Kinerja Pejabat Publik dan Ruang Bagi Reshuffle

No Name

No Name

Diperbarui 13 November 2022 15:53 WIB
Oleh: Dono Prasetyo (Sekjen DPN Seknas Jokowi) ENIGMA (teka-teki) sedang membayangi kantor Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika). Kita melihat bersama ada dua kasus terkait kinerja Kemenkominfo, pertama soal transisi teknologi televisi dari analog ke digital. Dan kedua soal kemungkinan manipulasi dana pembangunan BTS (base transceiver station), yang sudah masuk tahap penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan fungsi kelembagaan, posisi Kemenkominfo beririsan atau saling melengkapi dengan Kemendikbudristek, sebagai lembaga negara yang memiliki tanggung jawab dalam mencerdaskan masyarakat, dan stressing untuk Kemenkominfo adalah penguatan literasi masyarakat. Posisi Kemenkominfo saat ini jauh berbeda dengan Departemen Penerangan di masa lalu, yang bersifat searah (monolog) dalam menyampaikan informasi. Bukan saja karena Kemenkominfo muncul di era digital, tapi yang lebih penting diingat adalah, Kemenkominfo dilahirkan dalam era yang lebih demokratis, baik dalam politik dan keterbukaan informasi. Oleh karenanya kemampuan adaptasi menjadi tantangan tersendiri, termasuk bagaimana integritas para penentu kebijakan di lembaga tersebut. Demokrasi dan integritas (pejabat publik) ibarat dua wajah dari keping logam yang sama, ketika rakyat bisa menyaksikan secara gamblang bagaimana prestasi dan kinerja para pejabat publik. Ketika prestasinya biasa-biasa saja, bahkan “terjun bebas,” rakyat berhak pula menilai. Menyiapkan Generasi 2045 Sejak awal November 2022 kita sudah masuk dalam penyiaran tv digital, sekaligus sebagai akhir dari penyiaran tv analog. Namun proses transisi teknologi kurang mulus, yaitu masih ditemukannya kelangkaan perangkat STB (Set Top Box), yakni perangkat untuk menangkap siaran digital di TV analog. Artinya ada problem dalam sosialiasai dan distribusi STB bagi kelompok rentan. Sudah barang tentu tahapan ini menjadi tanggung jawab Kemenkominfo. Digitalisasi adalah sebuah tuntutan zaman, kita bahkan agak tertinggal dengan negara-negara lain sesama ASEAN. Digitalisasi membawa dampak positif bagi masyarakat dan lembaga penyiaran (swasta dan publik). Masyarakat akan memporeh siaran dengan kualitas digital (lebih jernih dan tajam). Persoalannya ada kesenjangan wawasan dan komitmen dari penentu kebijakan, secara singkat bisa dikatakan, kebijakan yang muncul tidak match dengan era digitalisasi. Satu lagi adalah soal dugaan manipulasi proyek pengadaan BTS 4G yang menyangkut Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI). Kejaksaan Agung (Kejagung) hari-hari ini tengah menyidik, bahkan sempat menggeledah kantor Kementerian Kominfo terkait dugaan korupsi proyek BTS. Kita tunggu saja perkembangan proses hukum kasus BTS ini. Seandainya benar adanya, kita hanya bisa prihatin, artinya Kominfo kurang sensitif sehubungan masifnya perkembangan teknologi digital. Bagi generasi milenial (generasi Y, Z dan alpha) di Tanah Air, transformasi digital merupakan keniscayaan. Transformasi digital adalah proses dan strategi bagaimana menggunakan teknologi digital, dengan kecepatan kinetic, untuk segala aktivitas, utamanya terkait sains dan bisnis. Dengan masuk ke era digital, generasi milenial akan survive di tengah impitan kompetisi bisnis dan iptek di level global. Penentu kebijakan di seluruh lembaga negara, perlu berkolaborasi dan bersinergi guna meyiapkan generasi emas di tahun emas Indonesia (Generasi 2045). Menjadi refleksi kita bersama, sejauh mana kontribusi lembaga-lembaga negara, dalam hal ini kementerian yang relevan, dalam menyiapkan Generasi 2045, ketika di lapangan ditemukan kasus seperti yang mendera Kemenkominfo tersebut. Dalam proses transformasi digital, salah satu tahapan yang penting adalah penguatan ekosistem talenta digital masyarakat. Pemerintah menargetkan pada 2030, Indonesia akan memiliki sembilan juta talenta digital terampil yang siap bersaing di level global. Aspirasi seperti ini, menjadi terdengar ironi, ketika ada lembaga negara, yang justru menjadi kendala dalam akselerasi era digital. Adalah Presiden Joko Widodo sendiri yang menghimbau, agar korporasi besar memberi kesempatan pada generasi milenial dalam mengembangkan kompetensinya. Sesuatu yang tidak bisa ditawar agar tetap aktual dalam perkembangan Revolusi Industri 4.0. Indonesia harus mempersiapkan talenta-talenta digital yang mampu mengisi kebutuhan bisnis dan iptek. Apakah mungkin Indonesia tetap kompetitif dalam persaingan global, bila hanya mengandalkan tenaga terampil konvensional yang kurang memahami literasi digital. Dalam era kekinian, kunci meraih kesuksesan adalah talenta digital, yang siap memimpin negeri ini dan menjadi penentu kebijakan saat Tahun Emas Indonesia (2045). Pada titik ini kita melihat adanya kesenjangan (baca: kebocoran), ketika Kominfo dipimpin generasi lama yang terlihat kurang memahami aspirasi generasi milenial. Kalau aspek teknis masih bisa dipelajari, namun bila tidak memiliki komitmen, itu yang susah. Ruang bagi reshuffle Satu hal yang harus kita pastikan, pemerintahan Jokowi tetap aman sampai tahun 2024, sesuai dengan durasi berdasar konstitusi. Bagi segenap relawan pendukung Jokowi, segala kesulitan atau cobaan yang melanda bangsa, akan dicari solusinya. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah membuka ruang reshuffle kabinet, dengan mengutamakan kompetensi dan integritas calon menteri pengganti. Komitmen relawan justru diuji saat menghadapi kesulitan besar seperti sekarang, utamanya ketika ada turbulensi pada sebuah kementerian. Celakanya, kali ini menimpa pada lembaga yang seharusnya menjadi katalis kecerdasan masyarakat, khususnya generasi milenialBagi relawan Jokowi, mendukung bukan asal mendukung, namun juga ikut menyumbangkan beberapa pemikiran strategis. Para relawan mencermati, jalan Pak Jokowi cukup terjal dalam menjalankan program-programnya, mengingat ada kasus di Kominfo. Sungguh memprihatinkan, kasus tersebut muncul ketika Pak Jokowi sedang butuh diringankan, sehubungan beban beratnya dalam pemulihan ekonomi pascapandemi, termasuk juga mengatasi ancaman krisis pangan dan energi. Pak Jokowi memiliki hak prerogatif sampai tahun 2024, yang berbasis konstitusi, jadi bisa memilih menteri sesuai pertimbangan mana yang terbaik untuk negeri, tidak perlu risau dengan aneka tekanan dari parpol pendukung. Dalam hal figur, Presiden Jokowi bisa memilih dari kalangan profesional, praktisi dan akademisi, yang secara prinsip memiliki pemahaman mumpuni soal teknologi digital. Bagi relawan, jabatan adalah amanah, dan bagaimana akselerasi program bisa berjalan secara terukur, bukan semata-mata menyalurkan aspirasi kekuasaan. Masa jabatan Presiden Jokowi baru akan berakhir pada 20 Oktober 2024. Masih ada waktu bagi Presiden Jokowi meninggalkan legacy-nya, seperti menuntaskan pembangunan infrastrutur, dalam konteks ini infrastruktur pendukung teknologi digital, yang sudah jelas manfaatnya bagi rakyat. Perjalanan sebuah bangsa adalah perjalanan berkesinambungan. Kebebasan sipil yang sudah diraih, kebebasan berpendapat, dan iklim demokrasi yang sudah tercapai harus terus dipertahankan. Dalam era media digital, arus informasi datang dan pergi ibarat banjir bandang, namun rakyat juga bisa menilai, mana informasi yang bermanfaat, dan mana yang hoaks. Oleh karenanya, lembaga yang mengawal era media digital, wajib dipimpin figur yang kompeten dan berintegritas. #Pejabat Publik