Ribut Soal Rekomendasi, Lembaga Zakat Bentukan Masyarakat Tuding Hak Kaum Muslim Dijegal UU 23/2011

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 7 Februari 2023 11:22 WIB
Jakarta, MI- Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menilai bahwa terdapat aturan yang menjadi penghambat utama bagi lembaga zakat bentukan masyarakat (LAZ) untuk mendapatkan legalitasnya yaitu persyaratan mendapatkan rekomendasi BAZNAS, lembaga zakat bentukan pemerintah. “Syarat mendapatkan rekomendasi BAZNAS menjadi syarat yang tidak lazim dan sangat mematikan bagi LAZ. Hal ini karena BAZNAS juga menyandang status sebagai operator zakat sebagaimana LAZ,” ungkap Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono, Selasa (07/02/2023). Yusuf menambahkan bahwa dengan adanya conflict of interest yang sangat jelas ini, BAZNAS memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaing-nya. Hal tersebut sejalan dengan temuan Ombusdman RI (Februari 2021). Lebih jauh, untuk mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS, LAZ harus memenuhi persyaratan yang bahkan lebih ketat dari syarat perizinan LAZ sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 23/2011. “Syarat mendapatkan rekomendasi BAZNAS yang paling mematikan bagi LAZ adalah LAZ tidak boleh berbasis atau berafiliasi dengan institusi yang berdasarkan PP No.14/2014 dikategorikan sebagai UPZ BAZNAS (Pasal 53, 54 dan 55),” tutur Yusuf. Dia menjelaskan bahwa syarat tersebut membuat banyak LAZ, terutama LAZ berbasis korporasi/BUMN, masjid, pesantren dan universitas, menjadi lembaga zakat tak berizin, bukan karena tidak memenuhi persyaratan namun hanya karena tidak mendapat rekomendasi BAZNAS, di mana secara sederhana mereka dikategorikan berbasis di ‘wilayah penghimpunan BAZNAS’ sehingga harus menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat) BAZNAS. “Hak masyarakat muslim untuk menjalankan amanah dan kepercayaan masyarakat untuk mengelola zakat, dihambat dan dihalangi secara vulgar oleh UU No. 23/2011,” kata Yusuf. Kehadiran UU No. 23/2011 merubah secara drastis praktek baik dalam pengelolaan zakat di masyarakat yang telah berjalan ratusan tahun. UU No. 23/2011 nyaris tidak menyisakan ruang pengelolaan zakat yang memadai untuk masyarakat sipil, padahal zakat telah menjadi kultur dan mendorong penguatan masyarakat sipil. Pemerintah tidak seharusnya memberlakukan ‘pembatasan’ yang dapat menyulitkan pertumbuhan dan eksistensi LAZ. Terpeliharanya LAZ dalam berbagai bentuknya merupakan salah satu perwujudan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. “Masyarakat harus memiliki kebebasan untuk menyalurkan zakat kepada lembaga amil zakat manapun yang mereka percayai tanpa dibayangi kemungkinan ancaman kriminalisasi terhadap amil yang mengelola dana mereka hanya karena gagal memenuhi syarat perizinan yang tidak lazim,” ujar Yusuf. Yusuf berharap pembentuk peraturan perundang-undangan, yaitu Pemerintah dan Kemenag, sebaiknya segera merubah dan merevisi KMA No. 333/2015 agar pelaksanaan UU No. 23/2011 terkait dengan syarat pendirian LAZ bersifat terbuka, akuntabel dan melindungi kebebasan warga negara. Sebagaimana Putusan MK No. 86/PUU-X/2012, syarat yang harus dipenuhi setiap lembaga pengelola zakat seharusnya adalah bergerak di bidang keagamaan Islam, bersifat nirlaba, memiliki rencana/program kerja pendayagunaan zakat, dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan rencana/program kerjanya. Tidak selayaknya pemerintah membatasi dan kini bahkan melakukan kampanye negatif terhadap pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masyarakat. “Ke depan, pemerintah seharusnya segera mencabut rilis ‘108 lembaga zakat tidak berizin’ dan merevisi syarat perizinan LAZ yang tidak lazim yang selama ini menghambat LAZ untuk mendapatkan legalitas perizinan,” tutup Yusuf.

Topik:

zakat