Mesin Baru Kemkeu tapi Sopirnya Lama: Akselerasi atau Stagnan?


Jakarta, MI - Kementerian Keuangan (Kemkeu) di era Presiden Prabowo Subianto kini tak lagi sekadar “bendahara negara”. Lewat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 158 tahun 2024, tiga mesin baru dipasang yaitu Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF), Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (DJSPSK), dan Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan (BTIIK).
"Inilah arsitektur yang di atas kertas akan bisa menggeser peran Kemkeu dari hanya sekedar operator kas menjadi arsitek kebijakan fiskal, penjaga stabilitas keuangan yang proaktif, dan gudang intelijen data negara yang menyala 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Non stop!," kata Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Rabu (10/9/2025).
Cetak biru itu berdiri di atas fondasi hukum yang kokoh, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) di pasal 17, 23, dan 23D; Perpres nomor 140 tahun 2024 yang menata kabinet; serta Peraturan Menkeu nomor 124 tahun 2024 yang menjabarkan organisasi dan tata kerja sampai ke eselon bawah.
Semua itu menegaskan satu pesan bahwa kedaulatan fiskal berbasis data, integrasi pengawasan, dan disiplin kebijakan. Sejalan dengan arahan Presiden Prabowo, maka seharusnya dari awal mantan Menkeu Sri Mulyani sesegera mewujudkan langkah itu sebab dimaksudkan untuk akselerasi, bukan hanya sekadar bisnis seperti biasa.
"Awalnya publik menatap satu titik krusial, apakah mesin akselerasi ini betul-betul dikemudikan oleh para arsitek kebijakan atau tetap oleh kultur operator lama? Pertanyaan ini penting, bukan karena selera personal, melainkan karena audit negara selama bertahun-tahun menyalakan alarm yang sama," lanjutnya.
Alarm audit laporan hasil pemeriksaan BPK bicara terang
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara konsisten menemukan kelemahan klasik yang justru menjadi alasan atas kelahiran tiga badan baru ini.
Di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester I tahun 2023 menyoroti pengendalian pemusnahan sisa pita cukai nonaktif yang belum memadai, menciptakan risiko penyalahgunaan. Pada sisi kepabeanan, validasi pemberitahuan pabean impor juga dinilai belum optimal, menimbulkan celah bagi potensi penyalahgunaan prosedur impor.
Di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dokumen resmi LHP mencatat pekerjaan rumah besar pada kualitas data perpajakan, termasuk Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan kebutuhan integrasi lintas sistem. Fakta ini memperkuat alasan lahirnya BTIIK untuk menjadi pusat integrasi dan pembersihan data.
"Pada perencanaan anggaran dan kas negara yang dikelola Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), justru pola penyerapan anggaran menumpuk di akhir tahun kembali disorot berulang kali oleh BPK, indikasi perencanaan yang tidak tajam," katanya.
Sementara itu, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), BPK menyoroti pencatatan aset negara yang tidak akurat, pemanfaatan yang tidak optimal, hingga pemindahtanganan barang milik negara yang rawan merugikan negara.
"Semua catatan itu jelas bahwa seharusnya DJSEF, DJSPSK, dan BTIIK bukan kosmetik, mereka harus menjadi obat struktural! DJSEF harus menulis ulang logika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke horizon jangka menengah. DJSPSK idealnya wajib memimpin pemindaian risiko sistemik di sektor keuangan," bebernya.
BTIIK bertugas mengintegrasikan pulau-pulau data fiskal, dari pajak, bea-cukai, perbendaharaan, hingga aset negara, sekaligus menjalankan intelijen fiskal secara real-time.
Kritik: mesin strategis tapi sopirnya masih operator lama
Sayang sekali justru tiga kursi puncak itu kini justru dipegang oleh figur lama yaitu Febrio Nathan Kacaribu di DJSEF, Masyita Crystallin di DJSPSK, dan Suryo Utomo di BTIIK. Mereka diklaim 'kompeten' di mesin lama, padahal fakta penilain dari LHP BPK terlalu banyak temuan saat mereka berkinerja.
Sesungguhnya DNA yang dibutuhkan saat ini adalah kemampuan arsitek, bukan operator!
"Kekhawatiran publik beralasan kuat sebab audit negara sudah memberi daftar panjang pekerjaan yang tidak boleh lagi diulang. Jika Presiden Prabowo menginginkan akselerasi, maka Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa harus berani menyelaraskan komando puncak ini dengan visi baru," jelasnya.
Solusi: rombak dengan mandat, bukan selera
Maka langkah pertama adalah mengunci model operasional dan metrik kerja. Kemkeu harus mengeluarkan keputusan yang merinci rantai komando DJSEF, DJSPSK, dan BTIIK, standar pengukuran dampak kebijakan (policy impact assessment), serta perjanjian layanan pertukaran data (Service Level Agreement/SLA) antar-otoritas seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Kinerja harus diukur secara transparan. KPI (Key Performance Indicator) triwulanan wajib diumumkan ke publik yakni dari target peningkatan penerimaan bersih berbasis intelijen fiskal, laporan risiko sistemik sektor keuangan, hingga penganggaran berbasis hasil (outcome-based budgeting) pada sektor prioritas," lanjut Iskandar.
Langkah berikutnya adalah fit and proper test berbasis mandat Perpres nomor 158 tahun 2024. Ini bukan soal suka atau tidak suka terhadap individu, tetapi tuntutan terhadap kecocokan peran.
DJSEF perlu dipimpin oleh seorang ekonom strategis dengan pengalaman menyusun strategi fiskal jangka menengah (Medium-Term Fiscal Strategy/MTFS) dan aturan fiskal (fiscal rules).
DJSPSK memerlukan pemimpin dengan pengalaman pengawasan risiko makrofinansial yang memahami sektor perbankan, lembaga keuangan non-bank (Non-Bank Financial Institutions/NBFI), hingga teknologi finansial (financial technology/fintech).
"BTIIK harus dikomandoi oleh pakar IT/data dan intelijen keuangan dengan keahlian dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (Anti Money Laundering/Countering the Financing of Terrorism – AML/CFT), keamanan siber, dan analitik berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI)," jelasnya.
Langkah ketiga adalah merilis white paper APBN 2026–2028, sebuah peta jalan fiskal tiga tahun ke depan yang mengikat pemerintah dan pasar pada satu narasi fiskal tunggal. Pasar tentu akan membaca dokumen ini sebelum percaya pada angka, sementara birokrasi menjadikannya pedoman bergerak.
Saran untuk Presiden dan Menkeu
Semua fondasi hukum sudah ada. Semua alasan perubahan pun tercetak jelas di LHP BPK, yakni mulai dari pengendalian pita cukai nonaktif yang belum memadai, proses validasi impor yang belum optimal, hingga pencatatan aset negara yang tidak akurat. Tiga badan baru lahir sebagai akselerator seperti yang diminta Presiden Prabowo.
"Maka Menkeu Purbaya bukan hanya boleh, melainkan patut menyusun ulang tiga pimpinan puncak ini bila terbukti pola lama pada temuan LHP BPK itu masih terus menghambat tujuan reformasi," tutur Iskandar.
Ini bukan tentang kursi, melainkan kepercayaan publik. Kepercayaan bahwa APBN disusun dengan visi tiga tahun ke depan, bahwa sistem keuangan diawasi sebelum terlambat, dan bahwa data negara digunakan untuk kepentingan negara, bukan tercecer di gudang.
"Jika Menkeu bergerak cepat, Kemenkeu akan menjadi mesin strategi fiskal seperti yang diharapkan Presiden Prabowo. Jika tidak, kita hanya akan punya mesin baru yang mendengung halus tiap pagi, tanpa pernah benar-benar melaju," katanya.
Topik:
KemenkeuBerita Sebelumnya
DPR Minta Usut Kasus Pembunuhan Aktivis Lingkungan di Flores
Berita Selanjutnya
Dirjen Cipta Karya Tinjau Wisma MPR RI Yang Rusak Di Bandung
Berita Terkait

Mahfud MD Harap Menkeu Purbaya Usut Tuntas TPPU Rp 349 T di Kemenkeu
11 Oktober 2025 15:44 WIB

Kemenkeu: Pelaporan SPT 2025 Sudah Pakai Coretax, Wajib Pajak Harus Aktivasi Akun
11 Oktober 2025 15:07 WIB