Manuver Projo Tempel Prabowo: Setop Opini Publik soal Whoosh Seret Jokowi-Bobby Nasution di Kasus PUPR Sumut

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 November 2025 12:54 WIB
Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) (Foto: Istimewa)
Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Setelah lebih dari 10 tahun menjadi bagian tak terpisahkan dari Presiden RI ke-7 Joko Widodo alias Jokowi, Pro Jokowi (Projo) kini menempel Presiden Prabowo Subianto, dan tentunya bertekad mendongkrak suara Partai Gerindra di Pemilu 2029 mendatang.

Namun demikian, motif di balik manuver tersebut penting ditelusuri. Dalam video YouTube Rocky Gerung Official, pengamat politik Rocky Gerung menilai rencana Ketua Umum Projo Budi Arie gabung Partai Gerindra sebagai transaksi politik. Antara Jokowi dengan Prabowo.

Ini perlu ditelususi apa motif di baliknya. Sehingga Budi Arie, yang dikenal sebagai loyalis Jokowi diserahkan ke Prabowo. "Masalah berikutnya adalah, apa sogokan politik Jokowi ke Gerindra, dengan menghibahkan Projo itu,” kata Rocky dinukil Monitorindonesia.com, Senin (3/11/2025).

Menurutnya, yang menjadi latar belakangnya untuk menghentikan opini dari kalangan krtisis. Terkait desakan memeriksa Jokowi soal Kereta Cepat Jakarta Bandung alias Whoosh.

“Dapat menghentikan opini publik atau dapat menghentikan analis para kritis, kalangan yang menghendaki supaya Presieen Jokowi itu diperiksa dalam banyak kasus. Terutama kasus whoosh hari-hari ini,” katanya.

Tak hanya itu, menurut dia, karena menantu Jokowi, Bobby Nasution yang namanya terseret dalam kasus korupsi jalan Dinas PUPR Sumatera Utara,

“Ini kan konteksnya harus begitu, atau soal Pak Bobby yang namanya sudah beredar atau diedarkan diam-diam di dalam wacana pemanggilan beliau sebagai Gubernur Sumatera Utara oleh KPK. Jadi, peristiwa politik hari-hari ini menunjukkan bahwa ada ekskalasi dan sering kita tahu ekskalasi itu adalah hasil tukar tambah elite di belakang layar,” bebernya.

Sementara pengamat politik Agung Baskoro menilai Projo dan Budi Arie Setiadi butuh backup politik baru usai Joko Widodo tidak lagi menjabat sebagai presiden. 

Hal ini disinyalir menjadi alasan Projo mengubah logo dan mendeklarasikan komitmen mendukung Presiden RI Prabowo Subianto. Agung menilai langkah Projo mengidentifikasi diri dengan Joko Widodo tidak berbuah insentif politik maksimal setelah mantan presien itu menjadi rakyat biasa. Sehingga, Budi Arie dan kawan-kawan memerlukan manuver untuk menjaga eksistensi di kancah politik.

"Langkah politik yang dilakukan Budi Arie, ketua Projo, untuk masuk ke Gerindra dan mengganti logo Projo agar tak identik dengan Pak Jokowi merupakan langkah pragmatisme politik yang logis dan realistis. Suka atau tidak, Budi Arie dan Projo butuh backup politik baru pasca Pak Jokowi tak lagi menjabat," kata Agung, Minggu (2/11/2025).

Sebelumnya, dalam Kongres III Projo di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, kelompok relawan tersebut menelurkan lima poin resolusi sebagai arah organisasi ke depan. Projo menegaskan mendukung agenda politik Prabowo dan menyukseskan sang presiden di Pilpres 2029.

“Mendukung dan memperkuat agenda politik Presiden Prabowo dan menyukseskan Presiden Prabowo di (pilpres) 2029,” kata Wakil Ketua Umum Projo Freddy Damanik saat membacakan hasil resolusi, Minggu (2/11/2025).

Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi sendiri menyatakan pihaknya hendak melakukan transformasi organisasi. Transformasi ini salah satunya dilambangkan dengan menghilangkan siluet Jokowi di logo organisasi.

Budi Arie pun menegaskan Projo sejak awal bukan singkatan dari "pro-Jokowi." Kata dia, nama Projo diambil dari bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kawi.

"Projo itu sendiri artinya 'negeri' dalam bahasa Sanskerta, dan dalam bahasa Jawa Kawi itu artinya 'rakyat,. Jadi kaum Projo adalah kaum yang mencintai negara dan rakyatnya," kata Budi Arie di Kongres Projo, Sabtu (1/11/2025).

Topik:

Jokowi Prabowo Projo Kereta Cepat PUPR Sumut Bobby Nasution Budi Arie Setiadi