Jika Penayangan Investigasi Jurnalistik Dilarang! Maka Matilah Media, Bahagialah Penguasa Mafia dan Perekayasa!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 24 Mei 2024 02:10 WIB
Wartawan tabur bunga di depan gedung DPR Kota Blitar, Jum'at (17/5/2024) (Foto: Dok MI/JK)
Wartawan tabur bunga di depan gedung DPR Kota Blitar, Jum'at (17/5/2024) (Foto: Dok MI/JK)

Jakarta, MI - Sebagai pilar keempat demokrasi, media mempunyai peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi, khususnya yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi watchdog. 

Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan menjadi polemik di masyarakat. 

Hal ini tatkala draft naskah RUU per 24 Maret 2024 yang sedang berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, terkait Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI, secara tersurat memuat ketentuan larangan liputan eksklusif investigasi jurnalistik. 

Rancangan tersebut tentu bermasalah dan patut ditolak karena bukan hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga kabar buruk bagi masa depan gerakan antikorupsi di Indonesia.

Draf RUU Penyiaran berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal. Beberapa pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, yakni larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. 

Kemudian revisi UU Penyiaran juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI dengan Dewan Pers soal sengketa jurnalistik. 

Pasal-pasal yang dinilai bermasalah adalah, Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalnalistik khusus di bidang penyiaran. 

Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

"Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran," bunyi Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran.

Serupa Pasal 8A huruf q, pasal 42 ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Sedangkan berdasarkan UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers. “Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian bunyi Pasal 42 ayat 2 darf Revisi UU Penyiaran.

Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. “Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi," bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c)

Di kala banyak pihak meminta agar "Pasal Karet" dalam UU ITE diubah karena banyak digunakan untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara dengan dalih pencemaran nama baik, draf revisi UU Penyiaran justru memuat aturan serupa. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 50B ayat 2 huruf (k), dilarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. 

“Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme," bunyi beleid tersebut.

Selain Pasal 8A huruf (q) dan pasal 42 ayat 2, Pasal 51 huruf E juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.  “Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 51 huruf E.

RUU Penyiaran ini dinilai benar-benar mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Dalam Pasal 50 B ayat 2 huruf (c), misalnya. Jika dipaksakan tetap lilarang penayangan ekslusif investigasi jurnalistik, maka matilah media dan bahagialah penguasa mafia dan perekayasa? 

Ilustrasi pers dan jurnalis yang sedang bertugas meliput kegiatan di lapangan

Padahal Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan jurnalisme investigasi membantu pengungkapan kasus hukum.

Peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, juga mengatakan bahwa Pasal 56 Ayat 2 huru (c) dalam RUU Penyiaran itu“ambigu dan membingungkan”.

Heychael menilai tampak ada keinginan untuk mencegah produk-produk jurnalistik investigatif tertentu, beberapa contoh yang dilontarkannya antara lain program Bocor Alus dari Tempo atau karya besutan jurnalis dan pembuat film Dandhy Laksono, Dirty Vote, yang mengulas tuduhan kecurangan pemilu.

“Ini kan melawan seluruh prinsip jurnalistik, ya? Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual. Saya khawatir semakin mati ruang publik kita," tutur Heychael.

Sekjen AJI Bayu Wardhana mengatakan bahwa kepercayaan publik terhadap televisi sangat tinggi berdasarkan riset AJI dan pusat studi media dan komunikasi Remotivi. 

Hal ini membuat dampak RUU Penyiaran terhadap kualitas berita yang ditayangkan televisi dan radio dapat dimaknai sebagai pembungkaman pers. Bayu juga mengkritisi pasal-pasal yang memberikan kewenangan penanganan sengketa pers khusus di bidang penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Padahal, menurut Bayu, sudah ada Dewan Pers yang menangani kasus tersebut. Selain itu, mengingat RUU Penyiaran ini merupakan inisiatif dari DPR, Bayu mengatakan maka RUU Penyiaran ini dapat disebut “upaya DPR untuk melemahkan Dewan Pers”.

“Upaya untuk melemahkan Dewan Pers sebenarnya sudah lama terjadi. Seperti ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ada bab soal pers yang menjadi menjadi pasal melemahkan. Syukur saat itu bab pers dihapus dari draf RUU Ciptaker. Upaya itu muncul kembali di RUU Penyiaran ini,” tutur Bayu.

Sementara itu, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Wisnu Prasetya Utomo, mengatakan pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi itu bertentangan dengan UU Pers.

“Ini jelas ancaman terhadap kebebasan pers karena kerja-kerja jurnalistik khususnya investigasi bisa terganggu,” ujar Wisnu yang tengah menempuh pendidikan S3 School of Journalism, Media, and Communication University of Sheffield.

Lebih jauh, Wisnu mengkhawatirkan alur logika RUU Penyiaran yang ingin memperluas definisi penyiaran hingga ke dunia maya.

“Kalau kita mengikuti alur logika RUU Penyiaran atau upaya untuk memperluas definisi penyiaran sampai ke Internet, artinya dia bisa menjangkau media-media online. Jadi menurut saya ini ayat yang agak absurd dan karena itu harus ditolak,” tukasnya.

Wisnu mengkhawatirkan pasal ini juga bisa menyasar konten-konten digital yang user-generated sehingga, pada akhirnya, menghambat kebebasan berekspresi publik.

Masa, masa jurnalisme hanya boleh kutip omongan jubir atau copy paste press pelease? Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menyayangkan larangan penyiaran program investigasi karena dianggap dapat menghambat jurnalisme investigasi.

Dia menegaskan bahwa investigasi adalah nyawa dari jurnalisme modern dan membatasi program tersebut adalah pembatasan yang tidak perlu. 

Sejumlah program jurnalisme investigasi telah membuktikan keberhasilannya dalam memberikan informasi penting kepada masyarakat.

"Masa jurnalisme hanya boleh mengutip omongan jubir atau copy-paste (salin-rekat) press release (siaran pers)? Ketika breaking news (berita sela), live report (laporan langsung), bahkan berita viral bisa diambil alih oleh media sosial, investigasi adalah nyawa dari jurnalisme hari ini," ujar Cak Imin, Kamis (16/5/2024).

Cak Imin juga memahami pentingnya literasi media masyarakat untuk memilah berita yang kredibel di tengah banyaknya hoaks dan misinformasi. "Revisi Undang-Undang Penyiaran diharapkan mampu melindungi masyarakat dari hoaks dan misinformasi tanpa mengorbankan kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan luas," harapnya.

Cak Imin yang mantan cawapres nomor 1 menegaskan bahwa RUU Penyiaran harus memperhatikan aspirasi masyarakat dan insan media. RUU ini harus bisa mengatasi tantangan jurnalisme di era digital tanpa mengancam kebebasan berekspresi.

Ditegaskannya, bahwa Pers adalah salah satu pilar demokrasi. "Jika kebebasan pers dibatasi, artinya kita juga mengekang demokrasi," tandas Cak Imin.

Sementara pakar telematika, Roy Suryo menyebut kalau DPR RI sekarang melemah, lantaran dianggap mendukung dengan upaya legalisasi aturan yang dinilai kontroversial tersebut, yang dapat mengancam kebebasan Pers.

“Saya mengerti, proses perubahan itu pemerintah ya pemerintah, DPR ya DPR, tapi sekarang sering banget semacam RUU Penyiaran ini dari satu pihak, padahal itu inisiasinya dari pihak yang lain,” kata Roy dalam sebuah diskusi.

Pun, Roy turut menyinggung tidak hanya ancaman terhadap pers. Dirinya meyayangkan sikap pemerintah, terutama KPI, yang terlalu mengatur ranah content creator. 

"KPI itu nanti bukan hanya menyoroti pers yang sudah ada, tapi user generatif content (UGC) misalnya orang-orang yang bikin tiktok. Nanti Youtube, Tiktok harus diverifikasi oleh KPI, ini kan pemikiran aneh banget. 190 juta sosmed di Indonesia itu harus menggunakan kontrol dari KPI, jadi nanti ada pasal penghinaan dan pencemaran nama baik," bebernya.

Sementara itu, mantan Menko Polhukam Mahfud MD cukup yakin bahwa ada pihak yang menyelundupkan pasal di RUU tersebut. “Saya cukup yakin itu ada yang menyelundupkan. Pasti masuk lewat perantara. Makaya kita dengarkan nanti bagaimana RUU Penyiaran tersebut,” ujar Mahfud di Sleman pada Rabu (22/5/2024)

RUU Penyiaran bentuk pembungkaman pers!
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumut, Tuti Alawiyah Lubis menegaskan bahwa RUU Penyiaran merupakan wujud pembungkaman terhadap kerja-kerja Jurnalis. 

"Kita sangat menyayangkan RUU Penyiaran yang terbaru sekarang salah satunya tentang jurnalisme investigasi yang kita sangat sayangkan itu keluar dari komisi satu yang membidangi hal itu dan salah satu anggota di sana merupakan mantan-mantan Jurnalis dimana mereka juga pernah bekerja seperti halnya kita," ungkapnya didampingi Ketua AJI Medan, Tison Pane dan Ketua PFI Medan, Risky Cahyadi. 

Dirinya menilai bahwa RUU Penyiaran yang di dalamnya terdapat pembatasan-pembatasan dan aturan yang akan dibuat nantinya akan memengaruhi profesi Jurnalis dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi atau kebutuhan akan mendapatkan informasi.

Sementara itu, Ketua IJTI Blitar, Mohamad Robby Ridwan menegaskan bahwa RUU Penyiaran, sangat bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.  

"Beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran ini berpotensi membungkam pers, jika kebebasan pers yang telah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 merupakan suatu kemutlakan yang tidak bisa diganggu gugat,” katanya.

Seniman Wanggi Hoed mementaskan seni pantomim hari kebebasan pers sedunia atau World Press Freedom Day saat penyelenggaraan Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2024 di Bandung Creative Hub, Bandung, Jawa Barat, Jumat (03/05).
Dalam Pasal 8A huruf (q) yang menyebut bahwa KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.  "Ini terjadi tumpang tindih dengan UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers," jelas Robby.

Sementara Pasal 42 ayat 2 dalam revisi UU Penyiaran juga mendapatkan sorotan tajam karena menyebut bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI.

"Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian bunyi pasal tersebut.

Hal ini bertentangan dengan UU Pers yang menetapkan bahwa sengketa jurnalistik seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers. Poin lainnya yang ditolak adalah Pasal 50B ayat 2 huruf (c) yang melarang penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. "Pasal ini sangat aneh dan bertentangan dengan prinsip jurnalisme yang bebas dan bertanggung jawab," kata Robby.

Pasal 50B ayat 2 huruf (k) juga dikecam karena memuat aturan larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, mirip dengan "Pasal Karet" dalam UU ITE yang banyak digunakan untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara dengan dalih pencemaran nama baik.

Selain itu, Pasal 51 huruf E mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan melalui pengadilan, yang juga bertentangan dengan UU Pers. 

"Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi pasal tersebut.

Jika kebebasan pers tetap akan dilucuti, peran jurnalis mengungkap informasi yang penting bagi publik bakal tertutup. RUU ini malah membuat mundur kualitas jurnalisme di Indonesia. 

Semangat terbitnya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers patut dijadikan acuan karena menjamin kebebasan pers secara baik seperti menghapus penyensoran dan pembredelan. RUU Penyiaran yang saat ini berproses di DPR layak ditolak.

Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati, Prof Asep Saeful Muhtadi, mengatakan pers punya peran strategis tak sekedar memberikan informasi dan hiburan atau pendidikan, tapi juga pengawasan. Memang pers bukan lembaga negara seperti DPR yang secara tegas memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan.

Tapi fungsi pengawasan yang dilakukan lembaga negara seperti DPR tak selalu efektif. Bahkan kesan yang muncul sekarang antara DPR dan pemerintah saling bersekutu untuk menghasilkan UU yang merugikan rakyat.

“Revisi UU Penyiaran ini harus dilawan karena akan memberikan dampak negatif bagi kebebasan pers. Kebebasan pers mendorong terwujudnya kedewasaan demokrasi dan berpolitik,” tegasnya.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/pers.webp

Kendati demikian, Anggota Komisi I DPR RI Nurul Arifin menyatakan Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Penyiaran DPR RI memastikan revisi UU Penyiaran tidak membungkam kebebasan pers di Indonesia.

“Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini,” kata Nurul Arifin yang juga sebagai Anggota Panja dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024).

Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran. Hal itu karena RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI dan beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, bukan produk final.  

“RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Menurut dia, terdapat beberapa pokok yang diatur pada RUU Penyiaran, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch-off.

RUU Penyiaran ini adalah perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mana sebetulnya sudah digulirkan sejak tahun 2012.  Namun seiring dengan perkembangan teknologi saat ini memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC). “Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini,” tegasnya. 

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan, draf RUU Penyiaran masih berada di Baleg DPR. Dia menegaskan, seluruh pasal dalam draf RUU tersebut belum dilakukan pembahasan dengan Pemerintah. Meutya berjanji, Komisi I DPR akan membuka ruang se­luas-luasnya terhadap berbagai masukan terkait RUU Penyiaran.

“Komisi I DPR telah dan akan terus membuka ruang bagi berbagai masukan, mendukung diskusi dan diskursus untuk RUU Penyiaran sebagai bahan masukan dalam pembahasan RUU Penyiaran,” kata dia.