Polemik RUU Penyiaran, Masa Jurnalisme hanya Boleh Kutip Omongan Jubir atau Copy Paste Press Release?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 16 Mei 2024 10:21 WIB
Ilustrasi pers dan jurnalis yang sedang bertugas meliput kegiatan di lapangan (Foto: MI Repro Freepik)
Ilustrasi pers dan jurnalis yang sedang bertugas meliput kegiatan di lapangan (Foto: MI Repro Freepik)

Jakarta, MI - Rancangan revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran mendapat kritik tajam dari masyarakat. Revisi yang awalnya diharapkan akan menciptakan keadilan bagi industri penyiaran di era kemunculan media-media digital baru, kini justru dikhawatirkan akan mengancam kebebasan pers.

Salah satu yang menjadi kontroversi adalah larangan menayangkan konten eksklusif investigasi, yang tercantum dalam Pasal 50B ayat 2.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menyayangkan larangan penyiaran program investigasi karena dianggap dapat menghambat jurnalisme investigasi.

Dia menegaskan bahwa investigasi adalah nyawa dari jurnalisme modern dan membatasi program tersebut adalah pembatasan yang tidak perlu. Sejumlah program jurnalisme investigasi telah membuktikan keberhasilannya dalam memberikan informasi penting kepada masyarakat.

"Masa jurnalisme hanya boleh mengutip omongan jubir atau copy-paste (salin-rekat) press release (siaran pers)? Ketika breaking news (berita sela), live report (laporan langsung), bahkan berita viral bisa diambil alih oleh media sosial, investigasi adalah nyawa dari jurnalisme hari ini," ujar Cak Imin, Kamis (16/5/2024).

Cak Imin juga memahami pentingnya literasi media masyarakat untuk memilah berita yang kredibel di tengah banyaknya hoaks dan misinformasi.

"Revisi Undang-Undang Penyiaran diharapkan mampu melindungi masyarakat dari hoaks dan misinformasi tanpa mengorbankan kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan luas," harapnya.

Cak Imin yang mantan cawapres nomor 1 menegaskan bahwa RUU Penyiaran harus memperhatikan aspirasi masyarakat dan insan media. RUU ini harus bisa mengatasi tantangan jurnalisme di era digital tanpa mengancam kebebasan berekspresi.

Ditegaskannya, bahwa Pers adalah salah satu pilar demokrasi. "Jika kebebasan pers dibatasi, artinya kita juga mengekang demokrasi," tandas Cak Imin.

Dalam draf RUU itu, selain jurnalistik investigasi, ada 10 jenis siaran dan konten yang juga dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan kaidah Standar Isi Siaran (SIS). 

Di antaranya adalah larangan menayangkan konten yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, serta manipulasi negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran atau platform digital.

Di lain pihak, anggota Komisi 1 DPR RI, TB Hasanuddin menegaskan, revisi rancangan undang-undang ini belum 100 persen pasti termasuk soal poin pembatasan karya jurnalistik investigasi. 

TB menilai, komunikasi dan koordinasi nantinya akan dilakukan bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia. Ia juga sepaham bahwa karya jurnalistik seharusnya tidak dinatasi. 

"Belum fix 100 persen, masih akan ada pembahasan dan diskusi-diskusi lebih lanjut." kata anggota Komisi 1 DPR RI, TB Hasanuddin. 

DPR sebagai inisiator RUU Penyiaran mesti membuka ruang komunikasi, agar semua kritik yang muncul atas draf RUU tersebut dapat dicari jalan keluarnya. Pemerintah sebagai mitra pembahasan juga tidak boleh menutup mata, bahwa RUU ini punya potensi membungkam pers. (wan)