Kasus Gagal Ginjal Akut, Pengamat: Pemimpin Robot Pasti Mekanistis, Jauh dari Nilai Humanis

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 Oktober 2022 14:14 WIB
Jakarta, MI - Polemik kasus meninggalnya sejumlah anak kecil akibat gagal ginjal akut yang diduga disebabkan setelah penggunaan obat sirup tertentu muncul di ruang publik. Menurut Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing, belum ada pihak menyatakan pesan komunikasi secara definitif bahwa pihaknya yang paling bertanggungjawab atas kejadian luar biasa tersebut. "Mengapa? Bisa saja terjadi, ketika kewenangan/peran seolah "berlomba-lomba" untuk memperolehnya karena di sana ada "manisan". Bahkan tidak jarang terjadi tumpang tindih kewenangan atau peran untuk ikut mencicipi "manisan" tersebut," kata Emrus kepada Monitor Indonesia, Minggu (30/10). Namun, lanjut Emrus, bila tiba ada "pahit-an-nya," (masalah pelik), misalnya tidak sedikit anak kecil mendahului untuk selamanya, yang diduga setelah mengkonsumsi obat sirup tertentu. Sebagai Komunikolg Indonesia, Emrus juga menilai bahwa sampai saat ini, belum ada yang "berlomba-lomba" menyampaikan pesan komunikasi ke ruang publik bahwa pihaknya yang paling bertanggungjawab. "Padahal, jelas negara menyediakan  kementerian dan badan yang salah satu fungsinya melakukan pengawasan," sesal Emrus. Emrus melanjutkan, bahwa pemimpin original, sejati dan bernas harus selalu berpihak kepada publik dan tidak boleh berlindung di balik aturan normatif, harus berani membuat trobosan asal untuk keselamatan kemanusiaan. Karena itu,  tegas dia, jika ada aturan atau kebijakan yang dibuat oleh pejabat lain sekalipun itu atasanya, yang kemungkinan kelak bisa berdampak serius atau menimbulkan  tragedi kemanusiaan sebagai konsekuensi implementasi aturan tersebut, seharusnya orang yang bersangkutan wajib baginya secara moral dan etis berjuang agar aturan tersebut  dicabut. "Paling tidak direvisi bagian tertentu. Jika tidak berhasil, sangat tepat orang yang bersangkutan menyatakan mudur dari jabatannya lebih awal sebelum terjadi peristiwa kemanusiaan yang memilukan," bebernya. Sebab, bagi Emrus, jabatan itu amanah, bukan seolah dipertahankan dengan berlindung di balik aturan normatif, termasuk yang dikeluarkan oleh pejabat lain sekalipun itu atasanya. "Jika tidak mundur di tengah tragedi kemanusiaan, pejabat tersebut layak disebut manusia normatif yang berperan mekanistis, persis pola kerja robot," ungkapnya. "Kepadanya sulit diminta tanggung jawab atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Sebab, pemimpin "robot" selalu bekerja berdasarkan stimulus-respon yang jauh dari nilai humanis," imbuhnya. Diketahui, telah dinyatakan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) RI bahwa tren kasus gagal ginjal akut misterius pada anak telah menurun. Oleh karenanya, ia menyebut hal ini tidak perlu dikaitkan dengan status Kejadian Luar Biasa (KLB). "KLB itu dibikin kalau kasus naik. Sekarang kasusnya menurun dengan sangat drastis. Jadi, agak lucu juga kalau kita tetapkan KLB sekarang karena kasusnya sudah hampir tidak ada," kata Budi saat ditemui di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Minggu (30/10). Saat ini, dugaan terkuat penyebab kasus gagal ginjal misterius adalah obat sirup yang tercemar etilon glikol dan dietilen glikol. Sebab, sejak penjualannya diberhentikan, angka laporan gagal ginjal akut pada anak kian sedikit. Bahkan, Menkes menyebut belakangan ini sudah hampir tidak ada laporan masuknya pasien gagal ginjal akut misterius di RSCM. "Penyebabnya kemungkinan besar karena obat karena begitu diberhentikan turunnya lebih 95 persen di RSCM," bebernya. "RSCM yang tadinya bisa masuk 4-5 hari, sudah beberapa hari ini kosong. Kemarin masuk satu tapi sudah lama," imbuhnya. Penurunan ini pun didukung pula dengan kehadiran penawar bernama fomepizole dari berbagai negara, seperti Singapura, dan Australia. Terlebih baru-baru ini, Jepang memberikan 200 dosis fomepizole yang nanti akan disebar ke seluruh rumah sakit di Indonesia. (MI/Aan)