Harapan Perlindungan Bagi Pekerja oleh Pemerintahan ke Depan

Timboel Siregar/Koordinator Advokasi BPJS Watch

Timboel Siregar/Koordinator Advokasi BPJS Watch

Diperbarui 3 Mei 2024 10:55 WIB
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch (Foto: Doc. MI)
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch (Foto: Doc. MI)

BURUH menjadi subyek pembangunan yang sangat mendukung perekonomian bangsa Indonesia. Paling tidak ada tiga peran penting buruh dalam perekonomian Indonesia yaitu, pertama, buruh sebagai pelaku produksi barang dan jasa. 

Dengan skill dan pengetahuan yang dimiliki buruh dan berkolaborasi dengan manajemen, maka proses produksi barang dan jasa secara umum dapat berjalan. Proses produksi tersebut terdiri dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan produksi, penjualan, evaluasi dan inovasi. 

Dengan proses produksi barang dan jasa ini, maka tercipta nilai tambah bagi Perusahaan (berupa keuntungan), buruh (berupa upah), pemerintah (berupa pajak dan pendapatan non pajak), dan Masyarakat (yaitu terpenuhinya kebutuhan Masyarakat). Nilai tambah ini sangat berkontribusi pada perekonomian nasional Indonesia.

Kedua, buruh dan keluarganya sebagai konsumen yang mengkonsumi barang dan jasa sehingga terjadi pergerakan barang dan jasa di pasar yang akan memberika nilai tambah bagi Perusahaan (berupa keuntungan), buruh (berupa upah), dan pemerintah (berupa pajak dan pendapatan non pajak). Nilai tambah ini sangat berkontribusi pada perekonomian nasional Indonesia.

Ketiga, buruh sebagai penabung yang menyimpan danannya di perbankan dan jaminan sosial sehingga dana-dana tersebut sangat berkontribusi pada perekonomian Indonesia. Dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan yang nota bene adalah dana pekerja yang dikelola BPJS Ketenagakerjaaan yang sudah mencapai Rp. 724 Triliun diinvestasikan di beberapa instrument yang sangat mendukung perekonomian Indonesia. 

Penempatan dana kelolaan di Obligasi Negara seperti Surat Berharga Negara atau SBN (sekitar 72,4 persen dari total dana kelolaan) sangat mendukung APBN untuk membiayai Pembangunan Indonesia, demikian juga alokasi di instrument saham (9,56 persen) dan reksada (5,69 persen) mendukung pasar modal, serta deposito (11,9 persen), property (0,3 persen) dan penyetaan  (0,06 persen) yang juga mendukung perekonomian Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 139,85 juta orang atau 94,68 persen dari total sebanyak 147,71 juta orang Angkatan Kerja (AK) di Indonesia yang bekerja (telah terserap ke dalam pasar kerja) per Agustus 2023.

Dari 139,89 juta orang yang bekerja tersebut, yang tercatat sebagai pekerja penerima upah (karyawan / pegawai/ buruh) sebanyak 37,68 persen atau sekitar 52,71 juta orang, yang terdiri pekerja swasta/BUMN/D sebanyak 47,22 juta, ASN 4.465.768, TNI 585.345 personel dan Polri 434.135 orang. Selebihnya adalah pekerja informal (di luar hubungan kerja) yaitu sebanyak 87,18 juta orang.

Tentunya dengan jumlah pekerja formal swasta sebanyak 47,22 juta dan informal sebanyak 87,18 juta tersebut menjadi factor yang sangat signifikan untuk menjadi penggerak perekonomian Indonesia, yaitu sebagai aktor produksi barang dan jasa, sebagai konsumen, dan sebagai penabung.

Dengan besarnya jumlah pekerja swasta di sektor formal dan informal ini maka pemerintah harus mampu melindungi para pekerja swasta tersebut yaitu untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak serta jaminan sosial. Kewajiban melindungi tersebut adalah perintah UUD 1945.

Amanat UUD 1945 tentang penghidupan yang layak, yaitu bagaimana pemerintah ke depan mampu memberikan upah yang layak sehingga pekerja mampu memiliki daya beli yang baik. Dengan hadirnya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja junto PP No. 51 Tahun 2023 junto PP no. 36 Tahun 2021, kenaikan upah pada tiap tahunnya relatif lebih kecil dari inflasi riil sehingga daya beli buruh dan keluarganya akan semakin menurun, dan ini berarti penurunan kesejahteraan buruh.

Tidak hanya pekerja formal yang diamanatkan mendapatkan upah layak yaitu minimal upah minimum, pekerja informal pun harus dilindungi oleh Pemerintah dengan memberikan subsidi sehingga mereka memiliki daya beli. 

Faktanya saat ini, pemerintah hanya melindungi pekerja formal dalam regulasinya, namun abai mengatur tentang perlidungan pekerja informal. Sangat penting untuk memberikan perlindungan upah bagi pekerja informal sehingga mereka mampu mengkonsumsi dengan layak, yang juga akan berkontribusi pada konsumsi Agregat Masyarakat, yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Amanat UUD 1945 tentang pekerjaan yang layak pun harus mampu diimplementasikan pemerintah dengan melindungi pekerja agar tetap bisa bekerja, tanpa ada ancaman PHK. Namun dengan hadirnya UU Cipta Kerja junto PP No. 35 Tahun 2021 yang mengatur alasan PHK menjadi 26 jenis alasan PHK (sebelumnya di UU No. 13 tahun 2003 hanya ada 15 jenis alasan PHK), maka pekerja rentan di PHK walaupun sudah bekerja dengan baik. Pekerjaan yang layak bagi pekerja informal adalah seperti perlindungan jam kerja, jaminan sosial, dsb. 
 
Saya berharap Pemerintahan ke depan mau merealisasikan janji Presiden Jokowi untuk memberikan jaminan kecelakaan kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm) dan Jaminan Hari Tua (JHT) kepada pekerja informal miskin, yang sudah dijanjikan Presiden Jokowi di RPJMN 2020-2024 namun tidak juga kunjung direalisasikan hingga saat ini. Program jaminan sosial ketenagakerjaan untuk pekerja informal miskin ini adalah amanat UUD 1945 dan Pasal 14 dan Pasal 17 UU no. 40 tahun 2004 tentang SJSN.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) abai merealisasikan janjinya bagi pekerja informal miskin. Namun di sisi lain Presiden Jokowi memberikan subsidi sebesar 0,22 persen (dari upah pekerja) untuk program Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) bagi pekerja penerima upah (formal). Perlindungan jaminan sosial bagi pekerja formal ditambah tetapi Presiden tidak mau menerapkan JKK, JKm dan JHT bagi pekerja informal miskin.

Demikian juga Presiden memberikan iuran 0,72 persen bagi ASN untuk iuran program JKm yang dikelola PT. Taspen (PP no. 66 tahun 2017). Padahal bila Program JKK dan JKm bagi ASN dikelola BPJS Ketenagakerjaan maka iurann JKm-nya hanya 0,3 persen. Kelebihan bayar iuran JKm sebesar 0,42 persen ini sudah diwarning KPK namun tetap dijalankan hingga saat ini. 

Dengan adanya UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN maka pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi ASN (yaitu PNS dan PPPK) diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Dengan amanat UU ASN yang baru ini maka iuran JKm bagi ASN bisa menjadi 0,3 persen. Kelebihan iuran JKm bagi ASN bisa dialokasikan untuk membayar iuran JKK, JKm dan JHT bagi pekerja informal miskin. 

Subsidi 0,22 persen untuk JKP dan kelebihan bayar iuran JKm bagi ASN merupakan bentuk ketidakadilan nyata bagi pekerja informal miskin untuk dilindungi dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Diharapkan Presiden ke depan mau memberikan keadilan bagi pekerja informal miskin di program jaminan sosial ketenagakerjaan khususnya program JKK, JKm dan JHT.

Mengingat peran pekerja sangat signifikan dalam perekonomian dan Pembangunan Indonesia maka pemerintahan ke depan harus mampu melindungi pekerja dengan juga membuka ruang dialog sosial yang nyata (bukan janji-janji) sehingga keterlibatan pekerja dalam merangkai perlindungan kepada pekerja formal dan informal akan benar-benar memberikan kesejahteraan bagi seluruh pekerja Indonesia dan keluarganya.