Pemprov Didorong Buat Pergub tentang Proyek Swakelola untuk Hindari Kecurigaan Publik

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 22 Mei 2025 14:12 WIB
Ketua HIPMI Malut, Sofyan Mu Sangaji (Foto: Istimewa)
Ketua HIPMI Malut, Sofyan Mu Sangaji (Foto: Istimewa)

Sofifi, MI – Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Maluku Utara, Sofyan Mu Sangaji, angkat bicara terkait proyek rehabilitasi rumah jabatan Gubernur, Wakil Gubernur, dan kantor Gubernur yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi secara swakelola, dengan nilai anggaran mencapai sekitar Rp15 miliar. Pernyataan itu disampaikan dalam rilis resminya kepada Monitorindonesia.com pada Kamis (22/5).

Menurut Sofyan, kebijakan pemerintah daerah untuk memilih skema swakelola dalam proyek berskala besar seperti ini perlu ditelaah secara lebih transparan dan akuntabel, meskipun secara administratif telah berlandaskan pada regulasi nasional yang sah.

Sofyan menjelaskan bahwa secara normatif, pelaksanaan proyek secara swakelola memang dimungkinkan dalam kerangka pengadaan barang dan jasa pemerintah. 

Ia merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 3 Tahun 2021 yang secara eksplisit mengatur empat tipe swakelola:

1. Tipe I – direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh kementerian/lembaga/perangkat daerah penanggung jawab anggaran.

2. Tipe II – dilaksanakan oleh kementerian/lembaga/perangkat daerah lain.

3. Tipe III – dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan.

4. Tipe IV – dilaksanakan oleh kelompok masyarakat atas usulan masyarakat itu sendiri.

Dalam kasus proyek rehabilitasi rumah jabatan dan kantor gubernur Maluku Utara, menurut Sofyan, yang diterapkan adalah Swakelola Tipe I, yakni seluruh proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dilakukan langsung oleh pemerintah provinsi sebagai pengguna anggaran. Artinya, Pemprov Malut tidak menunjuk pihak ketiga atau kontraktor, tetapi menggunakan tenaga kerja dan perangkat teknis dari instansi mereka sendiri.

“Dari sisi regulasi pusat, swakelola memang dibolehkan, bahkan di beberapa kasus lebih efisien. Namun pelaksanaannya harus disertai dokumen teknis yang rinci dan pelaporan yang terbuka,” ujar Sofyan.

Selain berlandaskan regulasi pengadaan, Sofyan menyebut pelaksanaan proyek juga didasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2008 yang mengatur tentang pedoman pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung. 

Peraturan ini mengklasifikasikan tingkat kerusakan bangunan ke dalam tiga kategori:

• Kerusakan ringan, dengan biaya maksimal 35% dari nilai pembangunan gedung baru.

• Kerusakan sedang, dengan biaya maksimal 45%.

• Kerusakan berat, dengan biaya maksimal 65%.

Menurutnya, untuk proyek rehabilitasi senilai Rp15 miliar, pemerintah wajib menyampaikan secara terbuka klasifikasi kerusakan bangunan yang dijadikan dasar penganggaran. 

Tanpa itu, publik berhak bertanya, apakah proyek tersebut masuk kategori kerusakan ringan, sedang, atau berat?

“Kalau bangunannya hanya butuh pengecatan dan perbaikan minor, lalu biaya sampai belasan miliar, tentu itu jadi tanda tanya. Maka penting untuk menjelaskan detail kondisi teknis bangunan, sebelum dan sesudah perencanaan proyek,” tambah Sofyan.

Ia juga menyinggung Permen PUPR No. 1 Tahun 2023 tentang pedoman pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi, yang menegaskan peran pengawasan aktif dari pemerintah daerah dalam proyek semacam ini. 

Menurutnya, proyek swakelola hanya akan efisien bila mekanisme pengawasan melekat benar-benar berjalan dan tidak bersifat formalitas.

Meski secara normatif dibenarkan, Sofyan mengingatkan bahwa transparansi dan legitimasi swakelola tidak cukup hanya mengacu pada peraturan pusat. 

Ia menyarankan agar Pemprov menyusun regulasi pendukung di tingkat daerah, misalnya dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) atau Instruksi Gubernur yang khusus mengatur mekanisme swakelola di lingkungan Pemprov Malut.

“Langkah ini penting agar prosesnya tidak menimbulkan persepsi negatif, serta membuka ruang kontrol dari DPRD sebagai perwakilan rakyat. Saat ini, pelaksanaan swakelola belum memiliki payung kebijakan yang kuat di tingkat lokal,” tegasnya.

Ia mencontohkan beberapa daerah yang telah lebih dulu menerapkan skema swakelola tipe I secara terbuka dan sistematis, seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di era Anies Baswedan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Provinsi Riau. 

Menurutnya, di daerah-daerah tersebut, regulasi swakelola dibuat lebih rinci dan bisa diakses publik, sehingga pengawasan menjadi lebih mudah.

“Swakelola bisa menjadi solusi efisiensi anggaran, tetapi harus dibarengi dengan pelibatan masyarakat dan lembaga pengawas agar tidak membuka celah penyimpangan,” kata Sofyan.

Lebih jauh, Sofyan mengingatkan bahwa HIPMI Maluku Utara mendukung pembangunan dan penggunaan sumber daya lokal dalam proyek-proyek daerah. 

Namun, ia juga menegaskan bahwa prinsip good governance, yakni akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik, tidak boleh ditinggalkan dalam proses tersebut.

Ia berharap Pemprov Malut dapat menjadikan momen ini sebagai refleksi untuk memperbaiki tata kelola pengadaan, termasuk membangun sistem swakelola yang kredibel, terukur, dan diawasi dengan baik oleh legislatif, inspektorat, hingga masyarakat sipil.

“Jika pelaksanaan swakelola tidak didasarkan pada prinsip tata kelola yang baik, maka justru bisa jadi alat politik anggaran yang rawan disalahgunakan. Maka penting untuk mencegah itu sejak awal dengan memperkuat regulasi lokal dan membuka akses informasi kepada publik,” pungkasnya.

HIPMI Malut, tambahnya, siap berdiskusi dan berkontribusi dalam penyusunan regulasi daerah yang mengatur pelaksanaan swakelola. 

Ia berharap pemerintah tidak alergi terhadap kritik, dan justru memanfaatkan masukan dari berbagai pihak untuk memperbaiki sistem pembangunan daerah yang lebih efektif dan kredibel. (Rais Dero)

Topik:

Pemprov Malut HIPMI Malut Sofyan Mu Sangaji