Sawit Nasional Tercekik: PP 45/2025 Bisa Lumpuhkan Industri

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 3 Oktober 2025 1 jam yang lalu
PP 45/2025 Dinilai jadi Ancaman Masa Depan Industri Sawit Indonesia (Foto: Ist)
PP 45/2025 Dinilai jadi Ancaman Masa Depan Industri Sawit Indonesia (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 pada 19 September 2025, tentang perubahan atas PP No. 24 Tahun 2021 terkait tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang kehutanan.

Regulasi ini diharapkan menjadi jalan keluar bagi jutaan hektare perkebunan sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan tanpa izin. Melalui mekanisme denda, usaha yang sudah berjalan diharapkan bisa memperoleh kepastian hukum.

Namun, harapan itu tampaknya belum terwujud. Alih-alih menghadirkan kepastian, aturan baru ini justru memicu babak baru ketidakpastian yang berpotensi mengancam keberlangsungan industri sawit nasional. 

Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM), Muhamad Zainal Arifin, menyampaikan bahwa masalah legalitas lahan sawit ibarat bom waktu yang diwariskan sejak era deregulasi 1990-an. Saat itu, izin lokasi dan HGU kerap tumpang tindih dengan kawasan hutan yang belum selesai proses pengukuhannya.

"Seharusnya PP 45/2025 menata masalah ini secara adil. Tapi yang ditempuh justru jalan pintas yang mengorbankan kepastian usaha dan hak agraria," kata Zainal dalam keterangannya, Minggu (28/9/2025).

Pergeseran Filosofi Hukum

Menurut Zainal, pergeseran paling mendasar tampak dari filosofi hukum yang dianut. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menekankan penyelesaian keterlanjuran lahan dengan denda administratif, bukan pidana.

Prinsipnya: ultimum remedium. Namun Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 35A PP 45/2025 justru memperkenalkan mekanisme "penguasaan kembali". Setelah denda dibayar, lahan tidak otomatis dilegalkan, melainkan diambil alih negara dan diserahkan kepada BUMN.

"Ini jelas bertolak belakang dengan semangat UU Cipta Kerja," katanya.

Masalah lain muncul pada mekanisme perhitungan denda. UU Cipta Kerja mengamanatkan tarif dihitung berdasarkan persentase keuntungan, sehingga lebih proporsional. Namun, PP 45/2025 menetapkan tarif tetap Rp25 juta per hektare per tahun.

Akibatnya, nilai denda melonjak drastis. Dalam beberapa kasus, denda yang semula sekitar Rp500 miliar menurut UU bisa membengkak menjadi Rp2,5 triliun di bawah PP baru. "Perubahan ini bukan saja menghapus keadilan, tetapi juga menimbulkan disparitas ekstrem," ungkap Zainal.

Masalah kian rumit ketika Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menggunakan data izin lokasi sebagai dasar perhitungan luas, bukan data kebun riil. Ada kasus perusahaan yang baru menanam tiga hektare, tetapi dipaksa membayar denda atas lahan 8.700 hektare.

Kritik juga muncul pada aspek kelembagaan. UU Kehutanan dan UU Pencegahan Perusakan Hutan menegaskan bahwa otoritas utama berada di tangan Menteri Kehutanan. Namun PP 45/2025 justru memperkuat posisi Satgas PKH yang bersifat ad hoc.

"Satgas kini punya kewenangan verifikasi, rekomendasi, hingga eksekusi penguasaan kembali. Padahal lembaga ini tidak dikenal dalam UU. Praktis, ia menjelma pemerintahan bayangan," ujar Zainal.

Sawit Terancam Krisis karena Aturan Baru

Dampak paling berat dari aturan ini menyasar hak atas tanah. UUPA menegaskan bahwa HGU hanya bisa dicabut untuk kepentingan umum disertai ganti rugi.

Namun, melalui mekanisme penguasaan kembali, HGU dapat hilang semata-mata karena dianggap berada di kawasan hutan tahap penunjukan. Kondisi ini membuat lembaga keuangan enggan menyalurkan kredit ke sektor sawit, karena status hukum lahan bisa berubah sewaktu-waktu.

Kemudian, risiko lain yang muncul adalah gelombang gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara hampir pasti meningkat. Sengketa agraria di lapangan pun dikhawatirkan makin panas. 

Dari sisi ekonomi, ancaman krisis pasokan CPO tidak bisa diabaikan. Jika lahan produktif beralih ke BUMN yang belum tentu efisien, produksi sawit Indonesia bisa terpukul. Padahal, lebih dari separuh minyak sawit dunia bersertifikat RSPO berasal dari Indonesia.

Hingga September 2025, Satgas PKH mengklaim telah menguasai kembali 3,3 juta hektare lahan. Jika denda dihitung Rp250 juta per hektare, total kewajiban perusahaan bisa mencapai Rp831 triliun. Beban ini diperkirakan akan melumpuhkan industri sawit dan berdampak pada 16,5 juta pekerja yang bergantung pada sektor ini.

Alih-alih menjadi alat penertiban, PP 45/2025 justru dipersepsikan sebagai instrumen pengambilalihan terselubung. Regulasi ini mengubah filosofi denda dari mekanisme legalisasi menjadi nasionalisasi, memberlakukan tarif flat yang membebani, memperkuat Satgas ad hoc, serta melemahkan asas kepastian hukum.

"Jika tidak segera dikoreksi, PP 45/2025 bisa menjadi titik awal krisis besar sawit Indonesia-krisis legalitas, finansial, dan sosial," kata Zainal.

Di tengah tekanan internasional terkait isu lingkungan dan potensi boikot, industri sawit Indonesia kini justru terhimpit oleh dalam negeri yang kontradiktif. Gambaran suram nasib sawit nasional pun kian nyata.

Topik:

sawit perkebunan-sawit regulasi