Menerka Arah Politik PDIP, PKB, PKS, dan NasDem

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 24 April 2024 21:54 WIB
Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka (kanan) (Foto: Dok MI)
Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka (kanan) (Foto: Dok MI)

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih pada hari ini Rabu (24/4/2024).  Hal ini dilakukan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres 2024 yang digelar pada Senin (22/4/2024) kemarin.

Koalisi atau konsolidasi partai politik baru akan terbentuk dengan masuknya PKB dan Nasdem dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Ini menurut sejumlah pengamat politik.

Sementara PDI Perjuangan dan PKS diyakini bakal tetap menjadi oposisi atau kekuatan penyeimbang di parlemen.

Kendati demikian, Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Ahmad Muzani, menyebut pihaknya akan terus mengembangkan koalisi yang ada demi membentuk pemerintahan yang kuat lantaran banyak program besar yang akan dijalankan.

Akan tetapi politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, bilang keputusan soal itu akan dibahas dalam Rakernas pada Mei nanti. Yang pasti, kata Hendrawan, menjadi oposisi atau koalisi sama-sama terhormat.

Setelah MK menolak seluruhnya gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pada Senin kemarin, masing-masing partai yang ada dalam koalisi capres-cawapres urutan 01 dan 03 mulai bersiap mengambil posisi baru.

Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, misalnya mengakui sedang membahas soal sikap politik partai dengan para kiai di Dewan Syura. Diskusi internal tersebut, katanya, berlangsung sangat dinamis dan akan dilanjutkan hingga satu atau dua hari ke depan.

PKB, kata Cak Imin sapaan akrabnya, akan terus menampung pertimbangan dan menjalin komunikasi dengan partai politik lain. "Kami akan terus menampung seluruh pemikiran, pertimbangan dan berbagai perkembangan komunikasi-komunikasi yang internal maupun eksternalnya," katanya.

NasDem beri isyarat merapat ke koalisi Prabowo-Gibran
Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh, telah memberi isyarat bakal merapat ke koalisi Prabowo-Gibran dengan mengutarakan perumpamaan bahwa saatnya untuk "menutup buku lama dan membuka buku baru."

Dia juga menyebut dalam kompetisi harus saling menghargai. "Yang kalah menghargai yang menang, yang menang apalagi. Inilah kekuatan kita seharusnya," ujar Paloh.

Terlalu dini
Sedangkan politisi senior PDIP, Hendrawan Supratikno, mengatakan terlalu dini untuk menentukan arah politik partai bergambar banteng moncong putih tersebut.

Tapi yang dia tekankan adalah menjadi oposisi atau masuk dalam koalisi Prabowo-Gibran "sama-sama terhormat" - meskipun jika ada di dalam pemerintahan mempunya kontribusi yang lebih terlihat.

"Itu pertanyaan terlalu dini, karena hak prerogratif ada di ketua umum dan nanti akan dibahas dalam Rakernas PDIP."

Lantas siapa saja partai yang diperkirakan bergabung Prabowo-Gibran?

Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengatakan beberapa minggu ke depan adalah momen krusial bagi partai-partai yang menjadi rival Prabowo-Gibran. Sebab mereka harus mengambil sikap apakah akan merapatkan barisan dengan koalisi pemerintahan atau tetap berada di luar alias menjadi oposisi.

Melihat rekam jejak PKB dan Nasdem - yang sebelumnya menjadi partai pengusung Anies-Muhaimin, Firman menilai keduanya bakal bergabung di dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.

"Nasdem dan PKB ini belum punya pengalaman oposisi. Mereka terbiasa di dalam pemerintahan, jadi patokan berpolitik mereka pasti tetap berada di dalam pemerintahan," katanya.

Senada dengan itu, Pakar politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, menilai Prabowo-Gibran membutuhkan dukungan partai politik lain untuk memperkuat pemerintahannya ke depan dan yang utama menguasai parlemen.

Sebab bagaimanapun, tambah dia, posisi politik di parlemen harus tetap dijaga agar program-program andalan yang dijanjikan Prabowo-Gibran ketika kampanye lalu bisa terlaksana tanpa hambatan.

"Peluang PKB dan Nasdem sangat besar untuk masuk, sementara PDIP tidak akan semudah itu," kata Ahmad Atang.

PDIP tersandera?
PDI Perjuangan pengusung Ganjar-Mahfud  menurut Atang, tersandera oleh sikap para elite partai yang selama ini kencang dan vulgar menyuarakan kecurangan pemilu.

Sepanjang Megawati Soekarnoputri yang menjadi penentu atas arah politik PDIP, sangat mungkin untuk mengambil peran sebagai oposisi. Menurunya, hal ini dipicu gestur politik Megawati sekarang hampir sama dengan yang dia lakukan terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2014.

"Jadi di antara partai-partai yang hendak masuk ke koalisi, PDIP punya beban psikologis besar dibanding PKB dan Nasdem," katanya lagi.

Ahmad Atang pun menilai, bahwa jika PDIP masuk dalam pemerintahan Prabowo-Gibran justru menjadi kontraproduktif atau tidak menguntungkan bagi partai tersebut.

Lanjut dia, di DPR, PDIP sudah pasti menguasai kursi terbanyak karena di Pemilu Legislatif mereka memperoleh 25 juta suara alias tertinggi di antara partai-partai lain. Tak cuma itu, PDIP juga sudah berpengalaman berada di luar pemerintahan ketika era Presiden SBY.

"Menurut saya PDIP jauh lebih nyaman menjadi oposisi ketimbang dia masuk [pemerintahan], karena dia tidak memberikan nilai tambah apa-apa," jelasnya.

Dengan tingkat kritis ke pemerintahan Prabowo-Gibran, tambah dia, itu akan memberikan nilai tambah secara politik bagi PDIP dan untuk menjaga independensi serta sikap kritisnya.

Firman Noor pun sependapat dengan itu. Dia menilai sistem demokrasi yang sehat akan berjalan kalau ada oposisi dan PDIP klaimnya, punya banyak alasan untuk bersikap kritis terhadap pemenang pemilu sekarang.

Karena, menurut Firman, PDIP merasakan langsung dampak dari intervensi negara saat pemilu berlangsung. "Jadi mereka punya alasan menganggap pemilu ini sangat bermasalah dan itu cukup untuk mengatakan pemerintah yang terbentuk sekarang adalah pemerintahan yang problematik," bebernya.

"Kalau justru masuk ke dalam [pemerintahan], melebur dan asyik dengan kekuasaan malah akan lupa alasan berpolitiknya," timpanya.

Bagaimanakah sikap PDIP?
Politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno, mengatakan keputusan PDIP apakah akan masuk dalam koalisi Prabowo-Gibran atau sebaliknya menjadi hak prerogratif Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Meskipun nantinya akan ada forum khusus di mana para kader partai akan mengutarakan gagasan dan memberikan pertimbangan soal untung-rugi bergabung ke pemerintahan yang terbentuk nanti.

Tapi itu semua, katanya, bakal dibahas dalam Rakernas bulan Mei mendatang. Yang pasti hingga saat ini belum ada 'utusan' resmi dari Prabowo-Gibran yang datang menemui Megawati.

"Kemarin Rosan Roeslani datang ke rumah Ibu Mega dibilang utusan, tapi menurut Gerindra bukan, itu inisiatif pribadi. Jadi dalam politik enggak oleh melihat apa yang tampak di depan," katanya.

"Politik itu evolusioner, sama kayak Pak Jokowi meninggalkan PDIP itu kan evolusioner pelan-pelan saya buat kronologi dari tahun 2014 saya melihat bagaimana dia upaya dia sangat halus mengurangi ketergantungan dengan PDIP sampai memutuskan melakukan intervensi di MK dan seterusnya," kata Hendrawan yang juga masih duduk di kursi empuk Senayan itu.

Hendrawan berpandangan, bahwa tak masuk dalam barisan koalisi pemerintah tidak berarti membuat posisi PDIP menjadi "tidak terhormat". Justru peran di luar pemerintahan, katanya, sangat penting untuk menjaga demokrasi yang sehat dan kuat. Toh, PDIP sudah pernah menjalankan peran sebagai oposisi pada kepemimpinan SBY dua periode.

"Bukan suatu yang mengagetkan [jadi oposisi]. Memangnya kenapa [PDIP] harus masuk kabinet? Jangan-jangan ada yang berpikir masuk pemerintah karena ada akses ke APBN?" tanyanya.

Kalaupun pada akhirnya PDIP betul-betul berseberangan dengan koalisi Prabowo-Gibran, katanya, mereka tidak akan membabi-buta menolak semua program-program pemerintah.

Seumpama ada kebijakan yang positif untuk kepentingan rakyat, maka akan didukung seperti ketika SBY menggulirkan UU Jaminan Kesehatan Nasional dan UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Kalau semua serba ditolak, namanya kami tidak berpihak pada kepentingan rakyat," ungkapnya.

Tapi terlepas dari itu, tegas dia, tidak menutup kemungkinan pertemuan antara Megawati, Prabowo, dan Jokowi terjadi pada momen penting. Meskipun dalam jangka pendek, sebutnya, belum ada rencana.

Parpol mana bakal masuk ke koalisi Prabowo-Gibran?
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra yang juga Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Ahmad Muzani, mengatakan pihaknya terus berupaya memperbesar koalisi untuk memperkuat dukungan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.

Upaya itu dengan mengajak partai politik pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD untuk bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Koalisi Indonesia Maju terdiri dari beberapa partai, antara lain: Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Solidaritas Indonesia, dan Partai Bulan Bintang.

"Kepada partai-partai koalisi, kami harap kita akan terus bersatu dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Kami akan terus mengembangkan koalisi, karena kita membutuhkan Indonesia yang kuat, pemerintahah yang kuat," kata Muzani dalam jumpa pers di Jakarta.

Selain berkomunikasi dengan partai di luar KIM, pihaknya juga terus mengupayakan pertemuan antara Prabowo dan Megawati Soekarnoputri.

Pertemuan itu, katanya, sedang diupayakan dengan mencari waktu yang tepat.

PAN tak terganggu
Menanggapi sikap Gerindra itu, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, mengatakan partainya tidak terganggu bila ada partai lain yang hendak bergabung. Namun, perihal itu akan dibahas usai penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU pada Rabu (24/4/2024).

Tetapi menurut pengamat politik dari BRIN, Firman Noor, dalam sistem presidensial tidak harus semua partai berada dalam satu barisan demi menciptakan pemerintahan yang kuat.

Sebab jika semua partai ada dalam satu koalisi yang sama, maka mekanisme check and balances akan lemah dan membahayakan 'kesehatan' demokrasi Indonesia. Itu mengapa, dia menyarankan kubu Prabowo-Gibran tidak perlu mengajak parpol lain seperti yang dilakukan Presiden Jokowi.

"Ujung-ujungnya demokrasi kita hancur lebur seperti hari ini, apakah mau mengulangi lagi? Saya khawatirnya ajakan-ajakan itu adalah entry point bagi berantakannya demokrasi kita."

"Jadi harusnya belajar dan pelajarannya biarkan yang menang jadi penguasa dan yang kalah jadi oposisi."

Bagimana kekuatan koalisi Prabowo-Gibran?
Diketahui, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka  (Paslon 02) telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi Presiden dan Wakil Presiden Terpilih 2024-2029 pada Rabu (24/4/2024). 

Salah satu hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah hasil suara Pileg 2024, sebab parlemen akan berperan dalam mempermulus kebijakan-kebijakan presiden. 

Setelah penetapan KPU, publik kini menunggu bagaimana Prabowo membangun koalisi, terutama untuk mengamankan kebijakan di parlemen.

Untuk membentuk koalisi presiden yang kuat di Indonesia, seorang calon presiden akan membutuhkan dukungan mayoritas dari lembaga legislatif.

Dukungan dari partai politik yang signifikan di tingkat nasional dan regional dapat memperkuat stabilitas dan legitimasi pemerintahan. Jumlah suara partai koalisi yang dianggap baik, setidaknya 50% + 1 dari total kursi parlemen untuk memperlancar sistem pemerintahan.

Presiden yang memiliki partai koalisi yang kuat dapat mengalami sejumlah manfaat yang signifikan dalam menjalankan pemerintahan, diantaranya adalah kekuatan legislatif.

Hal ini memudahkan untuk melewati undang-undang dan kebijakan yang diinginkan oleh pemerintahan. Lalu, stabilitas pemerintahan, dengan dukungan mayoritas di parlemen, presiden lebih mungkin untuk menghindari kebuntuan politik, pemblokiran legislatif, atau upaya penggulingan yang mungkin timbul dari oposisi.

Selanjutnya, implementasi kebijakan. Presiden dengan partai koalisi yang kuat memiliki kemungkinan lebih besar untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang diinginkan.

Konsistensi kebijakan, partai koalisi yang kuat cenderung memiliki visi dan tujuan yang sejalan, sehingga memungkinkan presiden untuk menciptakan konsistensi dalam kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan.

Kemudian, kontinuitas kepemimpinan. Dengan partai koalisi yang kuat, presiden memiliki lebih sedikit risiko mengalami kegagalan pada masa jabatan periode berikutnya, karena dukungan yang kuat dari partai-partai politik tersebut dapat memperkuat peluang untuk pencalonan kembali atau mendukung calon yang dipilihnya.

Bagaimana kekuatan suara parlemen koalisi saat ini?
Berdasarkan perhitungan KPU, terdapat delapan partai yang lolos parlemen dengan perolehan suara di atas parliamentary threshold 4%. Partai tersebut diantaranya adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Meski demikian, partai koalisi pasangan Prabowo-Gibran diantaranya adalah Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN dengan total perolehan suara gabungan partai tersebut sebesar 65.547. 525 atau setara dengan 43,18%.

Sedangkan, partai yang bukan koalisi dari Prabowo-Gibran yaitu PDIP, PKB, NasDem, dan PKS.

Apabila ditambahkan dengan suara PDIP sebagai partai dengan suara terbesar, suara koalisi Prabowo akan menjadi 90.934.804 atau 59,91%. Apabila PKB masuk dalam koalisi, suara akan menjadi 81.663.180 atau 53,8%. Jika NasDem bergabung, total suara mencapai 52,84%. 

Sedangkan, bergabungnya PKS akan mendorong suara koalisi menjadi 50,42%.

Berdasarkan hal tersebut, tambahan suara dari partai apa pun akan mendorong persentase suara dari Koalisi Indonesia Maju menjadi lebih dari 50%. Dapat disimpulkan, Koalisi Prabowo perlu untuk menambahkan dukungan setidaknya satu partai untuk mendapat dukungan suara mayoritas di parlemen. (wan)

Topik:

Prabowo Gibran Koalisi