapun terkait penjualan kepada Kemendikbud selaku pengguna akhir atau konsumen akhir," ungkapnya.
Sebelumnya Monitorindonesia.com memberitakan analisis Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus. Berikut isinya:
Temuan awal LHP BPK 2021–2023
Empat jejak dosa Chromebook ditemukan dari audit. Dalam audit keuangan negara, ada satu prinsip emas yang selalu dijunjung: setiap rupiah APBN harus memiliki asas manfaat dan dasar hukum yang kuat. Namun, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas proyek pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi justru menunjukkan sebaliknya.
Berikut ini empat dosa utama yang terangkum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2021–2023:
1. Harga tiap batch naik-turun tak jelas. Ada Apa di Balik Fluktuasi?
Harga pembelian per unit Chromebook bervariasi antar batch, tanpa dasar teknis atau justifikasi ekonomi. Padahal, dalam kontrak pengadaan negara, variabel harga harus transparan dan proporsional. Fluktuasi liar ini membuka ruang kecurigaan adanya markup, kolusi, atau bahkan pengaturan tender.
2. Spesifikasi dikunci, hanya vendor tertentu yang bisa masuk.
BPK menemukan bahwa spesifikasi teknis Chromebook dipatok sangat spesifik, sedemikian rupa hingga hanya satu vendor besar seperti PT Datascrip yang bisa memenuhi. Dalam regulasi pengadaan, hal ini melanggar prinsip persaingan sehat dan bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi tentang persekongkolan dalam lelang.
3. 685 ribu unit mangkrak, Chromebook jadi barang mati.
Dari total 2,4 juta unit yang dibeli, lebih dari 685.000 unit (28%) tidak digunakan alias idle. Alasannya: infrastruktur tidak siap, sinyal tak terjangkau, atau SDM tidak dilatih. Ini adalah pemborosan masif uang negara dan membuka ruang pemidanaan berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor karena telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara.
4. Tak pernah dievaluasi lagi sejak gagal uji coba 2019.
Proyek ini sempat gagal dalam uji coba pada 2019 karena dianggap tak cocok dengan kondisi sekolah di daerah. Namun anehnya, tak ada evaluasi ulang sebelum proyek dijalankan secara masif tahun 2020–2022. Ini menabrak prinsip value for money, yang seharusnya menjadi pondasi belanja negara.
Empat temuan ini cukup menjadi landasan hukum kuat bagi Kejaksaan Agung untuk menetapkan siapa pun yang bertanggung jawab dalam pusaran pengadaan Chromebook. Mulai dari pejabat perencana, vendor pelaksana, hingga pihak yang merekayasa kebijakan.
Dan jika benar terbukti bahwa spesifikasi dan vendor diarahkan untuk kepentingan tertentu, maka ini bukan lagi sekadar pengadaan bermasalah, tapi konspirasi sistematis untuk merampok uang pendidikan rakyat.
LHP BPK menjadi pemicu penyidikan, mengungkap pemborosan dan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Strategi “Quantum Leap”, ekspansi bukti dan investigasi
Kejagung bergerak dari bukti audit internal ke penyidikan strategis yang mencakup:
1. Penyidik global dengan cara pemeriksaan ex-CEO Gojek (Andre Soelistyo), pemegang saham Gojek, karyawan Google, ini yang paling banyak melibatkan eksekutif perusahaan raksasa.
2. Analisis kronologis yakni investasi Google ke Gojek (US$300 juta, 2018–2020) lalu ke kebijakan Chromebook (2020) sampai penunjukan Datascrip sebagai vendor eksklusif.
3. Pengamanan alat bukti dengan menyita kontrak Google–Datascrip, nota kesepahaman Youtube‑Google–Kemendikbud, email internal, chat grup WhatsApp “Mas Menteri Core Team”, dan dokumen keuangan Google–Gojek.
Ini sangat vantastis, tujuannya tentu untuk membuktikan quid pro quo, yaitu investasi korporasi sebagai imbal balik bagi kebijakan yang menguntungkan.
Peran Nadiem Makarim
Kejagung secara resmi mengungkap peran aktif Nadiem Makarim dalam:
- Instruksi pada anak buah untuk gunakan Chrome OS dalam TIK 2020–2022.
- Grup WhatsApp “Mas Menteri Core Team” yang dibentuk Agustus 2019 disertai rapat Zoom dan pengarahan pada Desember 2019 dan Mei 2020.
- Pertemuan langsung dengan Google (Feb–Apr 2020) membahas co‑investment 30% Google untuk proyek TIK, diinstruksikan oleh NAM melalui Jurist Tan.
Kejagung menetapkan 4 tersangka, dan kerugian negara terukur hingga Rp1,98 triliun.
Empat pilar hukum untuk tumbangkan skandal Chromebook
Setidaknya ada empat fondasi hukum utama yang kini sedang disorot oleh para penyidik untuk menyeret para pihak yang terlibat:
1. Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor. Pasal ini digunakan untuk menjerat siapa saja yang menyalahgunakan kewenangan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam kasus Chromebook, indikasi kuat menunjuk pada tindakan kebijakan yang “mengunci” vendor tertentu, lalu meloloskan proyek triliunan tanpa evaluasi teknis yang layak. Alhasil, negara merugi dan puluhan ribu sekolah justru tak bisa memanfaatkan barangnya.
2. Pasal 22 UU Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Undang-undang ini mengatur bahwa pengadaan negara harus terbuka, adil, dan kompetitif. Tapi temuan BPK menunjukkan bahwa spesifikasi teknis laptop yang dibuat “terlalu spesifik” justru hanya bisa dipenuhi oleh satu-dua vendor besar seperti PT Datascrip. Artinya, ini bukan lelang sehat, melainkan tender berpagar tinggi yang hanya bisa dilompati oleh pemain tertentu.
3. UU Larangan Pengaruh Tidak Sah. Inilah dimensi yang membuat kasus ini luar biasa. Ada dugaan bahwa investasi Google ke Gojek (perusahaan yang dulu dipimpin Nadiem Makarim) berbalas “pengaruh kebijakan” di Kemendikbudristek. Bukti komunikasi internal, kontrak, dan arahan dalam grup WhatsApp memperkuat dugaan bahwa keputusan soal Chromebook adalah hasil dari kolusi investasi dan jabatan publik.
4. UU Keuangan Negara: Rp1,98 Triliun dihamburkan tanpa kajian. Ketika proyek senilai hampir Rp2 triliun dijalankan tanpa studi kelayakan ulang pasca kegagalan uji coba 2019, maka jelas ini pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam belanja negara. Pemerintah punya kewajiban hukum untuk memastikan setiap rupiah APBN memberikan manfaat nyata. Jika tidak, itu pemborosan, dan pemborosan adalah tindak pidana keuangan negara.
Kombinasi pasal-pasal ini harus menjadi kerangka strategis Kejaksaan Agung dalam mengurai aktor, motif, dan jejaring bisnis-politik di balik Chromebook. IAW menyarankan agar penyidikan diperluas ke sektor investasi teknologi, struktur vendor, hingga pola belanja digital di kementerian lain.
“Kasus Chromebook adalah cermin retak dari kemewahan teknologi yang tidak disertai etika. Rakyat butuh keadilan, bukan hanya gadget.”
Bukti mengintegrasi audit, metadata digital, dan kesaksian global.
Rekomendasi penguatan aksi Kejagung
1. MLA ke Google AS meminta akses email, kesepakatan investasi, chat grup internal.
2. Audit PPATK untuk telusuri aliran dana Google ke Gojek ke pejabat Kemendikbud.
3. Verifikasi teknis independen dengan mengecek kelayakan Chrome OS sesuai skolah penerima (IT dan pendidikan).
4. Analisis global untuk mencari pola yang sama negara lain dengan relasi investasi Google.
5. Publikasi temuan antara langkah-langkah hukum, untuk jaga transparansi dan publik trust.
Kesimpulan “Operation Dismantling” oligarki teknologi
Kejagung kini tidak hanya menangani pengadaan CPU semata, tetapi telah memasuki fase investasi strategis dan policy shaping global.
“Dengan membongkar benang merah antara co-investment Google ke kebijakan digital nasional ke pembelian triliunan anggaran, maka Kejagung bukan hanya menghukum tetapi juga memutus sistem oligarki teknologi yang menyandera kebijakan publik.” (wan)
Topik:
Kejagung Chromebook PT DatascripBerita Terkait

Terima Rp 500 Juta Hasil Barang Bukti yang Ditilap, Jaksa Iwan Ginting Dicopot
8 jam yang lalu

Penerima Dana Korupsi BTS Rp243 M hampir Semua Dipenjara, Dito Ariotedjo Melenggang Bebas Saja Tuh!
20 jam yang lalu

Kejagung Periksa Dirut PT Tera Data Indonesia terkait Kasus Chromebook
30 September 2025 12:29 WIB