Maluku Utara Darurat Kecelakaan Kerja


Sofifi, MI - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Malut mencatat lonjakan signifikan angka kecelakaan kerja sepanjang Januari hingga Mei 2025. Dalam kurun lima bulan pertama ini, sebanyak 512 kasus kecelakaan kerja terjadi di wilayah Malut, meningkat tajam dibandingkan tahun 2024 yang mencatat 317 kasus sepanjang tahun.
Kepala Bidang Pengawasan dan Keselamatan Kerja Dinas Nakertrans Malut, Nirwan M. Turuy, mengungkapkan bahwa peningkatan ini menjadi peringatan serius bagi perusahaan dan pekerja untuk lebih disiplin dalam menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
“Di tahun 2024, jumlah kecelakaan kerja di Malut sebanyak 207 kasus yang terjadi di area perusahaan,” jelas Nirwan saat ditemui media di Sofifi, Selasa (5/8).
Selain itu, masih pada tahun 2024, terdapat 110 kasus kecelakaan kerja yang terjadi di luar area perusahaan, namun tetap berkaitan dengan aktivitas kerja, seperti perjalanan pulang-pergi dari tempat kerja.
“Semua kasus itu tercatat berasal dari 59 perusahaan yang beroperasi di Maluku Utara sepanjang tahun lalu,” tambahnya.
Memasuki tahun 2025, tren meningkat drastis. Dari data Dinas Nakertrans, terdapat 512 kasus kecelakaan kerja yang tercatat hingga Mei, hanya dalam lima bulan.
“Angka ini belum termasuk kasus kematian akibat kecelakaan kerja di perusahaan. Untuk kasus kematian, kami belum melakukan pendataan lebih lanjut,” terang Nirwan.
Disebutkan, kasus-kasus ini berasal dari 105 perusahaan pertambangan yang aktif di Malut. Kabupaten Halmahera Tengah tercatat sebagai penyumbang terbanyak kasus kecelakaan kerja, menunjukkan tingkat risiko yang tinggi di daerah tersebut.
Menurut Nirwan, berbagai faktor menjadi penyebab tingginya angka kecelakaan, baik dari aspek teknis, perilaku, maupun lemahnya pengawasan.
“Penyebabnya macam-macam, seperti tidak memakai helm atau Alat Pelindung Diri (APD), mengemudi dalam keadaan mengantuk, kurangnya kewaspadaan di jalan saat pulang kerja, atau melaju melebihi batas kecepatan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perilaku kerja tidak aman (unsafe act) dan kondisi kerja yang tidak aman (unsafe condition) sebagai faktor dominan, ditambah dengan rendahnya pemahaman terhadap penerapan standar K3.
“Pengawasan yang lemah dan kurangnya pemahaman terhadap K3 menjadi faktor dominan. Kadang SOP sudah tersedia, tapi tidak dijalankan di lapangan,” tegasnya.
Dalam penjelasannya, Nirwan menyebut bahwa sebagian besar data yang dicatat oleh Dinas Nakertrans merupakan data yang diklaim ke BPJS Ketenagakerjaan. Namun, masih terdapat perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS, sehingga tidak tercakup dalam data resmi.
“Jika ada kecelakaan kerja tapi tidak terdaftar di BPJS, maka perusahaan dikenai sanksi administratif. Misalnya, jika ada pekerja yang jari tangannya putus saat bekerja, dan perusahaan tidak mendaftarkannya ke BPJS, maka kami tetapkan santunan kematian atau kecelakaan berdasarkan perhitungan internal,” jelasnya.
Ia juga menyatakan bahwa data kecelakaan yang diklaim BPJS tidak mencakup semua korban, terutama mereka yang tak terdaftar atau perusahaan yang abai terhadap kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja.
“Data ini di luar dari yang kemarin mendapatkan santunan. Jadi tidak semua masuk dalam klaim BPJS Ketenagakerjaan,” katanya.
Di sisi lain, Nirwan menegaskan pentingnya penegakan dan pengawasan terhadap penerapan SOP K3 di seluruh perusahaan.
“SOP K3 pada dasarnya sudah tersedia dan hampir semua perusahaan memilikinya. Namun, pelaksanaan di lapangan yang sering jadi masalah. Inilah yang menjadi kendala utama kami,” terang Nirwan.
Untuk itu, ia mengimbau kepada seluruh pekerja dan manajemen perusahaan agar selalu memastikan lingkungan kerja dalam kondisi aman, serta disiplin dalam menjalankan aturan keselamatan kerja.
“Semuanya kembali pada kesadaran masing-masing. Kami terus ingatkan para karyawan dan perusahaan untuk tidak abai terhadap aspek keselamatan kerja,” tutup Nirwan. (Jainal Adaran)
Topik:
Disnakertrans Malut Maluku Utara