Benny Susetyo: Jangan Ulangi Kediktatoran seperti Dinasti Marcos di Filipina

Aan Sutisna
Aan Sutisna
Diperbarui 13 Mei 2022 04:37 WIB
Jakarta, Mi - Antonius Benny Susetyo, pakar dan pengamat komunikasi politik menyerukan agar Indonesia tidak memberikan kesempatan kepada kediktatoran kembali berkuasa seperti di Filipina. Seruan disampaikan pada Kamis (12/5) dalam video di kanal Youtube Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) berjudul "Marcos Jr Terpilih Menjadi Presiden Filipina: Alarm bagi Demokrasi Indonesia". Ini rangkaian video 'Jangan Julid Bosque bersama Om Ben'. Benny, menyatakan kemenangan Marcos Jr yang lebih dikenal dengan nama Bongbong Marcos di atas 50 persen suara, menyatakan betapa mudahnya masyarakat Filipina melupakan kediktatoran, kekorupan, dan kekerasan yang diciptakan oleh Marcos. "Ini fenomena yang harus diperhatikan karena menunjukkan gagalnya konsolidasi demokrasi Filipina. Kemiskinan, kekerasan, dan ketidakbebasan hidup terjadi begitu rupa sehingga masyarakat mengalami situasi yang tidak menyenangkan," jelasnya. Benny melanjutkan bahwa Bongbong mampu membuat orang melupakan kekejaman masa pemerintahan ayahnya dan malah membayangkan kemegahan di masa kepresidenan Marcos. "Dia membuat orang lupa; kesan glamor, kestabilan, memberikan harapan kepada masyarakat, dibandingkan Duterte," lanjut Benny. Benny juga menunjuk pada kegagalan masa pemerintahan setelah Marcos yang tidak memberikan kesejahteraan yang diinginkan masyarakat. "Jatuhnya rezim Marcos menandai mulainya era demokrasi Filipina. Namun, naiknya Corazon Aquino yang adalah istri mendiang Beniqno Aquino dan presiden-presiden selanjutnya, tidak memberikan solusi kepada masyarakat. Demokrasi tidak terbangun karena tidak memberikan kesejahteraan, dan kebebasan, sementara korupsi tetap tinggi." Dia menjelaskan bagaimana kultur politik di Filipina, yang juga faktor terpilihnya Bongbong. "Politik didominasi tuan tanah. Senator-senator memiliki tanah dan mereka membeli suara dari tanah dan keringat rakyat kecil. Oligarki yang berkuasa. Kesenjangan luar biasa terjadi antara kelas elit dan kelas rakyat. Rakyat tidak memiliki kekuatan. Demokrasi pun dibajak dengan kekuatan kapital," katanya. Benny juga menunjukkan betapa media sosial menjadi alat yang sangat efektif dalam berkampanye, seperti yang dilakukan oleh Bongbong. "Dia menggunakan media sosial yang banyak digunakan, memberikan janji utopis kepada masyarakat. Mereka yang bosan menghadapi ketidakpastian akhirnya tertarik dengan janji kestabilan dan kemegahan dan memilihnya menjadi presiden." Benny pun mengingatkan kepada bangsa Indonesia tentang apa yang bisa dipelajari dari fenomena terpilihnya Bongbong. "Konsolidasi demokrasi tidak bisa berhenti. Kita membutuhkan media masa yang kritis dan mengingatkan akan bahaya masa lalu dan menjadikannya sebagai pembelajaran. Media harus seimbang dalam pemberitaan dan sejarah masa lalu harus diungkapkan," katanya. "Jangan sampai konsolidasi politik gagal. Politik tanpa gagasan dan tidak bisa memperbaharui dirinya, akan membuat masyarakat 'merindukan' masa lalu, seperti yang terjadi di Filipina. Masyarakat sipil harus menjaga agar demokrasi tetap berlangsung dalam waktu lima tahunan," ujarnya. Benny memberikan pernyataan bahwa demokrasi tidak langsung memberikan apa yang diinginkan masyarakat, tetapi demokrasi dapat menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. "Demokrasi memang tidak langsung memberikan kesejahteraan, tetapi (demokrasi) menjamin kebebasan penyampaian pendapat, kontrol dan pengawasan terhadap pemerintah. Demokrasi butuh proses. Belajarlah berdemokrasi dengan mau menjalani prosesnya, dan tidak mengulangi kediktatoran. Jangan sampai muncul tirani baru," serunya. "Jangan bilang 'enak jamanku, toh?' Bukan. Jaman itu penuh ketidakbebasan, penculikan, penindasan, dan pelanggaran HAM. Memori kita jangan pendek. Sebarkan dan pelajari sejarah dan masa lalu, kita harus mengawal demokrasi bersama-sama," tutupnya. La Aswan