Ki Darmaningtyas: Penjurusan di SMA Lebih Efektif, Ini Alasannya

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 14 April 2025 10:49 WIB
Ki Darmaningtyas (Dok.Pribadi)
Ki Darmaningtyas (Dok.Pribadi)

Jakarta, MI -  Isu seputar kebijakan penjurusan di jenjang pendidikan menengah atas kembali mencuat ke permukaan. Menanggapi hal ini, aktivis pendidikan dari Tamansiswa, Ki Darmaningtyas, menilai bahwa sistem penjurusan di SMA justru memiliki lebih banyak sisi positif dibandingkan tanpa penjurusan.

“Penjurusan memberikan kejelasan dalam proses pembelajaran. Siswa bisa lebih fokus dan mendalami bidang yang akan mereka tekuni di perguruan tinggi,” ujar Ki Darmaningtyas, Senin (14/4/2025).

Ia memaparkan beberapa keuntungan dari penjurusan. Pertama, sistem ini membantu memisahkan mata pelajaran secara tegas antara jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam kurikulum. Hal ini, menurutnya, sangat membantu siswa dalam membekali diri untuk masuk ke program studi tertentu di perguruan tinggi.

“Misalnya, siswa yang ingin masuk ke program teknik akan memperkuat pelajaran fisika dan matematika. Mereka yang ingin ke farmasi atau kedokteran akan fokus pada biologi dan kimia,” jelasnya.

Kedua, penjurusan mempermudah siswa memilih sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan demikian, proses belajar menjadi lebih fokus dan menyenangkan.

“Anak yang sejak awal berminat pada sastra tentu akan lebih cocok memilih jurusan Bahasa. Ini juga membantu mereka lebih dini memetakan fakultas yang ingin dimasuki di universitas nanti,” tambahnya.

Ketiga, dari sisi manajemen sekolah, penjurusan mempermudah dalam penyusunan jadwal pembelajaran serta perhitungan kebutuhan guru. “Dengan pembagian yang jelas, sekolah bisa memetakan berapa guru yang dibutuhkan untuk masing-masing mata pelajaran. Pemerintah pun bisa memperkirakan kebutuhan tenaga pendidik secara lebih akurat,” ujarnya.

Keempat, dari aspek infrastruktur, kebutuhan ruang kelas maupun laboratorium dapat direncanakan lebih tepat. Sekolah bisa menghitung berapa ruang yang dibutuhkan untuk masing-masing jurusan, termasuk ruang praktikum atau laboratorium yang spesifik.

Meski demikian, Ki Darmaningtyas tidak menutup mata terhadap sisi negatif dari sistem penjurusan. “Masalah utamanya justru pada aspek sosiologis, yaitu adanya anggapan bahwa jurusan IPA lebih unggul dibandingkan IPS atau Bahasa. Padahal kenyataannya tidak demikian,” tegasnya.

Menurutnya, seiring dengan munculnya berbagai profesi baru yang menjanjikan dan banyak berasal dari latar belakang sosial-humaniora, pandangan tersebut lambat laun akan bergeser.

Ia pun menilai bahwa jika mempertimbangkan berbagai faktor seperti keterbatasan jumlah guru ASN, regulasi jam mengajar minimal 24 jam per minggu untuk memperoleh tunjangan profesi, serta keterbatasan sarana dan prasarana, maka kembali ke sistem penjurusan seperti sebelumnya merupakan langkah yang realistis.

“Lagipula, sistem peminatan yang saat ini diterapkan masih bersifat uji coba. Dan ternyata, dari hasil uji coba di berbagai sekolah, banyak kendala yang ditemukan. Jadi, tidak ada salahnya kembali ke sistem lama yang sudah terbukti lebih sistematis,” pungkasnya.

Terkait waktu pelaksanaan penjurusan, Ki Darmaningtyas menyarankan agar dilakukan pada semester kedua di kelas X.

“Dengan begitu, siswa sudah mengenal semua mata pelajaran dan punya dasar yang cukup untuk menentukan pilihan. Bisa juga dilakukan saat naik ke kelas XI, tetapi ini menuntut bimbingan intensif dari guru, wali kelas, konselor, dan orang tua. Risiko lainnya, siswa harus belajar terlalu banyak mata pelajaran di kelas X, yang bisa menjadi beban tersendiri,” tutupnya. ***

Topik:

Pendidikan SMA Jurusan SMA