Sindir Penggugat Presidential Threshold, Natalius Pigai: MK Tidak Bodoh, Hanya Bodoh Meyakinkan MK!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Juli 2022 21:18 WIB
Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) RI menolak gugatan presidential threshold (PT) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Keputusan itu membuat MK melakukan tiga kali penolakan dalam perkara yang sama. Atas sikap MK yang kerap menolak gugatan tersebut, banyak pihak yang menganggap bahwa MK gagal paham dalam memutuskan uji materi presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden (PT) itu. Namun itu, berbeda dengan pandangan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai. Melalui cuitan dalam tweetnya seperti dikutip Monitorindonesia.com, Minggu (10/7), bahwa ia yakin MK tidak bodoh dalam mengambil keputusan dengan menolak gugatan tersebut. Lantas ia meragukan kemampuan para penggugat yang tidak mengajaknya untuk mendiskusikan judicial review presidential threshold (PT) 20 persen itu, sebab ia mengaku pernah jadi narasumber KPU dan Bawaslu se-Indonesia. "Maaf, terlalu banyak ajukan judicial review PT 20%. Saya yakin MK tidak bodoh, hanya bodoh meyakinkan MK. Ini soal prinsip-prinsip pemilu dan HAM, Kan tidak mau bicara dengan kita. Kita gini pernah jadi nara sumber KPU dan Bawaslu se-Indonesia. Jadi justru saya ketawa sama kemampuan para penggugat," kata Natalius Pigai. Diketahui, keputusan soal penolakan tersebut dibacakan pada Kamis (7/7) kemarin. "Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon II untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. Dalam pertimbangannya, mahkamah menilai DPD yang diwakili oleh Ketua La Nyalla Mattalitti tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materi pasal 222 Undang-Undang Pemilu tersebut. Sedangkan PBB dianggap memiliki kedudukan hukum tetapi dinilai tak memiliki argumentasi yang tepat. Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra selaku pemohon kedua berargumentasi bahwa penerapan ambang batas 25 persen suara sah dalam pemilu sebelumnya atau 20 persen kursi DPR RI bisa mengakibatkan berbagai ekses negatif seperti oligarki dan polarisasi masyarakat. Yusril meminta presidential threshold dihapuskan atau menjadi nol persen. "Tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi," kata Anggota Hakim MK Aswanto. Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan merupakan suatu hal konstitusional. Sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy dalam ranah pembentuk undang-undang. [Ode]

Topik:

presidential threshold MK RI