YLBHI: Rancangan KUHP Nihilkan Tanggung Jawab Pemerintah Entaskan Gelandangan

Aan Sutisna
Aan Sutisna
Diperbarui 29 Mei 2022 02:45 WIB
Jakarta, MI - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) luput menyoroti tanggung jawab pemerintah dalam mengentaskan gelandangan. Dia menjelaskan, pemerintah dalam RKUHP tersebut justru mengenakan denda pada orang-orang yang menggelandang, yaitu Pasal 432. "Pasal ini disalin dari KUHP versi lama yakni Pasal 505 ayat 1 tanpa adanya evaluasi," kata Isnur dalam catatan kritisnya atas RKUHP, Sabtu (28/5). Padahal, lanjut Isnur, upaya untuk mengurangi gelandangan merupakan ranah lembaga eksekutif di bidang perlindungan sosial dan melalui program penanggulangan kemiskinan. Dalam RKUHP tahun 2019, hal tersebut termaktub dalam Pasal 432 yang berbunyi "Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I." Dalam kitab lama, perihal gelandangan diatur di Pasal 505 ayat 1 yang berbunyi, "Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan." Isnur kemudian menggarisbawahi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 34 ayat (1) yang menyebut fakir miskin dan anak terlantar mestinya dipelihara oleh negara. "Dengan begitu harusnya dilakukan langkah-langkah non-represif," ujarnya. Isnur melihat hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Pemerintah disebut seharusnya menjalankan tugas dalam perlindungan fakir miskin serta anak terlantar terlebih dahulu. "Hukum pidana merupakan ultimum remedium, dalam konteks menggelandang, harusnya pemerintah mengambil langkah yang sejalan dengan perlindungan dan pemeliharaan sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945," ucap Isnur. Beberapa pasal dalam RKUHP dikritisi oleh koalisi masyarakat sipil. Selain itu, mereka juga mengkritisi sulitnya mendapatkan akses RKUHP. Salah satu yang mendesak keterbukaan proses pembahasan undang-undang ini adalah Komnas Perempuan. La Aswan #ylbhi