Perjuangan Marsinah Melahirkan Pergerakan Buruh

wisnu
wisnu
Diperbarui 8 Mei 2022 17:02 WIB
Jakarta, MI - Tanggal 1 Mei 2022 kemarin merupakan peringatan hari buruh. Ya, karena berbarengan sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah, peringatan hari buruh pun hanya sebagian digelar. Rencananya, sekitar 100 ribu buruh akan menggelar aksi di DPR pada 14 Mei 2022 mendatang. Aksi ini sebagai rangkaian perayaan Hari Buruh atau May Day. Bicara soal Hari Buruh di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sosok Marsinah. Terlebih, saat ini genap 29 tahun meninggalnya Marsinah. Ia merupakan salah satu aktivis buruh yang menjadi salah satu korban di era Orde Baru. Marsinah hilang lantaran diculik oleh sekelompok orang, hingga kemudian mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur pada 8 Mei 1993. Perjuangan Marsinah sebagai buruh wanita masih menggaung hingga saat ini. Perjuangannya pun sampai dibuat lirik lagu oleh Group Band Marzinal. Bait-demi bait yang tertuang dalam lirik itu mengisahkan Marsinah yang merupakan perjuangan buruh kaum perempuan di masa orde baru. Kaum buruh pasti memiliki andil besar dalam perkembangan pembangunan industri dunia, begitu juga halnya di Indonesia. Layaknya yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu negara harus menciptakan masyarakat yang adil dan berkesejahteraan. Tapi, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto telah mengkhianati konstitusi tersebut dengan menelantarkan dan menindas buruhnya. Menurut Soegiri DS dan Edi Cahyono, dalam buku Gerakan Serikat Buruh, Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru (2003), di masa Orde Baru terdapat kesenjangan pengupahan yang menyebabkan seringnya pemogokan kerja. Kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap kaum buruh tampaknya didesain dengan sistematis dan represif dengan dalih kemajuan pembangunan. Bukan hanya upah yang rendah dan jam kerja yang panjang, akan tetapi kebebasan berserikat kaum buruh juga ditiadakan. SPSI adalah satu-satunya serikat buruh yang resmi dan diakui pemerintah pada waktu itu. Selain SPSI, maka serikat buruh tersebut dianggap sebagai serikat buruh ilegal. Padahal dalam UUD 1945 pasal 28, ayat 8 tahun 1985, masyarakat telah dijamin kebebasannya untuk berserikat. Selain menghilangkan kebebasan berserikat, dalam buku Negara dan Ketertindasan Buruh (2001), Abdul Azis menjelaskan, Orde Baru juga menciptakan sebuah konsep bernama Hubungan Industrial Pancasila (HIP) untuk buruh dan perusahaan. Tujuan HIP adalah supaya buruh dan perusahaan dalam menjalankan kegiatannya sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Namun, HIP sebenarnya merupakan upaya manipulasi sistematis yang sengaja dilakukan untuk melemahkan kaum buruh di bawah kuasa pemodal. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang paling menindas kaum buruh adalah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh menteri tenaga kerja di tahun 1986. Pertama, ada Peraturan Menteri (Permen) No. 342/1986 tentang intervensi militer sebagai perantara dalam perselisihan perburuhan. Kedua, Permen No. 1108/1986 tentang keharusan kalau terjadi perselisihan perburuhan supaya diselesaikan terlebih dulu dengan atasan langsung, sebelum lewat perantara seperti lembaga hukum. Ketiga, Permen No. 1109/1986 tentang pembentukan unit kerja (UK) di perusahaan harus melibatkan pengusaha. Terakhir, Permen No. 04/1986 tentang pemberian izin kepada majikan untuk merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4). Lahirnya Pergerakan [caption id="attachment_430387" align="aligncenter" width="300"] Patung Marsinah pahlawan buruh. (Foto: Dok/Ist)[/caption] Dalam catatan, KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250 per hari. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992. Atas hal itulah kemudian mengundang reaksi keras dari kalangan buruh ketika itu. Kebanyakan pengusaha ketika itu malah menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Salah satu perusahaan di mana Marsinah mengadu nasib. Muatan KepMen itu hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Pasalnya, dalam KepMen itu bila buruh tidak masuk kerja karena alasan sakit atau melahirkan, akan berpengaruh kepada tunjangan yang dipotong. Negosiasi antara buruh dengan perusahaan PT CPS mengalami kebuntuan kala itu. Marsinah merupakan salah satu buruh di PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur itu bersama buruh lainnya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen. Tapi demikian, negosiasi parah buruh itu tak sepenuhnya diakomodir oleh perusahaan, yang kemudian para buruh menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang mogok kerja. Seperti diungkap dalam laporan investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bertajuk Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah (1995). Kala itu, pengorganisasian para buruh sebenarnya sudah matang beberapa hari menjelang mogok kerja. Kala itu reputasi SPSI tergolong buruk dan nyaris selalu berseberangan dengan kebutuhan kolektif buruh. Yudo Prakoso selaku koordinator aksi ditangkap dan dibawa ke kantor Koramil 0816/04 Porong. Marsinah kemudian memegang kendali memimpin protes para buruh. Keesokan harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak manajemen PT CPS mau bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh. Di Kodim Sidoarjo, Yudo Prakoso diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja itu. Esoknya, 5 Mei, ternyata ke-12 buruh mendapat surat yang sama. Mereka diminta hadir ke kantor Kodim Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Surat panggilan berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa bernama Abdul Rozak. Ke-tiga belas buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi Intel Kodim Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 12 buruh lain mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. Mendengar hal itu, emosi Marsinah memuncak. Marsinah pun meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS. Sebab dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk poin tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja. Marsinah berani menentang penguasa. Ia tidak takut dengan perusahaannya yang selalu dilindungi militer. Buruh perempuan pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) ini tidak gentar membela hak-hak pekerja yang dirampas oleh pemilik perusahaan. Hadirnya Marsinah pun dianggap menghambat kemajuan dan produksi di perusahaan. Walaupun Marsinah tidak pernah berniat menjatuhkan perusahaan. Ia hanya meminta apa yang seharusnya menjadi hak para buruh. Tetapi demikian, Tanggal 6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, Marsinah yang menentang keras malah tidak terlihat. Pada 7 Mei buruh kembali bekerja. Beberapa rekannya mengira Marsinah pulang kampung ke Nganjuk. Kabar tak sedap pun beredar. Pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Marsinah ditemukan tak bernyawa dengan mengenaskan. Untuk mengetahui peristiwa nahas yang dialami Marsinah, visum pun dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo. Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Proses persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan tidak membuat mereka terbebas dari dakwaan. Mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya, kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan hakim Pengadilan Tinggi Surabaya.  
Berita Terkait