APH Didesak Usut Temuan BPK soal Belanja Dinas di Sekwan Purwakarta Rp 468 Juta Tak Didukung SPJ

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 September 2025 23:57 WIB
Ketua Komunitas Madani Purwakarta (KMP) Zaenal Abidin (Foto: Istimewa)
Ketua Komunitas Madani Purwakarta (KMP) Zaenal Abidin (Foto: Istimewa)

Purwakarta, MI  — Ketua Komunitas Madani Purwakarta (KMP) Zaenal Abidin, mendesak aparat penegak hukum (APH) agar menindak lanjuti atau mengusut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait belanja perjalanan dinas Rp 468 juta lebih di Sekretariat DPRD (Sekwan) Purwakarta yang tidak didukung Surat Pertanggungjawaban (SPJ).

Dia menegaskan bahwa, APH dalam hal ini Kejaksaan, Polri dan KPK wajib menindaklanjuti temuan BPK itu sebagai bukti awal dugaan tindak pidana korupsi. Menurutnya, audit forensik, penyelidikan, hingga penetapan tersangka harus menjadi langkah lanjut, bukan sekadar catatan administrasi.

Begitu disapa Monitorindonesia.com, Rabu (17/9/2025) malam, Zaenal menyatakan hal mencengangkan adalah adanya pencairan ganda Rp 49,7 juta yang hanya satu kali didukung bukti pertanggungjawaban.  Menurutnya, cukup dana dikembalikan kasus dianggap selesai.

"Pola ini justru berbahaya karena menormalisasi praktik penyimpangan anggaran dan berpotensi menjadi modus sistemik di lembaga pemerintahan," ungkapnya.

Zaenal menjelaskan, pengembalian uang ke kas negara/daerah hanyalah langkah administratif, bukan penghapus dugaan tindak pidana. "UU Tipikor jelas menyatakan, setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan atau menggunakan uang negara tanpa dasar hukum, dapat dipidana meski uang tersebut kemudian dikembalikan," lanjutnya.

Lebih lanjut, Zaenal membeberkan bahaya pola impunitas atas praktik tersebut. Pertama, kata dia, tanpa efek jera — jika pelaku tahu cukup dengan mengembalikan uang, maka pelanggaran akan terus berulang. Kedua, mengaburkan tanggung jawab — siapa yang memerintahkan dan mengendalikan penggunaan dana tanpa SPJ tidak pernah terungkap.

Ketiga, menciptakan impunitas struktural — pola ini bisa menjelma sebagai budaya “Korupsi berjamaah” di pemerintahan daerah.  Dan yang keempat, merusak kepercayaan publik — masyarakat kehilangan keyakinan pada akuntabilitas DPRD dan aparatur pemerintah.

Masyarakat berhak tahu, tambahnya, bahwa uang rakyat untuk siapa? "SPJ bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk pertanggungjawaban pejabat kepada publik. Kami mengajak elemen sipil, akademisi, dan media untuk bersama-sama mengawasi agar kasus ini tidak berhenti di meja pengembalian uang," ungkapnya.

“Kembalikan bukan berarti selesai. Saatnya hukum ditegakkan tanpa pandang bulu," imbuhnya. (Koswara)

Topik:

DPRD Purwakarta Temuan BPK BPK RI Sekwan Purwakarta