Pansus Angket Haji Terkam Siapa?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 16 Juli 2024 2 jam yang lalu
Jamaah Haji Maluku Utara tahun 2022 pada saat tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar (Foto: Dok MI/Rais Dero)
Jamaah Haji Maluku Utara tahun 2022 pada saat tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar (Foto: Dok MI/Rais Dero)

Jakarta, MI - Sejumlah kasus mengemuka ditahun 2024 ini, antara lain yang menonjol tingginya angka keterlambatan penerbangan yang ditangani Garuda Indonesia, bahkan ada yang sampai 28 jam keterlambatannya. 

Di bidang kesehatan, alokasi pengadaan obat dan perbekalan kesehatan mencapai 62,3 Ton dikirim ke Arab Saudi, untuk pelayanan di Makkah 80% dan di Madinah 20% yang ditengarai belum berdasarkan evidence base medicine (riwayat penyakit dan riwayat obat para jamaah, terutama yang sudah memiliki penyakit dan komorbid) selain obat-obatan simptomatik. 

Kepala Pusat Kesehatan Haji, Liliek Marhaendro Susilo mengatakan Pembagian proposi obat-obatan tersebut berdasar perkiraan 40 hari waktu jamaah berada di setiap wilayah. Hal ini menjadi mungkin karena Calon Jamaah Haji hanya diperiksa 1-2 X saja sebelum keberangkatan. Dan pemeriksaan pun dilakukan tidak mendalam.

Hal lain yang juga menonjol isu pembagian kuota haji tahun 2024 sebanyak 241.000 jamaah dengan tambahan 20.000 kuota didalamnya 
untuk regular dan khusus. 

Kementerian Agama dengan menerbitkan regulasi atas tambahan 20.000 menjadi dibagi dua serupa masing-masing 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus. 

Padahal kuota standar 220.000 jamaah dibagi regular 203.320 orang untuk regular (92%) dan sisanya 17.680 untuk haji khusus (8%). Kabar lainnya penipuan haji khusus (Furoda) diberbagai tempat. 

Saat ini Polisi sedang memeriksa kasus penipuan di Barru hingga ke Jakarta, tempat dimana alamat travel yang melakukan penipuan berada. Belum lagi antrian panjang menunggu giliran berangkat haji bagi pendaftar haji Reguler hingga 30-40 tahun.

Ini tidak hanya membawa orang sakit dan cenderung sudah tidak istithoah dalam menjalankan ibadahnya di tanah suci, juga membuat beban biaya pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji jadi meningkat. 

Tidak adanya solusi cerdas hingga saat ini sangat disesalkan. Padahal dulu KPHI sudah memberi banyak solusi, namun selalu dialaskan tidak bisa karena alasan teknis.

Wakil Ketua MUI Anwar Abbas, sangat menyayangkan kemampuan literasi Tim Pengawas DPR yang menuduh rendahnya kinerja Penyelenggaraan ibadah hai tahun 2024. Yang menurut Buya Anwar Abbas melihat penyelenggaraan haji tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.

Harap-harap cemas terhadap Pansus Angket Haji
Belum banyak catatan dalam sejarah tata kelola kenegaraan, urusan ibadah didekati lewat salah satu alat kelengkapan lembaga legislatif, yaitu penggunaan hak angket dengan membentuk panitia khusus (pansus).

Sejumlah pembangunan rumah ibadah yang sering menimbulkan ketegangan, belum pernah diselesaikan lewat hak angket. Demikian juga kasus keagamaan lain.

Anggota Panitia Khusus (Pansus) Angket Pengawasan Haji DPR RI Luluk Nur Hamidah menyampaikan bahwa keberadaan Pansus bertujuan, antara lain untuk mengupayakan penyelenggaraan haji yang lebih baik. “Kita ingin membangun ekosistem haji yang jauh lebih baik, transparan, komprehensif hulu-hilir, ramah lansia dan perempuan, serta memperkuat dimensi lain yang seharusnya juga diperkuat,” kata Luluk, Rabu lalu.

Pansus Angket Haji pun akan mengajukan permohonan kepada pimpinan DPR agar mereka tetap dapat melaksanakan rapat selama masa reses yang dijadwalkan dimulai pada 12 Juli mendatang.  Sementara itu masa kerja DPRRI Periode 2019-2024 segera berakhir. 

Apakah Pansus ini nanti nasibnya sama dengan beberapa Pansus terdahulu yang layu sebelum berkembang?

Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPRRI yang memimpin rapat pembentukan Pansus, mengatakan pula bahwa pembentukan pansus itu beserta komposisi keanggotaannya sudah sesuai dengan tata tertib yang berlaku, dimana Anggota Pansus terdiri dari Fraksi PDI Perjuangan (tujuh orang), Partai Golkar (4), Partai Gerindra (4), Partai NasDem (3), Partai Demokrat (3), PKS (3), PAN (2), dan PPP (1)

Hak Angket DPR adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh DPR yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Panitia angket DPR melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama enam puluh hari sejak dibentuknya panitia angket. Rapat paripurna DPR kemudian mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. 

"Terkesan Pansus ini ambisius dan dipaksakan. Yang dipansus siapa?," tanya Abidinsyah Siregar, mantan Komsioner KPHI (2013-2019) kepada Monitorindonesia.com, Selasa (16/7/2024).

Pansus Angket Haji
Abidinsyah Siregar, Mantan Komsioner KPHI (2013-2019), Sekretaris Jenderal PP IPHI dan Ketua Umum BPP Observasi Kesehatan Indonesia

Menurutnya, yang menjadi dasar dan pintu masuk terjadinya Pansus atas penyelenggaraan haji tidak terpisah dengan sejauh mana fungsi-fungsi dijelaskan dan dibagi sesuai tata kelola pemerintahan yang benar. 

Dalam Penyelenggaraan Haji dan Umroh, tentu jelas siapa sebagai Pembuat Regulasi/ Undang-Undang (DPR dan Pemerintah/Presiden). Selanjutnya Siapa Penyelenggaran/Implementator dari Penyelenggara (dalam hal ini tentu Kementerian Agama dan Kementeraian lainnya yang terkait dalam kordinasi Menteri Agama dibawah supervisi Kemenko PMK).

"Selanjutnya siapa pengawasnya (yang tentu dari masyarakat yang sifatnya merupakan kelembagaan yang independen)," kata Abdinsyah yang juga Sekretaris Jenderal PP IPHI.

Undang-Undang yang mampu merepresentasikan hal di atas dengan tujuan mendorong peningkatan jumlah warga negara untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, sekaligus kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2OO8 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Terkait evaluasi dan pengawasan, UU No.13 Tahun 2008, dilakukan oleh Komisi Pengawas Haji Dan Umroh yang disebut dalam UU sebagai Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) yang terdiri dari 7 orang, 3 mewakili Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan Departemen Perhubungan, selebihnya merupakan Tokoh perwakilan Organisasi Keagamaan seperti NU, Muhammadyah dan Tokoh Masyarakat. 

KPHI dibentuk dan dipilih dengan proses yang sangat selektif, (Presiden atas hasil seleksi Kementerian) diajukan kepada DPR RI dan Komisi VIII DPR RI melakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).

Para calon sendiri-sendiri paparan dan menghadapi banyak pertanyaan. Di akhir setiap Sidang Komisi VIII DPR RI diambil Keputusan apakah calon disetujui atau tidak disetujui. Itu sebabnya proses pemilihan anggota Komisioner KPHI berlangsung hampir 3 tahun dan baru dilantik Presiden di Istana Negara pada Maret 2013. 

Awalnya, KPHI dipimpin Slamet Effendi Yusuf (Ketua/Tokoh NU), Imam Addaruqutni (Wakil/Tokoh Muhammadyah) dan  Kol.TNI-AD (Purn) Samidin Nasir (Sekretaris/PurnaBhakti Dep.Agama RI). 

Pada 2 Desember 2015, Slamet Effendi Yusuf wafat dan sebulan kemudian diputuskan dalam Rapat KPHI, digantikan Kol.TNI-AD (Purn) Samidin Nasir sebagai Ketua dengan Sekretaris pengganti Agus Priyanto (Unsur Tokoh Masyarakat).

Dalam Peraturan Presiden No.50 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPHI, yang diterbitkan sebagai turunan UU No.8 Tahun 2013 tersebut, disebutkan posisi KPHI sebagai berikut :

1. KPHI dibentuk untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan pelayanan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.

2. Tugas: melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.

3. Fungsi (Pasal 12 ayat (4) UU No.13/ 2008).

4. KPHI terdiri atas 9 orang anggota yaitu Unsur Masyarakat 6 orang dan Unsur Pemerintah 3 orang. Dipimpin seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

5. Masa kerja anggota KPHI dijabat selama 3 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan.

6. Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan DPR.

7. KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 kali dalam 1 tahun.

8. Dalam melaksanakan tugasnya KPHI dibantu oleh sekretariat. 
 
Menteri Agama Suryadharma Ali saat itu mengharapkan pengawasan independen dapat dilaksanakan dengan baik. Fungsi pengawasan dari KPHI bisa dilakukan mulai dari tahap perencanaan, penggunaan keuangan dan kebijakan perhajian yang dilaksanakan pemerintah. 

Termasuk pula mengkoordinasikan fungsi pengawasan dari lembaga-lembaga yang ada seperti dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), anggota DPR RI, DPD RI, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. 

Hasil pengawasan itu, kata dia, bisa disampaikan kepada Presiden. Tidak tertutup kemungkinan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika memang hal itu diperlukan.

Komisi ini juga menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji serta merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji.

Menteri Agama berharap, kredibilitas penyelenggaraan haji harus terus dipertahankan, transparan tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Kegiatan KPHI 2013-2019
KPHI telah berhasil dibentuk pada Maret 2013 dengan dilantiknya para komisioner KPHI periode 2013-2016 yang terdiri dari Slamet Effendi Yusuf (Ketua), Imam Adduuquthni, Agus Priyanto, Syamsul Ma’arif, M. Thoha, Ahmed Macfud (unsur Depag), Abidinsyah Siregar (Unsur Depkes), Samidin Nasir, dan Lilien Ambarwiyati (Unsur Dephub). 

Sebagian kalangan parlemen menilai pembentukan KPHI mubazir. Alasannya, Kemenag sebagai lembaga pembentuk KPHI, namun sebagai kementerian yang juga diawasi KPHI. Kondisi tersebut membuat pengawasan berpotensi tidak efektif. 

Lembaga yang berkantor di bilangan Kramat, Jakarta Pusat itu telah menghasilkan beberapa rekomendasi untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji kepada pemerintah.

Pada periode tersebut setidaknya ada 9 rekomendasi KPHI yang telah dilaporkan kepada Presiden. 

Pertama, pengawasan dari sisi organisasi, tata kerja, dan  petugas. 

Kedua, pengawasan pelaksanaan pembimbingan ibadah. 

Ketiga, pengawasan dari sisi pelayanan akomodasi.

Keempat, pengawasan dari sisi pelayanan transportasi. 

Kelima, pengawasan dari sisi pelayanan konsumsi. Keenam, pengawasan dari isi pelayanan kesehatan. 

Ketujuh, pengawasan dari aspek perlindungan dan pengamanan jamaah. 

Kedelapan Pengawasan dalam Penyelenggaraan Embarkasi dan Debarkasi,

Sembilan, pengawasan terhadap penyelenggaraan haji khusus dan umrah.

Sejak dilantik Maret 2013, komisioner KPHI baru bisa menemui langsung Presiden pada Juni 2016. Sebagaimana dilansir laman setneg.go.id, dalam kesempatan itu, Ketua KPHI Samidin Nasir, menguraikan beberapa hal penting terkait rekomendasi yakni perlunya reformasi di dalam penyelenggaraan haji yang meliputi aspek kelembagaan, tata kelola keuangan, dan operasional pelayanan.

Pada periode 2013-2019, banyak hal dilakukan oleh KPHI untuk memperbaiki kinerja Penyelenggaraan Haji dan Umroh sejalan dengan tugas dan tanggung jawab sebagaimana disebut Ps.8 ayat 6 UU 13/2008.

Perbaikan meliputi persiapan Embarkasi untuk pemberangkatan juga Debarkasi untuk kesiapan Kedatangan pulang Jamaah selepas berhaji. 

Kordinasi Penerbangan melalui Departemen Perhubungan dan Maskapai Penerbangan untuk kepastian jadwal pemberangkatan dari 9 Embarkasi tepat waktu.

Pemondokan di Makkah, Madinah serta di Arafah dan Mina, Fasilitas dan Perbekalan Kesehatan serta penyiapan Rumah Sakit di Makkah dan di Madinah. 

Transportasi bandara ke Makkah dan Madinah serta Transportasi local, Menu makanan dengan selara Indonesia serta Pemeriksaan Katering beserta bahan baku yang harus mengutamakan bahan dari Indonesia, Pengawasan lapangan dan lain-lain. 

Sementara itu dari angket yang diedarkan KPHI kepada Jamaah, 67% minta pemeriksaan Kesehatan dilakukan 1 (satu) tahun penuh, 28% minta 2 tahun dan sisanya 3-4 tahun. Bisa dibayangkan betapa sehat, bugar dan tangguhnya Jamaah Haji Indonesia jika dipersiapkan kesehatannya dengan maksimal. 

Setiap Tahun KPHI melakukan pengawasan Menyusun Buku Laporan, untuk dilaporkan kepada Presiden RI secara langsung dan mengirimkan Dokumen kepada DPR RI dan Komisi VIII DPRRI serta DPD RI, selain kepada Menteri terkait. 

Respons Pemerintah, dalam hal ini Presiden merasa sangat terbantu untuk melihat secara persis kondisi “beyond the service” sehingga banyak hal bisa diperbaiki secara persis tidak Insidental. Yang tidak nyaman justru kawan-kawan di Kementerian-Kementerian penyelenggara Haji yang mereka akui selalu merasa ada masalah, yang mereka akui sebahagian bukan wewenang mereka. 

Tampak Koordinasi internal dan kolaborasi Lintas Kementerian/Lembaga juga masih lemah. Sepanjang tahun 2013-2019 bersama pengawasan KPHI, selain jamaah semakin puas dalam semua aspek fasilitas dan pelayanan. 

Sementara itu Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan dan Maskapai Penerbangan Indonesia mendapat banyak Pujian dari Pemerintah Arab Saudi dan Asosiasi Haji di Indonesia. 

KPHI tak berumur panjang. Melalui UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, KPHI resmi dibubarkan. 

Beleid yang diundangkan 26 April 2019 itu juga mencabut UU 13/2008. Selaras dengan itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No.112 Tahun 2020 tentang Pembubaran Dewan Riset Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura.

Badan Standarisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Badan Pertimbangan Telekomunikasi, Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Olahraga Profesional Indonesia, dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.

Melalui beleid tersebut, intinya pemerintah membubarkan sejumlah lembaga, salah satunya KPHI.

Perpres 112/2020 yang ditetapkan 26 November 2020 itu mengamanatkan setelah KPHI dibubarkan tugas dan fungsi lembaga pengawasan haji tersebut dilaksanakan Kemenag.

Undang-Undang 'Siluman'
Pembahasan Undang-Undang Penyelenggaraan Hajji dan Umroh di awal tahun 2019, terjadi mendadak, cepat dan nyaris tak terdengar pembahasannya. Termasuk dalam draf pasal 119 tertulis KPHI dibubarkan. 

Setidaknya ketika KPHI audiensi kepada pihak relevan, yakni kepada Bapak Zulkifli Hasan (Ketua Umum DPP PAN) dan Bapak Suharso Monoarfa (Ketua Umum DPP PPP). Mereka kaget dan tidak percaya atas adanya pembahasan RUU tersebut, dan akhirnya mereka menemukan bahwa usulan perubahan datang dari Kementerian Agama yang dipimpin Menag H.Lukman Hakim Saifuddin yang katanya tidak nyaman dengan Pengawasan KPHI yang terlalu detail.

Dalam UU terbaru UU No.8 tahun 2019, fungsi pengawasan dilakukan oleh DPR RI dan DPD RI yang diminta melaporkan hasilnya kepada DPR RI

Pansus Hak Angket Mempansus DPR RI dan DPD RI
Nada membahana dari Gedung DPR RI, seakan penyelenggaraan haji sudah sangat buruk, jelek, memuakkan dan harus di Pansus. Tetapi baik buruk penyelenggaraan tugas pemerintahan sangat bergantung pada pengawasan dan evaluasi kerja yang dilakukan lembaga pengawasan yang ditunjuk oleh UU atau Peraturan turunannya.

Dalam UU No.8 tahun 2019, dimana pengawasan yang semula dalam UU terdahulu dilaksanakan oleh KPHI (dibubarkan tanpa alasan). Dan fungsi pengawasan oleh UU ditunjuk dan ditugaskan kepada Kementerian Agama. 

Pasal 3 Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertujuan: 

a. memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi Jemaah Haji dan Jemaah Umrah sehingga dapat menunaikan ibadahnya 
sesuai dengan ketentuan syariat; dan b. mewujudkan kemandirian dan ketahanan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Bagian Keenam Pengawasan dan Evaluasi UU No.8 Tahun 2019 Pasal 99 ayat (1) Menteri mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. 

Ayat (2) Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur tingkat pusat dan/atau daerah terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah. 

Ayat (3) dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah, Menteri dapat membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan, dan penindakan permasalahan penyelenggaraan Ibadah Umrah. 

Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tim koordinasi diatur dengan Peraturan Menteri. 

Pasal 34 : Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan standardisasi organisasi kesehatan dunia yang sesuai dengan prinsip syariat.

Pasal 28 ayat (1) Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) paling banyak 4 (empat persen) dari jumlah kuota petugas. 

Ayat (2) Komposisi kuota pengawas internal dan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi menjadi pengawas internal sebanyak 40 % (empat puluh persen) dan pengawas eksternal sebanyak 60 % (enam puluh persen) dari jumlah kuota pengawas. 

Ayat (3) Komposisi kuota pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dan ditetapkan dalam rapat pembahasan BPIH antara DPR RI dan Pemerintah. 

Pasal 27 ayat (1) Pengawas Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri atas: a. pengawas internal dan b. pengawas eksternal. 

Ayat (2) Pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah. Ayat (3) Pengawas eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh DPR RI, DPD, dan Badan Pemeriksa Keuangan. 

Ayat (4) Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan laporan hasil pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji kepada DPR RI. 

Ayat (5) Biaya pengawas sebagaimana pada ayat (1) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara dalam menimbang UU No.8 Tahun 2019, Presiden RI dengan Rahmat  Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu diganti.

Kini Penyelenggaraan Haji tahun 2024 masuk agenda Pansus Hak Angket DPR RI yang sudah disetujui, yang maknanya ada pelanggaran berat dan melanggar UU di dalamnya. 

Pertanyaannya, mengapa Pansus terjadi saat Fungsi Pengawasan beralih dari KPHI (2013-2019) kepada era 2020-2024 dimana DPR RI, DPD RI dan BPK serta Inspektorat Jenderal di kedepankan  melakukan Pengawasan justru terjadi Penyimpangan Berat dan Pelanggaran Undang-Undang?

"Siapa yang pantas di Pansus? Kita tunggu dagelan ini, mau ditendang kemana," demikian Abidinsyah Siregar. (wan)