Gerindra Pertanyakan Laporan Indeks Kota Toleran dari SETARA Institute

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 7 April 2023 20:19 WIB
Jakarta, MI - SETARA Institute merilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022. Dalam laporan itu, Kota Cilegon menjadi kota yang mendapat skor toleransi paling rendah, sedangkan Depok jadi kota terendah kedua. Kota Cilegon menduduki peringkat ke-94 atau paling bawah dalam laporan IKT 2022 itu. Sedangkan di atas Cilegon, ada Depok, yang menduduki peringkat ke-93. Diketahui, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian merupakan kader Gerindra. Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengaku tidak paham metodologi yang digunakan SETARA Institute itu. Bahkan, anggota Komisi III DPR RI itu mempertanyakan apakah sudah teruji secara ilmiah. "Apakah sudah teruji secara ilmiah. Kalau survei pilihan politik, kita kenal multistage random sampling, lalu wawancara bisa by phone atau tatap muka. Nah, setiap kali SETARA launching temuannya, kita nggak pernah mendapat info clear soal metodologinya," kata Habiburokhman dalam keterangannya, Jum'at (7/4). Menurut Habiburokhman, hasil temuan SETARA tersebut dapat dinilai publik menjadi bentuk stigmatisasi. Penilaian suatu kota toleran atau tidak, tegas dia, harus dilakukan secara komprehensif, teliti, dan jelas. "Tidak bisa hanya mengacu pada satu atau dua kebijakan pemerintah daerah setempat, tapi harus melihat praktik kehidupan berinteraksi masyarakat secara umum," jelasnya. Menurut Habiburokhman, pemeringkatan ini justru dapat melemahkan semangat toleransi antarwarga di kota-kota terkait. Dengan demikian, ia mengajak para pihak agar mengkritik apabila ada kebijakan pemerintah yang dinilai intoleran, bukan merundung. "Pemeringkatan sepihak sangat tidak edukatif dan justru bisa melemahkan semangat toleransi antarwarga karena kotanya keburu distigma tidak toleran," katanya. "Kalau ada kebijakan pemerintah daerah tertentu yang dianggap tidak tepat dalam konteks toleransi, mari kita kritisi bersama, tapi jangan kota dan warganya ikut kita rundung," timpalnya. Sebelumnya, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Ismail Hasani menjelaskan temuan mereka mengenai Cilegon. Dia menyebutkan Cilegon mendapat nilai rendah pada 3 dari 4 variabel penilaian yang ditetapkan. "Yang pertama tindakan pemerintahnya. Dia bersepakat dengan masyarakat yang memiliki aspirasi politik intoleran, untuk melarang orang membangun tempat ibadah. Jadi, dari sisi variabel tindakan pemerintah, sudah nol," katanya kepada wartawan di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Kamis (6/4). Cilegon, kata dia, dari sisi kebijakan masih mengafirmasi atau mempedomani surat edaran tahun 1975 tentang larangan mendirikan gereja di Kota Cilegon. Padahal sebenarnya, lanjut dia, edaran itu memuat instruksi untuk Kota Serang. "Dengan dia masih mempedomani ini, dia masih meyakini produk hukum yang diskriminatif ini sebagai dasar hukum, dua variabel," ungkapnya. Ismail menambahkan, bahwa variabel ketiga adalah masyarakat. Dia juga menyoroti representasi masyarakat yang intoleran muncul ke ruang publik.