Transparansi Terkubur di Balik Baliho Anti Suap


Sofifi, MI — Sorotan publik terhadap proyek rehabilitasi rumah jabatan Gubernur Maluku Utara kian menguat, terutama setelah Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Maluku Utara, Risman Iriyanto Djafar, memilih bungkam ketika dikonfirmasi media ini soal anggaran jumbo sebesar Rp8 miliar tersebut.
Upaya konfirmasi dilakukan media ini sejak Rabu, 16 April 2025 melalui pesan WhatsApp dengan pertanyaan singkat seputar proyek rehab rumah jabatan gubernur.
Namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ada satu pun respons dari Risman. Sikap bungkam pejabat teknis ini justru menambah tanda tanya publik terhadap transparansi pelaksanaan proyek yang menggunakan dana APBD tersebut.
Menariknya, di tengah minimnya keterbukaan informasi dari pihak Dinas PUPR, sebuah baliho besar terpampang mencolok di halaman kantor dinas tersebut di Sofifi. Dalam baliho itu tertulis klaim moral yang berbunyi: “Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Maluku Utara Berkomitmen Bersama Tolak Suap, Tolak Pungli & Tolak Gratifikasi!”
Pertanyaan pun muncul. Di satu sisi, Dinas PUPR mengumandangkan komitmen antikorupsi lewat papan reklame besar yang menyambut siapa pun yang melintas. Namun di sisi lain, transparansi soal anggaran miliaran rupiah justru ditutup rapat oleh pejabatnya sendiri.
Sebelumnya, Risman sempat membeberkan secara singkat kepada sejumlah wartawan bahwa proyek rehabilitasi rumah jabatan gubernur dianggarkan sebesar Rp8 miliar, rumah jabatan wakil gubernur sebesar Rp2 miliar, dan rehabilitasi kantor gubernur mencapai Rp4 miliar lebih.
“Kediaman gubernur 8 miliar, kalau kediaman Wagub itu 2 miliar, kalau kantor gubernur itu 4 miliar sekian,” ujar Risman dalam pernyataannya kala itu.
Ia juga menyebutkan bahwa proyek rumah jabatan gubernur ditargetkan rampung dalam waktu tiga bulan. “Untuk kediaman gubernur target pekerjaan 3 bulan kerja sesuai dengan bulan perencanaan. Tahapan perencanaan ini sementara berjalan,” jelas Risman.
Namun, keterangan tersebut hingga kini belum ditindaklanjuti dengan penjelasan lebih rinci, terutama soal mekanisme pengadaan, siapa pelaksana proyeknya, serta bagaimana pengawasan internal dilakukan di tengah sorotan publik terhadap penggunaan anggaran daerah.
Minimnya respons dari pihak PUPR, terlebih dari pucuk pimpinannya, memperkuat kesan bahwa proyek ini dijalankan tanpa kontrol yang terbuka. Masyarakat pun patut menuntut kejelasan, apalagi proyek ini dibiayai dari uang rakyat.
Apakah benar semangat “tolak suap dan gratifikasi” hanya sebatas slogan di atas baliho? Atau justru menjadi topeng dari sistem birokrasi yang enggan diawasi?
Transparansi bukan pilihan, tetapi kewajiban. Dan dalam negara yang menganut prinsip keterbukaan informasi publik, diamnya pejabat publik atas pertanyaan yang sah dari pers adalah bentuk pengingkaran terhadap akuntabilitas. (Rais Dero)
Topik:
Maluku Utara