Soroti Vonis Terdakwa Penggelapan BPHTB Rp 29 M, LBH Ampera: Bapenda Kota Bekasi Harus Jemput Bola, Jangan Hanya Berharap Dana Entertainment!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Maret 2023 02:30 WIB
Kota Bekasi, MI - Sekitar Rp 29 miliar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas transaksi ratusan unit rumah/ruko milik pengembang PT. Cipta Sedayu Indah (CSI) di KC. Bekasi Selatan, Kota Bekasi, digelapkan notaris dan karyawan perusahaan. Dana yang disetor ratusan konsumen (pembeli) unit rumah/ruko Grand Galaxi City sekitar Rp. 29 miliar ke rekening Notaris yang ditunjuk perusahaan PT CSI oleh Notaris Rita Sari Dewi Latanna, bersama-sama dengan Mantri Aditeia, dan Laksana Setiawan Sitompul tidak disetor ke kas negara. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut, ketiganya diajukan kemeja hijau oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Bekasi. Oleh JPU, ketiga terdakwa dijerat dengan pasal 374 KUH Pidana, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Jo Pasal 64 ayat (1) Ke-1 KUHP, dan oleh majelis hakim PN Bekasi dalam putusannya mengatakan, ketiga terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan penggelapan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan perkara tersebut secara split, yakni, perkara Nomor:472/Pid. B/2021/PN. Bks atas nama Mantri Aditeia, Nomor: 473/Pid. B/2021/PN. Bks atas nama Laksana Setiawan Sitompul, dan Nomor:474/Pid.B/2021/PN.Bks, atas nama Notaris, Rita Sari Dewi Latanna. Isi putusan_474_pid.b_2021_pn_bks Majelis hakim yang diketuai Syofia Marlianti Tambunan, dibantu hakim Anggota, Ambo Masse, dan Martha Maitimu, menghukum Mantri Aditeia yang mendapat bagian Rp 3,5 miliar, 1 tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) 1 tahun dan 6 bulan penjara. Terdakwa Laksana Setiawan Sitompul yang mendapat bagian Rp 6,899 miliar, divonis 6 bulan penjara, lebih ringan dari tuntutan JPU selama 1 tahun penjara. Terdakwa Notaris Rita Sari Dewi Latanna yang kebagian Rp 17 miliar, divonis 2 tahun 3 bulan penjara, lebih ringan dari tuntutan JPU selama 3 tahun penjara. Anehnya, majelis hakim sependapat dengan tuntutan JPU yang menyebut perbuatan ketiga terdakwa menimbulkan kerugian terhadap perusahaan PT CSI, padahal dana yang digelapkan itu adalah BPHTB konsumen yang seharusnya disetor ke kas negara. Aset para terdakwa yang diserahkan ke perusahaan juga menjadi pertimbangan meringan oleh majelis hakim. Namun dalam putusan tersebut, tidak jelas diuraikan sejauh mana perusahaan mempertanggungjawabkan BPHTB itu. Terhadap vonis tersebut, Ketua LBH Ampera yang juga akademisi Universitas Mpu Tantular Jakarta, Ferdinand Montororing mengatakan putusan itu diluar nalar akal sehat. “Yang kebagian Rp.6,899 miliar hanya dihukum 6 bulan penjara, yang menggelapkan Rp.3,5 miliar dihukum 1 tahun penjara, dan yang menggelapkan Rp 17 miliar dihukum 2 tahun 3 bulan, padahal dikatakan dalam putusan secara bersama-sama, tetapi hukumannya jomplang,” tukas Ferdinan. Ferdinan pun mengaku merasa heran dalam putusan disebut pihak peruhahaan yang dirugikan. Dia seolah tak yakin terhadap berita tersebut. “Sudah jelas yang digelapkan BPHTB konsumen atau pembeli Rumah/Ruko yang seharusnya disetor ke kas Negara, mengapa jadi perusahaan yang rugi,” kata Ferdinan. Ferdinan Montororing mengaku tidak paham dan mengerti alur pikiran Jaksa ketika penggelapan uang konsumen untuk BPHTB tersebut dikatakan kerugian Perusahaan. “Dana tersebut disetor konsumen untuk BPHTB melalui notaris perusahaan. Logikanya tidak nyambung ketika itu menjadi kerugian Perusahaan. Ilmu logika itu bagian dari filsafat ilmu, jadi perlu alur filsafatnya,” katanya. [caption id="attachment_533400" align="alignnone" width="693"] Ketua LBH Ampera Ferdinan Montororing[/caption] Terkecuali lanjut Ferdinan, perusahaan sudah membayarkan ke negara, atau setidaknya membuat pernyataan sanggup/bersedia membayar BPHTB itu ke kas negara, baru dapat dikatakan perusahaan rugi atau dirugikan. Sebenarnya begini saja, ujar Ferdinan Montororing, ibarat memasak, bumbunya sudah disiapkan, tinggal bagaimana memasaknya, apakah semua bumbu itu dipakai atau ada yang dikurangi atau ditambah. Kalau jaksa bilang perusahaan rugi, tergantung hakim mau diamini atau tidak. Karena kalau Jaksa menyebut dalam dakwaan/tuntutan, kasus penggelapan BPHTB yang merugikan konsumen ini menjadi kerugian pihak perusahaan, berarti perusahaan yang bertanggungjawab. “Disinilah peran hakim,” ujar Ferdinan. Ikuti saja terus perkembangannya, kata Ferdinan, apakah BPHTB yang digelapkan itu dibebankan kepada PT. CSI atau bagaimana. Apakah ada pernyataan sanggup atau bersedia dari perusahaan untuk membayar BPHTB tersebut ke kas negara sehingga perusahaan dianggap rugi. Dengan peristiwa ini, kata Ferdinan lebih lanjut, alasan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bekasi yang menyebut, sesuai UU No.28 tahun 2018 tentang perpajakan, sifatnya Self Assessment (Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terhutang), harus dikesampingkan. Mengapa demikian ujar Ferdinan, karena diketahui telah terjadi tindak pidana penggelapan pajak. Maka instansi terkait, dalam hal ini Bapenda Kota Bekasi harus mampu jemput bola, bagaimana pun caranya. "Dengan menggunakan jasa pengacara negara bila perlu harus dilakukan. Bapenda tidak boleh pasif, harus jemput bola. Jangan hanya berharap dana entertainment seperti kesaksian Laksana Setiawan Sitompul di persidangan," tandas Ferdinan. (M Aritonang) #Penggelapan BPHTB