Masyarakat jadi Tumbal Ambisi 7 Anggota DPRD Malut

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 5 September 2025 15:22 WIB
Tampak belakang gedung Sekretariat DPRD Malut, tempat Ketua Komisi II Agriari Yulin Mus dkk memggelar rapat pada Kamis 4 September 2025. (Foto: Dok MI/Jainal Andaran)
Tampak belakang gedung Sekretariat DPRD Malut, tempat Ketua Komisi II Agriari Yulin Mus dkk memggelar rapat pada Kamis 4 September 2025. (Foto: Dok MI/Jainal Andaran)

Sofifi, MI - Wajah DPRD Malut kembali tercoreng lantaran rapat Komisi II yang digelar di Kantor DPRD Malut, Sofifi, Kamis (4/9/2025), hanya dihadiri tiga orang anggota. Padahal, rapat itu melibatkan mitra strategis Komisi II, yakni Dinas Koperasi dan UMKM serta Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).

Tiga anggota yang hadir hanyalah Agriati Yulin Mus (Golkar), Iksan Subur (Hanura), dan Maria Silfi Dea Bora Tongo Tongo (Golkar). Sementara tujuh anggota lainnya lebih memilih absen. Sebenarnya, bahkan kedapatan asyik “nongkrong” di salah satu kediaman anggota Komisi II di Ternate sambil menggelar konferensi pers.

Ketidakhadiran mayoritas anggota ini memicu gelombang kritik, apalagi di tengah kondisi rakyat yang sedang gencar menyuarakan protes kepada DPRD. Alih-alih mengurus aspirasi publik, tujuh anggota tersebut justru sibuk berebut kursi Ketua Komisi II.

Tujuh anggota Komisi II DPRD Malut yang seharusnya hadir dan menjalankan tugas pengawasan bersama mitra kerja, justru memilih absen dan mengabaikan tanggung jawabnya. Mereka adalah Wakil Ketua Komisi II Said Banyo, Irfan Soekoenay, Mursid Amalan, Aksandri Kitong, Ali Sangaji, Abdullah Hatari, dan Muhammad Albaar, yang lebih sibuk dengan intrik perebutan kursi Ketua Komisi II ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Perpecahan di tubuh Komisi II jelas memperlihatkan wajah buram DPRD Malut. Bukannya menjadi wakil rakyat yang amanah, mereka malah menjadikan kursi ketua komisi sebagai ajang perebutan kekuasaan internal.

Publik pun mulai menilai bahwa DPRD lebih sibuk melayani ego kelompok daripada bekerja untuk rakyat. Ketidak hadiran tujuh anggota itu bukan sekadar masalah teknis, tapi bukti nyata bagaimana kepentingan pribadi lebih penting daripada tugas konstitusi.

Pada Selasa (2/9), mahasiswa yang melakukan aksi di gerbang utama kantor DPRD Malut bahkan sudah mengingatkan keras lembaga ini agar tidak terus mengkhianati rakyat.

Ketua DPRD Malut, Iqbal Ruray, bersama Gubernur Sherly Tjoanda, saat itu turun langsung menemui massa aksi. Ikbal mencoba meyakinkan pendemo yang terdiri dari mahasiswa Unibrah dan Markas bahwa DPRD masih ada untuk rakyat, meski kenyataan di dalam gedung jelas berbicara lain.

“Saya menyampaikan apresiasi yang luar biasa, ya, kepada adik-adik yang melakukan aksi pada hari ini. DPRD ini adalah bagian dari adik-adik semua. Tanpa adik-adik, kita tidak ada di DPRD,” katanya.

Iqbal menambahkan, DPRD akan mengawal setiap aspirasi terkait pembangunan infrastruktur. Ia bahkan menekankan bahwa suara rakyat soal jalan, jembatan, dan saluran tidak akan diabaikan.

“Jadi, aspirasi yang disampaikan pada hari ini terkait dengan apa yang disampaikan tadi, yaitu program tentang jalan, jembatan, dan saluran, yang telah ditanggapi oleh Ibu Gubernur. DPRD akan menindaklanjuti serta mengawal program-program yang telah disampaikan,” ujarnya.

Meski berusaha menutupi borok internal, Iqbal tak bisa menghindar dari sorotan publik. Apalagi ia sendiri mengakui DPRD Malut bekerja dengan tunjangan terendah dibanding daerah lain.

“Kami, DPRD, di periode ini akan lebih baik. Tunjangan DPRD di Provinsi Maluku Utara paling rendah, karena di sini TKD-nya itu paling rendah. Jadi, kalau orang bisa memperkalikan itu tiga kali, kita di sini hanya satu kali, karena kemampuan keuangan kita rendah. Jadi, sangat rendah. Kalau soal anggaran, kalau disebut, ngoni memang akan menyesal jadi anggota DPRD,” tambah Iqbal.

Meski rapat Komisi II DPRD Malut hanya dihadiri tiga anggota, jalannya forum tetap dipaksakan berlangsung bersama mitra kerja. Kondisi ini sekaligus memperlihatkan betapa absennya tujuh anggota lain tidak serta-merta menghentikan roda pembahasan.

Namun, rapat yang semestinya merepresentasikan suara penuh Komisi II justru terlihat pincang dan kehilangan legitimasi politik. Di tengah sorotan publik, pimpinan rapat tetap mencoba menunjukkan bahwa agenda resmi dewan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Rapat tersebut membahas soal pembahasan APBD Perubahan 2025 serta evaluasi penyerapan anggaran dan pelaksanaan kegiatan di masing-masing OPD mitra, termasuk Dinas Koperasi dan UMKM serta Bapenda yang hadir dalam forum tersebut.

Usai rapat, Ketua Komisi II Agriati Yulin Mus kepada wartawan di kantor DPRD Malut kemarin, Kamis (4/9), ia berdalih rapat tetap berjalan meski hanya dihadiri tiga orang.

“Jadi, untuk Komisi II sendiri tadi kami hadir cuma tiga orang, tapi sudah pulang semua. Karena saya juga belum pulang dan masih di kantor, Alhamdulillah pembahasan dan pertemuan hari ini berjalan dengan lancar dan tidak ada hambatan,” katanya.

Ketika ditanya wartawan mengenai ketidakhadiran sebagian besar anggota Komisi II dalam rapat tersebut, Yulin Mus, tampak berusaha menjaga nama baik Komisi II di tengah sorotan publik. Ia menekankan bahwa rapat bersama mitra tetap berjalan sebagaimana mestinya meski jumlah anggota yang hadir sangat terbatas. Menurutnya, produktivitas rapat tidak boleh bergantung pada banyaknya kehadiran, melainkan pada substansi pembahasan yang telah dilakukan sepanjang forum berlangsung.

Lebih lanjut, Yulin Mus mencoba meyakinkan publik bahwa absennya tujuh anggota tidak akan mengurangi bobot hasil pembahasan. Ia menjelaskan bahwa segala keputusan dan poin-poin penting rapat tetap akan dibagikan kepada anggota lainnya yang tidak hadir. 

Dengan nada menenangkan, ia menolak anggapan bahwa absensi besar-besaran itu menjadi hambatan serius, bahkan menegaskan komisi II tetap mampu menjalankan fungsi pengawasan serta pembahasan bersama mitra dengan baik. Yulin Mus menegaskan bahwa ketidakhadiran anggota lain bukan masalah besar. 

“Dan diskusi dengan mitra juga berjalan dengan baik. Insya Allah ketidakhadiran teman-teman anggota bukan masalah, tapi kan semua hasilnya kita bagikan. Mungkin di kemudian hari, rapat RDP berikutnya mereka bisa hadir,” ujarnya.

Dalam penjelasannya, Yulin Mus berusaha meyakinkan bahwa dinamika internal Komisi II bukanlah hambatan yang berarti. Ia menuturkan bahwa dirinya tetap menjalin komunikasi dengan pihak-pihak terkait untuk memastikan kerja komisi berjalan normal. Bahkan, menurutnya, koordinasi dengan unsur pimpinan tetap dilakukan agar perbedaan sikap dan absensi sebagian besar anggota tidak menimbulkan kesan adanya kebuntuan. 

Yulin Mus menekankan, yang terpenting bagi dirinya adalah memastikan jalannya agenda pembahasan bersama mitra, sembari mengisyaratkan bahwa persoalan internal komisi bisa diselesaikan melalui komunikasi.

“Iya, karena tadi juga saya sudah komunikasi dengan koordinator Komisi II, yang kemudian beberapa waktu lalu ada masalah terhadap Komisi II. Insya Allah semua bisa berjalan dengan baik,” jelasnya.

Dalam situasi rapat yang penuh sorotan karena minimnya kehadiran anggota, Yulin Mus mencoba mengalihkan perhatian dengan menegaskan komitmen Komisi II terhadap prinsip transparansi. Ia memahami bahwa publik menilai absensi besar-besaran anggota bisa memengaruhi kualitas pembahasan, namun ia menolak anggapan tersebut. Menurutnya, sistem kerja yang dibangun di internal komisi memastikan bahwa semua informasi rapat tetap tersampaikan secara merata. Dengan cara itu, absennya anggota bukan berarti hilangnya akses terhadap hasil pembahasan, melainkan hanya sekadar persoalan kehadiran fisik semata.

Lebih jauh, Yulin Mus menekankan bahwa mekanisme distribusi hasil rapat telah berjalan baik melalui jalur resmi. Ia menegaskan setiap pembahasan dengan mitra tidak pernah ditutup-tutupi, sebab seluruh catatan rapat diserahkan kepada pendamping komisi untuk kemudian dibagikan ke masing-masing anggota. Dengan klaim itu, Yulin berusaha memperlihatkan bahwa meski jumlah anggota yang hadir minim, Komisi II tetap menjalankan asas keterbukaan. Baginya, hal yang terpenting adalah bagaimana semua anggota bisa mengetahui dan memahami hasil rapat, sekalipun mereka tidak berada di ruang pertemuan.

“Untuk masalah dengan mitra, Alhamdulillah tidak ada masalah, karena setiap hasil pertemuan selalu kita sharing. Hasilnya diberikan ke pendamping, dan pendamping bisa memberikan hasil semua rapat itu ke anggota masing-masing, jadi tidak ada yang kelewat, dan pembahasannya semua mereka tahu,” tegasnya.

Menyinggung soal kehadiran mitra kerja dalam rapat, Yulin Mus menjelaskan bahwa tidak semua OPD yang diundang dapat hadir secara penuh. Beberapa OPD masih terikat dengan kegiatan lain bersama pemerintah, sehingga hanya sebagian yang sempat mengikuti rapat. Ia menekankan bahwa meski kehadiran terbatas, pembahasan tetap berjalan dan agenda rapat tidak terganggu, sekaligus menunjukkan bahwa koordinasi dengan mitra tetap terjaga meskipun jumlah OPD yang hadir tidak lengkap.

“Tadi yang kami undang ada beberapa OPD, namun masih ada giat juga dengan pemerintah. Kalau yang hadir tadi cuma Bapenda sama Koperasi,” kata Yulin.

Yulin Mus menjelaskan bahwa fokus utama rapat Komisi II bersama mitra kerja adalah membahas pendapatan daerah, terutama terkait optimalisasi program yang bisa meningkatkan kas provinsi. Ia menekankan pentingnya koordinasi dengan Bapenda untuk memastikan setiap kebijakan dan perubahan dalam APBD P 2025 dapat disusun dan dijalankan dengan tepat, sehingga target pendapatan daerah bisa tercapai.

Selain itu, Yulin Mus menekankan bahwa pembahasan tidak hanya sebatas angka dan program, tetapi juga menyentuh kesejahteraan para pegawai dan petugas yang terlibat dalam pelayanan publik. Salah satunya adalah usulan tambahan honor bagi petugas Samsat, yang dianggap perlu ditingkatkan agar kinerja mereka lebih optimal dan pendapatan daerah tetap terjaga.

“Untuk Bapenda sendiri, perubahan sekarang Alhamdulillah semua sebagaimana mestinya. Tentunya ada program-program yang ditambahkan, seperti usulan-usulan honor di Samsat yang lebih ditingkatkan lagi,” ungkapnya.

Bagi Yulin Mus, Samsat memegang peranan penting sebagai sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) Malut. Ia menekankan bahwa optimalisasi kinerja Samsat tidak hanya berdampak pada target pendapatan provinsi, tetapi juga menjadi tolok ukur keberhasilan pengelolaan pajak dan kepatuhan wajib pajak di berbagai sektor.

“Karena kita ketahui bersama bahwa Samsat itu merupakan sumber pendapatan terbesar, dari pajak perusahaan, pajak alat berat, dan sebagainya,” jelasnya.

Diskusi dalam rapat kemudian mengerucut pada langkah-langkah strategis untuk memperkuat pendapatan daerah. Yulin Mus menekankan bahwa setiap perubahan dalam program atau kebijakan harus dicermati secara seksama, termasuk penambahan usulan-usulan baru yang berpotensi meningkatkan penerimaan daerah secara signifikan.

“Untuk pertemuan tadi, kami membahas terkait itu. Setelah perubahan, apa saja yang ditambahkan usulan-usulannya,” kata Yulin.

Dalam upaya meningkatkan kinerja Samsat di seluruh kabupaten/kota, Yulin Mus menekankan perlunya perhatian menyeluruh terhadap sarana dan prasarana, penghargaan berupa honor bagi petugas, serta koordinasi yang solid antara Samsat, kepolisian, dan pihak terkait lain seperti urusan plat nomor. Ia menyebutkan bahwa meski pembahasan di Bapenda tidak terlalu banyak, fokus pada hal-hal mendasar ini sangat penting untuk menjaga optimalisasi pendapatan daerah.

“Seperti yang saya sampaikan barusan tadi, bahwa tentunya Samsat-Samsat di seluruh kabupaten/kota lebih diperhatikan. Baik sarana prasarananya, honornya, terus bagaimana kerja sama antara Samsat, kepolisian, dan terkait plat nomor. Seperti itu saja tadi, kalau di Bapenda tidak terlalu banyak,” tambahnya.

Yulin Mus juga menekankan bahwa realisasi anggaran merupakan indikator penting keberhasilan manajemen keuangan pemerintah provinsi. 

Dia menilai, meski sebagian kegiatan sedang berjalan, capaian saat ini sejauh ini cukup memuaskan dan selaras dengan target yang telah ditetapkan, sehingga memberikan optimisme bagi efektivitas pengelolaan anggaran secara keseluruhan.

“Kalau realisasi anggaran sendiri sejauh ini sudah sekitar 95 persen, sama seperti disampaikan Ibu Gubernur,” ujar Yulin.

Dengan melihat pencapaian yang sudah ada, Yulin Mus optimis bahwa pendapatan daerah ke depan dapat lebih baik. Ia menekankan perlunya koordinasi lanjutan dengan pihak keuangan agar perencanaan triwulan berikutnya berjalan sesuai target, sambil menunggu hasil pembahasan yang sedang berlangsung, sehingga setiap peluang peningkatan PAD tidak terlewatkan.

“Harapnya untuk ke depan lebih baik dari sebelumnya. Soalnya untuk pembahasan selanjutnya di triwulan dua itu sementara dibahas dengan keuangan, jadi belum ada, dan kami lagi menunggu itu,” katanya.

Dia juga menegaskan bahwa rapat bersama pemerintah provinsi sejauh ini berjalan lancar, dan setiap kendala yang muncul sejauh ini dapat diantisipasi dengan baik. 

Yulin Mus menilai bahwa koordinasi yang intensif dengan berbagai pihak akan memastikan target-target yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi tetap bisa tercapai secara optimal.

“Sejauh ini kita rapat bersama dengan pemerintahan, Alhamdulillah. Saya tanya juga ke mereka, ada kendala atau masalah-masalah yang besar terkait target yang ditargetkan oleh pemerintah provinsi? Insya Allah bisa tercapai,” imbuhnya.

Yulin Mus pun menyinggung soal absennya beberapa OPD yang diundang, menekankan bahwa ketidakhadiran mereka bukan berarti pembahasan terganggu. 

Yulin memastikan bahwa jadwal akan diatur ulang agar setiap OPD tetap mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pembahasan dan berkontribusi pada pencapaian target pemerintah provinsi.

“Keuangan sendiri kami sudah mengundang mereka, namun belum sempat hadir karena mereka lagi ada agenda dengan BPK. Jadi, ada beberapa OPD, bukan cuma keuangan, yang belum sempat hadir. Nanti dijadwalkan ulang,” jelasnya.

Meskipun Yulin Mus berusaha menegaskan bahwa rapat Komisi II tetap berjalan lancar dan transparan, upaya klarifikasinya tidak serta-merta meredam ketegangan di internal komisi. Beberapa anggota, khususnya Wakil Ketua Komisi II, menilai bahwa jalannya rapat menimbulkan masalah hukum karena prosedur yang dilalui dinilai tidak sesuai dengan tata tertib internal.

Said Banyo menegaskan bahwa absennya anggota lain bukan hanya persoalan kehadiran, melainkan terkait legitimasi rapat itu sendiri. Menurutnya, rapat yang digelar tanpa tanda tangan resmi Koordinator Komisi II menghadirkan keraguan atas keabsahan keputusan yang diambil, sehingga menimbulkan kontroversi di tubuh komisi.

“Iya, rapat tadi itu bisa dikatakan ilegal, makanya kami tidak mau hadiri karena surat tidak ditandatangani oleh Koordinator Komisi II, namun ditandatangani oleh Ketua DPRD,” katanya.

Ketegangan di internal Komisi II DPRD Malut semakin mencuat ketika Said Banyo, menyoroti dugaan pelanggaran prosedur dalam rapat yang digelar baru-baru ini. Ia menekankan bahwa absennya sebagian besar anggota bukan satu-satunya persoalan, melainkan adanya indikasi tindakan yang melanggar tata tertib internal komisi, yang berpotensi menimbulkan konflik lebih luas.

Menurut Said Banyo, rapat yang dianggap ilegal itu menimbulkan keraguan atas keabsahan keputusan yang diambil, apalagi sebagian besar anggota tidak hadir dan undangan rapat tampaknya tidak ditandatangani secara resmi oleh Koordinator Komisi II. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa setiap hasil rapat bisa dipertanyakan secara hukum dan menimbulkan preseden buruk bagi mekanisme kerja komisi ke depannya.

Lebih serius lagi, Said Banyo menuding adanya dugaan pemalsuan dokumen yang mengatasnamakan Ketua DPRD, yang membuat situasi internal komisi semakin memanas. Said menekankan bahwa tindakan seperti ini harus segera ditindaklanjuti agar tidak merusak kredibilitas lembaga dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja DPRD.

“Setelah kami cek, ternyata infonya Ketua DPRD tidak pernah tanda tangan surat itu. Tapi (diduga) ada oknum yang memerintahkan staf pendamping Komisi II untuk scan tanda tangan Ketua, dan kami menilai keputusan rapat dengan mitra kerja tadi dari 5 undangan OPD yang hadir,” tegasnya.

Said Banyo menyoroti adanya dugaan pelanggaran serius dalam prosedur rapat Komisi II, bahkan menuding adanya pemalsuan tanda tangan yang bisa merusak kredibilitas lembaga. Ia menjelaskan bahwa hasil pemeriksaan internal menunjukkan Ketua DPRD tidak pernah menandatangani surat undangan rapat, dan diduga ada oknum yang memerintahkan staf pendamping untuk memindai tanda tangan Ketua secara ilegal. 

Dugaan ini menimbulkan keraguan atas legitimasi keputusan yang diambil dalam rapat tersebut, terutama karena hanya sebagian kecil OPD yang hadir, sehingga menimbulkan kontroversi di internal komisi.

“Setelah kami cek, ternyata infonya Ketua DPRD tidak pernah tanda tangan surat itu. Tapi (diduga) ada oknum yang memerintahkan staf pendamping Komisi II untuk scan tanda tangan Ketua, dan kami menilai keputusan rapat dengan mitra kerja tadi dari 5 undangan OPD yang hadir,” tegas Said Banyo.


Selain itu, Said Banyo menegaskan bahwa dugaan pemalsuan tanda tangan Ketua DPRD merupakan persoalan serius yang menyangkut integritas lembaga. Said menilai bahwa tindakan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena bisa mencederai kepercayaan publik terhadap DPRD dan merusak tatanan internal komisi. Menurutnya, mekanisme pengawasan internal harus dijalankan dengan tegas untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran prosedur mendapatkan sanksi sesuai aturan yang berlaku.

Dengan nada tegas, dia menambahkan bahwa pihaknya akan mendorong Badan Kehormatan (BK) DPRD untuk menindaklanjuti kasus ini. Ia berharap proses penyelidikan dapat berlangsung transparan dan cepat, sehingga kredibilitas lembaga dapat dipulihkan dan tidak ada ruang bagi tindakan yang melanggar aturan internal komisi.

“Anggota Komisi II, dan kami akan mendorong Badan Kehormatan untuk menyelidiki pemalsuan tanda tangan atas nama Ketua DPRD itu,” katanya.

Saat Monitorindonesia.com mencoba mengonfirmasi dugaan pemalsuan tanda tangan kepada Ketua DPRD, Iqbal Ruray justru memilih mengalihkan tanggung jawab. Ia tampak enggan memberikan klarifikasi secara langsung, sehingga menimbulkan kesan bahwa masalah internal komisi tidak sepenuhnya mendapat perhatian serius dari pimpinan DPRD. Keputusan untuk mengarahkan pertanyaan kepada Wakil Ketua yang juga Koordinator Komisi II menunjukkan adanya upaya untuk memisahkan diri dari kontroversi yang tengah berkembang.

Kebijakan lempar tanggung jawab ini, berpotensi memperburuk citra DPRD di mata publik, khususnya di tengah sorotan luas terkait absensi dan dugaan pelanggaran prosedur rapat. Sikap ini bisa menimbulkan persepsi bahwa pimpinan DPRD kurang responsif terhadap isu transparansi dan legitimasi internal lembaga DPRD.

“Dikoordinasi dengan Ibu Husni Bopeng saja biar lebih jelas, Ade,” katanya singkat lewat pesan singkat WhatsApp.

Ironisnya, Husni Bopeng yang menjabat sebagai Koordinator Komisi II sekaligus Wakil Ketua DPRD Malut justru memilih bungkam di tengah kontroversi serius mengenai absensi anggota dan dugaan pemalsuan tanda tangan. Ketika dikonfirmasi oleh Monitorindonesia.com mengenai masalah ini via pesan WhatsApp, Husni Bopeng enggan memberikan penjelasan apapun. 

Padahal, yang seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawabnya sebagai pejabat yang mengkoordinir jalannya roda organisasi komisi II. Sikap diamnya ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas pimpinan DPRD dalam menangani masalah internal yang dapat berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif. (Jainal Adaran)

Topik:

DPRD Maluku Utara Maluku Utara Pemprov Malut