LaNyalla Soal PT 20 Persen: Kesalahan Berujung Ketidakadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 Juni 2022 17:37 WIB
Jakarta, MI - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai hadirnya Presidential Threshold 20 Persen dalam UU No 7 Tahun 2017 merupakan suatu kesalahan dalam negara ini. Karena, kata dia, menutup upaya untuk mencapai cita-cita luhur pendiri bangsa ini, yaitu memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari kunjungan LaNyalla di 34 provinsi dan 300 kabupaten/kota, ia menemukan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat di daerah dan kemiskinan yang sulit untuk dientaskan. “Diskusi perlu dilakukan untuk menguji hipotesa bahwa kemiskinan struktural terjadi karena ketidakadilan dan ketidakadilan terjadi karena oligarki ekonomi menyandera kekuasaan. Oligarki ekonomi sendiri, tumbuh dan membesar karena adanya presidential threshold yang membuka pintu menyatunya oligarki ekonomi dan oligarki politik,” kata LaNyalla saat memberikan Keynote Speech di Universitas Andalas Padang, Jumat (17/6). Ia menjelaskan dengan adanya Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ditentukan bahwa partai politik yang ingin mengajukan pasangan capres dan cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah nasional. Dan diharuskan menggunakan basis suara yang diperoleh dari Pemilu 5 tahun lalu. “Jadi untuk Pilpres 2024, yang digunakan adalah basis suara Pileg 2019. Sehingga, partai politik baru peserta pemilu tidak bisa mengajukan capres dan cawapres dan yang tidak memiliki 20 persen di DPR pada tahun 2019, harus dan terpaksa bergabung dengan partai politik lainnya, untuk mencukupi suara,” paparnya. Ia menegaskan bahwa para akademisi dan tata negara pun sudah menyatakan bahwa pasal ini merugikan bangsa dan tidak derivative dari Pasal 6A Konstitusi kita. “Karena terpaksa membentuk koalisi besar, terjadilah pertemuan oligarki politik dan oligarki ekonomi untuk mengatur dan mendisain siapa pemimpin nasional melalui Demokrasi Prosedural yang kita sebut sebagai Pilpres,” paparnya lagi. LaNyalla menegaskan bahwa kondisi ini lah yang menjadi persoalan besar bangsa ini, yaitu adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka. “Karena itu, DPD RI secara kelembagaan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menghapus Pasal 222 UU Pemilu tersebut. Karena selain melanggar konstitusi, juga menghalangi terwujudnya cita-cita lahirnya negara ini seperti yang disebutkan konstitusi, yaitu terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata LaNyalla tegas. Sebelum mengakhiri, ia mengajak semua pihak untuk mengkoreksi arah perjalanan bangsa ini. “Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya mengembalikan demokrasi, yang selama ini digenggam kalangan oligarki rakus, ke tangan kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur, sebagaimana dulu di zaman kemerdekaan,” pungkasnya.